Kader Muda Ulama Bodoh

Ulama itu semestinya berilmu dan takut kepada Allah. Bukannya bodoh tidak bisa membedakan mana penjajah dan mana pejuang kemerdekaan, serta tidak ada takutnya kepada Allah karena menilai kebathilan sebagai haq. Ulama-ulama bodoh ini umumnya melahirkan kader-kader ulama yang juga bodoh.
Sungguh terlalu nyata bodohnya. Penjajah (Israel) diajak dialog untuk mencari celah pembenaran melegalkan penjajahannya dan kemudian peserta dialog pun membenarkan penjajahannya. Sementara para pejuang kemerdekaan (pejuang Palestina) diposisikan sebagai pihak teroris yang tidak menginginkan perdamaian, sehingga mereka tidak pantas diajak berdialog. Dialog selalu diarahkan hanya untuk perdamaian bagi bangsa Israel, tetapi tidak untuk kemerdekaan bangsa Palestina.
Padahal penjajah telah melakukan kekerasan dan kekejian yang sangat biadab selama berpuluh-puluh tahun. Hanya manusia yang benar-benar bodoh saja yang tidak mengetahuinya. Sementara pejuang kemerdekaan hanya memperjuangkan haknya yang dirampas penjajah. Itupun dengan kekerasan yang belum seberapa dibanding para penjajah dan baru beberapa tahun saja. Al-Qur’an yang “logika”-nya tidak mungkin salah saja membenarkan “membalas keburukan dengan keburukan setimpal” (QS. As-Syura [42] : 40), apalagi yang masih kurang setimpal, tentunya harus dianggap benar dan wajar. Tetapi logika mereka yang mengklaim ulama malah bodoh; menilai para pejuang hak sebagai teoris sementara penjajah sebagai pencinta perdamaian dan berhak hidup damai di atas penjajahannya.
Yang sangat disesalkan oleh masyarakat, termasuk Nahdliyyin, tidak ada klarifikasi dari para ulama tersebut–sesudah mereka meminta maaf–bahwa perbuatan mereka berdialog dengan penjajah untuk membenarkan penjajahannya adalah salah. Jadi pemberian maaf dari masyarakat pun masih berat untuk diberikan. Permohonan maaf hanya disampaikan karena membawa-bawa nama organisasi NU saja. Kalau atas nama pribadi tidak akan disalahkan oleh PBNU. Padahal umat sudah tahu bahwa dialog para ulama muda itu atas nama pribadi. Persis sama dengan para pendahulu mereka yang berani berdialog tentang perdamaian (untuk Israel saja) bersama para petinggi Israel yang juga atas nama pribadi. Sepatutnya ada penjelasan bahwa dialog untuk perdamaian bagi penjajah itu sebuah kebathilan dan jangan diulangi meski atas nama pribadi. Sebuah kebathilan yang nyata bukan menurut Al-Qur’an dan Sunnah saja, malah juga menurut nilai-nilai masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengingkarinya merupakan sebuah kebodohan yang nyata.
Masyarakat susah untuk memaklumi karena beberapa pekan sebelumnya nyata sekali sikap salah seorang tokoh NU yang menjadi Menteri Agama dan kemudian menyampaikan salam enam agama demi melawan fatwa MUI yang mayoritasnya diisi oleh ulama-ulama dari NU juga. MUI berdasarkan dalil-dalil syari’at sudah mengeluarkan fatwa bahwa salam lintas agama bukan termasuk ajaran toleransi dalam Islam. Toleransi wajib diamalkan oleh umat Islam, tetapi bukan dengan salam lintas agama, karena itu melanggar aturan syari’at yang mengharamkan mencampurkan haq dan bathil. Akan tetapi Menteri Agama kukuh dengan argumentasi logisnya bahwa Indonesia negeri yang mengakui berbagai agama sehingga salam pun harus mengakomodir seluruh agama. Logika murni versus logika syari’ah seperti ini bukan ilmu versus ilmu, melainkan kebodohan versus ilmu.
Model berpikir yang mendewakan logika murni dan kemudian melawan wahyu adalah model berpikir Iblis. Sang Raja Setan itu selalu berdalih dengan logikanya untuk berkilah dari perintah Allah (wahyu). Logika Iblis itu nyata sesat dan bodohnya.
Umat Islam seyogianya waspada dan jangan terkecoh dengan ulama-ulama bodoh yang umumnya muda seperti itu. Jangan mudah terkecoh dengan bungkus “keulamaan” dan “intelektulitas” jika nyatanya bertentangan dengan syari’at dan logika kebenaran manusia pada umumnya. Ulama-ulama muda itu hanya ulama-ulama bodoh dan sesat yang memang sudah diberitahukan oleh Nabi saw akan menghiasi jagat sebelum kiamat. Maksud Nabi saw, umat jangan lengah dan tersesat. Mereka yang bodoh itu tampilannya saja tampilan para ulama, tetapi hakikatnya tetap orang-orang bodoh.
