Bekerja mencari nafkah dan belajar mencari ilmu, kedua-duanya wajib diamalkan sepanjang hayat dikandung badan. Para shahabat berhasil menjadi generasi terbaik karena mampu menyeimbangkan kedua kewajiban tersebut, meski sebelumnya mereka dikenal sebagai masyarakat ummi (buta huruf) dan jahiliyyah (minim kegiatan pendidikan). Al-Qur`an dan Sunnah mampu menerangi jiwa mereka sehingga menjadikan mereka para pembelajar tangguh meski di sisi lain tetap berstatus para pekerja pencari nafkah.
Di kalangan shahabat memang ada beberapa orang yang memfokuskan diri dalam dunia belajar dan ilmu dengan tidak terjun pada dunia bekerja, seperti Abu Hurairah ra. Akan tetapi mayoritas mereka adalah para pekerja baik itu para pedagang, petani, atau kaum buruh. Hadits Abu Hurairah ra berikut ini menginformasikannya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا ثُمَّ يَتْلُو{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ}إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الْعَمَلُ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لَا يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لَا يَحْفَظُونَ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang berkata Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits. Seandainya tidak ada dua ayat dalam kitab Allah, aku tidak akan meriwayatkan satu hadits pun.” Abu Hurairah kemudian membaca ayat: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang—QS. al-Baqarah [2] : 159-160. Abu Hurairah ra berkata lagi:Menyeimbangkan “Sesungguhnya saudara-saudara kami dari Muhajirin tersibukkan oleh transaksi di pasar, sementara saudara-saudara kami dari Anshar tersibukkan oleh bekerja di pekerjaan mereka. Sementara Abu Hurairah terus menemani Rasulullah saw agar selalu kenyang perutnya, sehingga ia hadir ketika mereka tidak hadir dan hafal ketika mereka tidak hafal.” (Shahih al-Bukhari bab hifzhil-‘ilm no. 118).
Hadits di atas tidak bermaksud menyatakan bahwa para shahabat Muhajirin dan Anshar tidak aktif dalam kegiatan belajar, melainkan justru menegaskan bahwa sesibuk-sibuknya Muhajirin di pasar dan Anshar di ladang dan kebun, mereka tetap menyempatkan hadir di majelis ilmu meski tentunya tidak seaktif Abu Hurairah ra yang total hidupnya untuk belajar bersama Rasulullah saw.
Maka dari itu sangat dimaklum jika ada satu hadits yang luput dari sebagian shahabat sementara shahabat lainnya mengetahuinya. Itu karena sebagian shahabat ada kalanya tidak hadir di majelis ilmu Rasulullah saw. Bahkan sekelas ‘Umar ibnul-Khaththab ra pun mengalaminya.
عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ أَنَّ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ اسْتَأْذَنَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ وَكَأَنَّهُ كَانَ مَشْغُولًا فَرَجَعَ أَبُو مُوسَى فَفَرَغَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَمْ أَسْمَعْ صَوْتَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ ائْذَنُوا لَهُ قِيلَ قَدْ رَجَعَ فَدَعَاهُ فَقَالَ كُنَّا نُؤْمَرُ بِذَلِكَ فَقَالَ تَأْتِينِي عَلَى ذَلِكَ بِالْبَيِّنَةِ فَانْطَلَقَ إِلَى مَجْلِسِ الْأَنْصَارِ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا لَا يَشْهَدُ لَكَ عَلَى هَذَا إِلَّا أَصْغَرُنَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ فَذَهَبَ بِأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فَقَالَ عُمَرُ أَخَفِيَ هَذَا عَلَيَّ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَلْهَانِي الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ يَعْنِي الْخُرُوجَ إِلَى تِجَارَةٍ
Dari ‘Ubaid ibn ‘Umair, bahwasanya Abu Musa al-Asy’ari ra bertamu kepada ‘Umar ibnul-Khaththab ra, tetapi tidak kunjung diizinkan masuk, karena ‘Umar sedang sibuk. Maka Abu Musa pulang lagi dan ‘Umar pun selesai dari kesibukannya. ‘Umar berkata: “Bukankah aku tadi mendengar suara ‘Abdullah ibn Qais, izinkan ia masuk.” ‘Umar diberitahu bahwa ia sungguh sudah pulang, lalu ‘Umar memanggilnya. Abu Musa berkata: “Kami diperintah demikian (pulang lagi jika tidak diizinkan sampai tiga kali meminta izin—matan riwayat lain).” ‘Umar berkata: “Kamu harus membawakan bukti keterangan tersebut.” Maka Abu Musa pulang ke majelis kaum Anshar dan bertanya kepada mereka siapa yang bisa menjadi saksi hadits tersebut. Mereka menjawab: “Tidak ada yang bersaksi untukmu dalam masalah ini kecuali yang paling muda di antara kami, Abu Sa’id al-Kudri.” Maka Abu Musa pun pergi bersama Abu Sa’id al-Khudri. ‘Umar berkata: “Mengapa luput dariku hal dari perintah Rasulullah saw ini. Telah melalaikanku transaksi di pasar.” Maksudnya kegiatan berdagangnya (Shahih al-Bukhari bab al-khuruj fit-tijarah no. 2062).
