Jilbab dalam Alkitab Kristen

Kasus pemaksaan jilbab untuk siswi non-muslim di SMKN Padang memunculkan reaksi dari kalangan Kristen dan sekuler bahwa hal tersebut sangat tidak dibenarkan. Menteri Pendidikan sampai mengeluarkan ultimatum akan memecat Kepala Sekolah yang memberlakukan aturan demikian. Padahal sejatinya ajaran jilbab juga ada dalam Alkitab Kristen. Bedanya Kristen sudah melegalkan liberalisasi, sementara umat Islam harus menolak liberalisasi.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS. Al-Baqarah [2] : 256)
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (agama kamu silahkan terserah kamu, dan aku hanya fokus pada agamaku, kalian tidak boleh intervensi—pen) (QS. Al-Kafirun [109] : 6).
Aturan yang bisa menjamin kesopanan pakaian siswi non-muslim bisa diterapkan dalam model mewajibkan pakaian yang longgar dan panjang. Tidak perlu dengan mewajibkan kerudung, karena dalam aturan pakaian orang kafir hal tersebut tidak ada.
Meski sebenarnya, untuk orang Kristen, aturan memakai kerudung untuk kaum perempuan itu ada. Dan itu tertuang dalam Alkitab, tepatnya dalam Surat Paulus kepada jemaat Korintus yang termaktub dalam 1 Korintus Pasal 11 ayat 1-16 sebagai berikut:
- Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.
- Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran yang kuteruskan kepadamu.
- Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.
- Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya.
- Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.
- Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
…
- Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.
…
- Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?
- Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki, jika ia berambut panjang,
- tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi penudung.
- Tetapi jika ada orang yang mau membantah, kami maupun Jemaat-jemaat Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian.
Rita Wahyu Wulandari, pengajar Bahasa Ibrani Alkitabiah di Institute for Syriac Culture Studies (ISCS), alumni Universitas Ibrani Yerusalem dan Pusat Alkitab Israel, dalam website yang diasuhnya sarapanpagi.org menjelaskan:
1 Korintus 11 mulai ayat 2 sampai dengan 1 Korintus 14 ayat 4, latar belakangnya ditulis ketika Rabbi Saul (Rasul Paulus) mendengar bahwa jemaat di Korintus bertikai dan kebingungan mengenai pakaian LITURGI, Rabbi Saul mengkritik karena jemaat di Korintus terpecah memasalahkan siapa Pelayan yang sah dan mempersoalkan pakaian Liturgis yang sebenarnya bukan masalah yang penting dalam ibadah, dalam bagian lain Paulus sering menekankan bahwa ibadah yang terpenting adalah dalam roh dan kebenaran, bukan masalah-masalah lahiriah.
…
Jadi, jelas di sini Rabbi Saul sedang bicara κατακαλύπτω – katakaluptô pada jemaatnya di Korintus dalam artian “tudung/kerudung kepala/kain penutup pada kepala” untuk kaum perempuan. Suatu ketentuan adat/budaya yang berlaku pada masa itu.
Bahkan secara keras dalam nasehat pastoralnya kepada Jemaat Korintus ini, bahwa perempuan yang tidak menggunakan kain penutup kepala (veil/kerudung) dia disamakan dengan perempuan yang dicukur rambutnya (khas kaum lesbian kala itu, ayat 5), dan itu adalah penghinaan kodratnya sebagai perempuan.
…
Mengapa perempuan ditekankan harus memanjangkan rambutnya dan menutupnya dengan kain penutup (kerudung/veil) dalam ibadah-ibadah, sebagai “tanda” kewibawaan Allah?
Sebab, latar-belakang budaya saat itu, apabila seorang perempuan tidak menggunakan tutup kepala, artinya ia adalah seorang perempuan yang “tersedia bagi siapapun”, dan perempuan yang memotong rambutnya itu identik dengan kaum lesbian.
…
Dari penjelasan di atas, jelas sekali anjuran untuk menggunakan kain untuk menutup kepala bagi perempuan adalah berkaitan dengan latar belakang budaya masa itu, anjuran itu justru melindungi kaum perempuan, agar mereka tidak dianggap pelacur karena kepalanya tidak bertudung (κατακαλύπτω-KATAKALUPTÔ); dan mereka tetap harus memanjangkan rambutnya (κομάω-KOMAÔ) agar tidak dianggap sebagai kaum lesbian (yang kala itu memiliki khas rambut yang dipotong/ digundul).
Penafsiran yang merujukkan pada budaya adalah penafsiran khas hermeneutika yang legal dalam budaya Kristen karena mereka tidak mempunyai khazanah ilmu kebahasaan sebagaimana ilmu tafsir dalam khazanah Islam. Hal ini disebabkan teks Alkitabnya itu sendiri tidak diyakini sebagai teks murni wahyu Tuhan, sehingga mereka tidak berkepentingan dengan ilmu kebahasaan. Dampaknya penafsiran selalu dirujukkan pada konteks, bukan teks. Budaya Kristen juga sudah terpengaruh liberalisme Barat ketika mereka memaksakan diri agar Kristen diterima oleh masyarakat Barat yang sebelumnya berbudaya Romawi dan Yunani. Jadinya hermeneutika yang digunakan, padahal model penafsiran hermeneutika ujung-ujungnya adalah sami’na wa ‘ashaina; mendengar tetapi tidak mematuhi; mengetahui adanya ayat itu, tetapi kemudian tidak mengamalkannya karena ayat tersebut konteksnya terkait budaya pada waktu itu dimana kesopanan seorang perempuan ditentukan oleh kerudung di kepalanya; untuk konteks zaman ini perempuan tetap terhormat dan sopan meski tidak berkerudung.
Model penafsiran hermeneutika yang mengaitkan dengan budaya seperti di atas hari ini sudah dipaksakan juga oleh akademisi muslim di berbagai Perguruan Tinggi kepada umat Islam, sehingga kesimpulannya perempuan muslimah juga bisa terhormat meski tidak berkerudung. Ini semua jelas wujud nyata dari sami’na wa ‘ashaina. Padahal seharusnya sami’na atha’na. Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.