Imam al-Bukhari di awal kitab al-‘ilm sudah mengingatkan bahaya ulama-ulama muda bodoh ini dengan menuliskan hadits peringatan dari Nabi saw sebagai berikut:
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah kiamat.” Orang Arab gunung itu bertanya: “Bagaimana amanah disia-siakan itu?” Beliau menjawab: “Apabila urusan disandarkan kepada orang yang tidak layak maka tunggulah kiamat.” (Shahih al-Bukhari bab man su`ila ‘ilman wa huwa musytaghillun fi haditsihi no. 59. Imam al-Bukhari menuliskan juga hadits ini dalam kitab ar-riqaq bab raf’il-amanah no. 6496 dengan lafazh idza usnidal-amr; apabila urusan disandarkan. Sementara lafazh hadits di atas idza wussidal-amr berasal dari kata wisadah yang berarti bantal atau sandaran duduk).
Maksud urusan (al-amr) dalam hadits di atas mencakup segala urusan yang harus dipegang oleh orang yang ahli. Urusan seperti ini berkaitan dengan urusan keagamaan dan kemasyarakatan. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari kitab ar-riqaq menjelaskan bahwa al-amr itu mencakup urusan yang berkaitan dengan agama seperti khilafah (pemerintahan), imarah (jabatan kenegaraan), qadla (kehakiman), ifta (kewenangan memberi fatwa), dan urusan lainnya.
Penempatan hadits di atas dalam kitab tentang ilmu oleh Imam al-Bukhari dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar sebagai berikut:
وَمُنَاسَبَة هَذَا الْمَتْن لِكِتَابِ الْعِلْم أَنَّ إِسْنَاد الْأَمْر إِلَى غَيْر أَهْله إِنَّمَا يَكُون عِنْد غَلَبَة الْجَهْل وَرَفْع الْعِلْم، وَذَلِكَ مِنْ جُمْلَة الْأَشْرَاط وَمُقْتَضَاهُ أَنَّ الْعِلْم مَا دَامَ قَائِمًا فَفِي الْأَمْر فُسْحَة
“Keterkaitan matan ini dengan kitab tentang ilmu karena sungguh penyandaran urusan kepada orang yang tidak layak terjadi ketika menyebarnya kebodohan dan dicabutnya ilmu yang mana hal itu termasuk sejumlah pertanda kiamat. Yang intinya sungguh ilmu itu selama dia ada maka dalam hal tersebut terdapat keleluasaan (untuk memilih pengurus/pemimpin yang layak).”
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan lebih lanjut:
وَكَأَنَّ الْمُصَنِّف أَشَارَ إِلَى أَنَّ الْعِلْم إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ الْأَكَابِر تَلْمِيحًا لِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي أُمَيَّة الْجُمَحِيِّ أَنَّ رَسُول اللَّه ﷺ قَالَ مِنْ أَشْرَاط السَّاعَة أَنْ يُلْتَمَس الْعِلْم عِنْد الْأَصَاغِر
“Seakan-akan penulis kitab (Imam al-Bukhari) berisyarat bahwa ilmu itu harus diambil dari ulama-ulama senior, merujuk pada riwayat dari Abu Umayyah al-Jumahi bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Di antara tanda-tanda kiamat itu adalah ilmu dicari dari ulama cendekia muda.” (Fathul-Bari kitab al-‘ilm).
Sabda Nabi saw dari Abu Umayyah al-Jumahi yang dimaksud al-Hafizh Ibn Hajar di atas diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabir, Ibnul-Mubarak dalam az-Zuhd, Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Fitan, dan al-Lalika`i dalam Syarah Ushulis-Sunnah. Imam al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawa`id menyebutkan sanadnya dla’if karena ada rawi bernama Ibn Lahi’ah. Akan tetapi al-Hafizh Ibn Hajar sendiri sebagaimana kutipan di atas tidak sedikit pun menyinggung kedla’ifannya. Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah (no. 695) membantah kedla’ifannya dan menyatakan hadits di atas shahih. Kelemahan Ibn Lahi’ah tidak diperhitungkan karena yang meriwayatkan darinya ‘Abdullah ibnul-Mubarak (ulama besar Atba’ Tabi’in yang derajatnya tsiqah tsabt faqih ‘alim jawwad mujahid, w. 181 H). Hal ini senada dengan penilaian al-Hafizh Ibn Hajar yang menyebutkan masalah pada Ibn Lahi’ah adalah periwayatannya di masa tua karena mengalami gangguan ingatan masa tua setelah kitab-kitabnya terbakar. Jika yang meriwayatkan darinya Ibnul-Mubarak dan Ibn Wahb maka periwayatannya selamat (Taqribut-Tahdzib).