Tentu keliru besar jika disimpulkan ‘Umar ra sebagai shahabat yang malas belajar di majelis ilmu. Beliau dan Abu Bakar ra adalah shahabat yang paling dipercaya dan paling sering mendampingi Nabi saw dalam setiap urusan penting. Hadits di atas justru menjelaskan sisi manusiawi dari ‘Umar ra yakni bahwa beliau tetap sebagai anggota masyarakat biasa yang bekerja mencari nafkah. Tetapi hal tersebut tidak menghalanginya dari berkegiatan belajar. Meski tentunya akan ada saja yang luput dari ‘Umar ra mengingat ia tidak hanya berkegiatan belajar saja, tetapi juga berdagang di pasar mencari nafkah.
Dalam hadits lain dijelaskan bahwa ‘Umar ra juga berprofesi sebagai petani. Itu berarti bahwa ia petani yang langsung mendagangkan hasil taninya di pasar. Demi menyiasati kesibukan bekerja agar tidak mengabaikan kesibukan belajar, maka ‘Umar ra melakukan jadwal gilir dengan tetangganya.
عَنْ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ
Dari ‘Umar ia berkata: “Aku dan tetanggaku dari Anshar yang berada di desa Bani Umayyah ibn Zaid daerah dataran tinggi di Madinah, kami saling bergantian datang ke majelis Rasul saw. Satu hari ia yang datang dan hari lainnya aku yang datang. Jika giliranku datang, maka aku memberi tahu kepadanya seputar wahyu yang turun hari itu dan perkara lainnya. Dan jika giliran tetanggaku yang datang, ia pun melakukan hal yang sama.” (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab at-tanawub fil-‘ilm no. 89).
Hal yang sama dilakukan juga oleh ‘Abdurrahman ibn ‘Auf ra. Meski ia terkenal sebagai seorang pedagang, ia tetap tidak mengenyampingkan kegiatan belajar di majelis Rasulullah saw. Maka dari itu dalam kasus tertentu seperti hadits tentang menyikapi wabah penyakit di satu daerah, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf mengetahuinya sementara shahabat lainnya tidak mengetahuinya.
قَالَ فَجَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ قَالَ فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ
Ibn ‘Abbas berkata: ‘Abdurrahman ibn ‘Auf kemudian datang, ia tidak hadir musyawarah sebelumnya karena ada keperluan. ‘Abdurrahman lalu berkata: “Aku punya ilmu tentang permasalahan ini. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika kalian mendengar ada wabah di satu daerah, janganlah kalian datang ke sana. Tetapi jika wabah itu menyerang satu daerah ketika kalian sudah ada di daerah tersebut, janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.” Kata Ibn ‘Abbas: ‘Umar lalu bertahmid kepada Allah dan kemudian pulang (Shahih al-Bukhari bab ma yudzkaru fit-tha’un no. 5729; Shahih Muslim bab at-tha’un wat-thiyarah wal-kahanah wa nahwiha no. 5915).
Bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah dan tidak bisa rutin datang setiap saat ke Madinah untuk belajar, maka caranya adalah dengan menyediakan waktu khusus untuk belajar di Madinah selama beberapa hari dengan meninggalkan keluarga dan pekerjaan untuk sementara waktu.
قَالَ مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ أَتَيْنَا النَّبِيَّ ﷺ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Malik bin Al Huwairits berkata: Kami pernah datang berkunjung kepada Nabi saw ketika masih muda sebaya dan bermukim di Madinah selama dua puluh malam. Rasulullah saw adalah seorang pribadi yang lembut. Maka ketika beliau mengetahui bahwa kami sudah rindu terhadap keluarga kami, beliau bersabda: “Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah bersama mereka, ajari dan suruhlah mereka,” dan beliau menyebut beberapa perkara yang sebagian kami ingat dan sebagiannya tidak, “dan shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika shalat telah tiba, hendaklah salah seorang di antara kalian melakukan adzan dan yang paling tua menjadi imam.” (Shahih al-Bukhari kitab akhbar al-ahad bab ma ja`a fi ijazah khabar al-wahid as-shaduq no. 7246).
Bagi mereka yang tinggalnya jauh dari pusat kegiatan ilmu dan tidak bisa rutin berkunjung untuk belajar, harus berani menyisihkan waktu setidaknya sampai 20 hari untuk fokus belajar sebelum kemudian pulang lagi ke kampung halaman. Model seperti ini boleh ditempuh satu tahun sekali atau kurang dari itu sesuai kemampuan. Atau boleh juga dilebihkan dari 20 hari sampai setahun atau lebih sesuai kemampuan. Intinya kewajiban mengurus keluarga jangan mengabaikan kewajiban belajar. Dua-duanya wajib, sehingga dua-duanya harus dijalankan secara bersamaan.
Wal-‘Llahu a’lam