Apakah benar ritual perayaan maulid Nabi saw dibenarkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar ulama besar hadits penulis Fathul-Bari dan Bulughul-Maram? Jama’ah At-Taubah Institute
Sepengetahuan kami memang benar demikian, al-Hafizh Ibn Hajar (773-852 H/1372-1449 H) di antara yang setuju dengan perayaan maulid Nabi saw. Itu didasarkan pada penuturan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M, penulis kitab al-Itqan, Tafsir ad-Dur al-Mantsur, Tafsir Jalalain, Tadribur-Rawi, al-Jami’us-Shaghir, al-Asybah wan-Nazha`ir, Tanwirul-Hawalik Syarh al-Muwaththa`, dan lainnya) dalam kitabnya, Husnul–Maqshad fi ‘Amalil–Maulid. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa ketika al-Hafizh Ibn Hajar ditanya tentang perayaan Maulid, beliau menjawab:
أصل عمل المولد بدعة لم ينقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك فقد اشتملت على محاسن وضدها, فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا
Asal amal maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari seorang pun salaf shalih dari tiga generasi pertama. Akan tetapi meski demikian, perayaan tersebut mengandung hal-hal yang baik dan jelek. Siapa yang memilih hal-hal yang baik dalam merayakannya dan meninggalkan yang jeleknya, maka itu bid’ah hasanah, dan jika tidak demikian maka tidak (Husnul–Maqshad fi ‘Amalil–Maulid, hlm. 63)
Al-Hafizh Ibn Hajar kemudian menukil hadits shaum ‘Asyura sebagai syukur Nabi Musa as telah diselamatkan dari kejaran Fir’aun di laut merah. Al-Hafizh kemudian menegaskan bahwa mensyukuri kelahiran Nabi saw yang penuh rahmat dengan demikian juga bisa diamalkan sepanjang diisi dengan ibadah seperti sujud syukur, shaum, shadaqah, dan tilawah al-Qur`an.
Pemahaman al-Hafizh Ibn Hajar akan adanya bid’ah hasanah memang menginduk madzhabnya yakni madzhab Syafi’i. Dalam Fathul-Bari kitab al-I’tisham bab al-iqtida` bi sunan Rasulillah saw terkait hadits “sejelek-jeleknya urusan adalah perkara baru yang diada-adakan, dan setiap yang baru adalah bid’ah”, al-Hafizh mengutip penjelasan Imam as-Syafi’i:
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Bid’ah itu ada dua: Yang baik dan tercela. Yang sesuai sunnah maka itu baik, dan yang menyalahinya maka itu tercela.
الْمُحْدَثَات ضَرْبَانِ مَا أُحْدِث يُخَالِف كِتَابًا أَوْ سُنَّة أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَة الضَّلَال، وَمَا أُحْدِث مِنْ الْخَيْر لَا يُخَالِف شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَة غَيْر مَذْمُومَة
Perkara baru itu ada dua. Yang dibuat baru dan menyalahi kitab, sunnah, atsar, dan ijma’, maka ini bid’ah sesat. Sementara yang dibuat baru berupa kebaikan, tidak menyalahi sedikit pun dari semua itu maka ini hal baru yang tidak tercela.
Kami sendiri tidak sepakat dengan penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar di atas sebab faktanya hadits shaum ‘Asyura tidak diamalkan oleh Nabi saw dan salaf dalam bentuk maulid. Jika maulid sebagai ritual syukur, mengapa generasi awal “tidak pandai bersyukur” dengan kelahiran Nabi saw. Meski perayaan maulid dinilai ada baiknya, tetapi bentuknya yang sudah sebagai ritual peribadatan susah ditampik sebagai bid’ah yang tidak ada dasar perintahnya sehingga sangat dimungkinkan fa huwa raddun; maka dia tertolak.
Meski demikian, harus disisakan dalam hati kita toleransi kepada mereka yang membenarkan maulid. Terlebih ulama-ulama besar sekelas al-Hafizh Ibn Hajar dan Jalaluddin as-Suyuthi sendiri membolehkannya sepanjang diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Meski maulid dinilai bid’ah, tidak perlu sampai memvonis “Ahli Bid’ah” kepada mereka yang menyetujuinya, sebab gelar Ahli Bid’ah hanya cocok untuk mereka yang anti-sunnah, bukan yang sebatas berbeda madzhab dalam merumuskan konsep bid’ah. Wal-‘Llahu a’lam