Istilah ashaghir merupakan lawan dari akabir. Secara kebahasaan ashaghir bermakna junior/muda dan akabir bermakna senior/tua. Sabda Nabi saw di atas yang menyebut ulama cendekia muda sebagai rujukan ilmu konteksnya dalam hal negatif karena dikaitkan dengan rusaknya zaman menjelang kiamat yang salah satunya ditandakan dengan terpilihnya para pemimpin, pejabat, dan tokoh masyarakat yang tidak layak. Tentunya penilaian negatif untuk ulama cendekia muda tersebut tidak berlaku umum untuk semua ulama dan cendekia muda, karena dari sejak era shahabat pun sudah banyak tampil ulama cendekia muda seperti Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Amr, dan lainnya. Demikian halnya dalam periwayatan hadits dikategorikan sah periwayatan akabir dari ashaghir sepanjang rawi ashaghir tersebut ‘adil dlabith. Maka yang dimaksud ulama cendekia muda (ashaghir) di atas adalah ulama cendekia muda yang sesat ilmunya tetapi dijadikan rujukan oleh umat sehingga berdampak pada terpilihnya para pemimpin yang tidak layak di tengah-tengah masyarakat.
Imam al-Munawi dalam kitab syarah haditsnya, Faidlul-Qadir, mengutip beberapa atsar shahabat yang menunjukkan bahwa ulama cendekia muda yang menjadi sumber fitnah akhir zaman itu adalah mereka yang memilih berbeda bahkan melawan paradigma keilmuan para shahabat dan ulama-ulama senior sesudah mereka.
وَأَخْرَجَ الطَّبْرَانِي عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ: لَا يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ ﷺ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوْا
At-Thabrani meriwayatkan dari Ibn Mas’ud: “Manusia akan senantiasa shalih dan konsisten selama datang kepada mereka ilmu dari para shahabat Muhammad saw dan dari ulama senior mereka. Apabila datang kepada mereka ilmu dari ulama cendekia muda mereka maka mereka akan binasa.”
وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: سَوِّدُوْا كِبَارَكُمْ لِتَعِزُّوا وَلَا تُسَوِّدُوْا صِغَارَكُمْ فَتَذِلُّوْا
Beberapa ulama ahli hikmah berkata: “Jadikanlah panutan oleh kalian ulama-ulama tua agar kalian mulia. Jangan menjadikan ulama-ulama muda sebagai panutan nanti kalian hina.”
وَفِي مُصَنَّفِ قَاسِمِ بْنِ أَصْبَغٍ بِسَنَدٍ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ صَحِيْحٌ عَنْ عُمَرَ: فَسَادُ النَّاسِ إِذَا جَاءَ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ الصَّغِيْرِ اِسْتَعْصَى عَلَيْهِ الْكَبِيْرَ. وَصَلَاحُ النَّاسِ إِذَا جَاءَ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ الْكَبِيْرِ تَابَعَهُ عَلَيْهِ الصَّغِيْرُ
Dalam Mushannaf Qasim ibn Ashbagh dengan sanad yang dinilai Ibn Hajar shahih dari ‘Umar ra: “Binasanya manusia apabila datang ilmu dari ulama cendekia muda yang melawan ilmu ulama tua. Beresnya manusia apabila datang ilmu dari ulama tua dan diikuti oleh ulama muda.” (Faidlul-Qadir 2 : 533 no. 2475).
Apa yang dijelaskan hadits dan atsar-atsar para shahabat di atas senada dengan penjelasan Nabi saw dalam hadits tentang “dicabutnya ilmu”, yakni para ulama diwafatkan kemudian tampil tokoh-tokoh bodoh yang tidak mengambil ilmu dari para ulama yang sudah wafat tersebut, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Korelasinya berarti ulama cendekia muda yang dikritik dalam hadits di atas adalah ulama cendekia yang tidak mengikuti ilmunya para ulama, melainkan mengikuti ilmu-ilmu yang kering dari nilai-nilai agama alias ilmu-ilmu sekuler. Dalam konteks hari ini ilmu-ilmu itu adalah ilmu politik, sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan ilmu agama yang paradigmanya sekularistik; meminggirkan atau bahkan menghilangkan nilai-nilai syari’ah.
Tampilnya ulama-ulama muda bodoh seperti disinggung di atas disebabkan pendidikan ilmu-ilmu sekuler yang dominan kepada generasi muda. Di samping terlalu banyaknya teladan ulama-ulama bodoh di tengah-tengah masyarakat yang kemudian dijadikan panutan oleh generasi mudanya. Ilmu-ilmu agama seyogianya bisa meng-Islam-kan ilmu-ilmu sekuler yang dominan tersebut, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, ilmu-ilmu agama tersekulerkan oleh ilmu-ilmu sekuler.
Demikianlah dampak buruk ilmu-ilmu sekuler kepada kalangan yang disebut ulama. Apalagi bagi generasi muda yang hampa dari ilmu-ilmu para ulama.
Masih saja akan menganggap enteng bahaya sekularisasi ilmu ini!?