Islam Anti Pancasila?

Islam Anti Pancasila? – Kekalahan Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017 dijadikan momentum oleh para simpatisannya untuk memunculkan stigma bahwa umat Islam anti kebhinekaan dan anti Pancasila. Negara pun tampak terbawa hanyut oleh arus media yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Dilindungilah sedemikian rupa ‘kesaktian’ Pancasila dari setiap ideologi yang diyakini akan merongrong kesaktiannya yakni ‘Islam politik’.
Meski Pemerintah RI tampak menegaskan bahwa kebijakan pembubaran ormas yang merongrong Pancasila ditujukan pada setiap ormas yang berideologi anti Pancasila, bukan pada ideologi Islamnya, tetap saja sulit disembunyikan bahwa arahnya adalah memberangus ormas-ormas yang berideologi Islam secara kaffah. Itu tampak jelas pada pernyataan resmi Pemerintah RI yang akan membubarkan salah satu ormas Islam besar di Indonesia. Ditambah dengan pernyataan Presiden, Wakil Presiden, sampai para Menteri termasuk Menteri Agama, yang menghendaki dijauhkannya agama dari politik. Tokoh-tokoh Islam dari partai dan ormas Islam tertentu pun tampak membenarkan bahwa Islam jangan dijadikan dasar negara. Atau dengan tegas mereka menyatakan bahwa Indonesia jangan dijadikan Negara Islam. Kecurigaan ini semakin berdasar mengingat sebelumnya sangat kasat mata sekali rezim Pemerintah ini getol melakukan kriminalisasi kepada tokoh-tokoh Islam penggagas aksi 411 dan 212 yang distigmakan sebagai ‘Islam Radikal’.
Umat Islam tampak sengaja dibenturkan di antara sesamanya dengan dalih Pancasila. Mereka yang dianggap berkompromi dengan Pancasila—dalam perspektif Pemerintah RI tentunya—dirangkul dan diistimewakan, bahkan cukup sering dijamu makan di Istana Negara. Tetapi mereka yang dianggap tidak Pancasilais karena menghendaki penegakan hukum kepada Ahok atau mengajarkan ‘Islam politik’ di komunitasnya, sama sekali dijauhi, distigmakan sebagai anti Pancasila, dan bahkan diancam akan dibubarkan yayasan atau ormasnya. Masih beruntung umat Islam Indonesia, meskipun para tokoh pimpinan umat ini diberlakukan secara berbeda oleh Pemerintah RI, tidak kemudian melahirkan perpecahan yang nyata di tengah-tengah umat. Meski tentunya tidak bisa dihindari adanya oknum-oknum tertentu dari umat ini yang malah berteriak sama dengan Pemerintah RI dan berpotensi besar memunculkan perpecahan. Umat Islam dalam hal ini dituntut dewasa, bijaksana, dan pintar mengendalikan diri untuk tidak terbawa skenario pemecahbelahan umat pasca terjalin erat dan kuat melalui aksi 411 dan 212.
Membenturkan ideologi Islam dengan Pancasila adalah modus usang dari para pemimpin negeri ini untuk melemahkan kebangkitan umat Islam. Para pemimpin yang meski beragama Islam tetapi sudah teracuni oleh Islamophobia (ketakutan pada Islam). Pada era Orde Lama yang dipimpin Soekarno, racun Islamophobia dihembuskan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berhasil memaksakan ideologi Nasakom (nasionalis, agama, komunis) sebagai perwujudan Pancasila sehingga kemudian memberangus partai dan ormas Islam yang dianggap penentang Pancasila dan Nasakomnya. Pada era Orde Baru yang dipimpin Soeharto, Islamophobia dihembuskan oleh sarjana-sarjana lulusan Barat yang kemudian menjadi para pemimpin negeri, dimana pemikirannya terbaratkan dan kemudian merumuskan Pancasila sebagai asas tunggal dengan penafsirannya yang sekuler. Konsekuensinya semua upaya umat Islam untuk lebih menghadirkan Islam di negeri ini selalu dicurigai sebagai upaya mengkhianati Pancasila. Perdebatan panjang dan melelahkan di seputar UU Perkawinan yang akhirnya hanya melegalkan perkawinan seagama, UU Peradilan Agama, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan pemberlakuan pendidikan agama di semua lembaga pendidikan Indonesia, menggambarkan upaya pembenturan antara Islam dengan Pancasila oleh mereka yang teracuni Islamophobia.
Pada era Orde Reformasi, pencabutan UU yang mewajibkan asas tunggal mengakhiri penafsiran sepihak atas Pancasila oleh penguasa yang cenderung memojokkan Islam. Akan tetapi akhir-akhir ini, Pemerintah tampak giat kembali untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi tunggal dan kembali menohok ormas atau yayasan Islam yang dinilai membahayakan Pancasila dengan modus yang tidak jauh berbeda, yakni umat Islam yang dikhawatirkan akan membawa kebangkitan umat Islam di Indonesia.
Pemerintah RI dan umat Islam Indonesia secara keseluruhan tentu harus ingat bahwa Pancasila dilahirkan oleh umat Islam sendiri. Menuduh Islam sebagai anti Pancasila tentu bukan hanya salah alamat, tetapi merupakan fitnah yang paling keji. Itu tidak lebih dari ‘maling teriak maling’. Siapa sebenarnya pengkhianat Pancasila itu? Bukankah itu adalah tokoh-tokoh yang berani menista Islam di muka umum dan menimbulkan kemarahan umat sehingga memecah belah persatuan Indonesia? Apakah tokoh-tokoh yang mengajarkan sekularisme dan nyata bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa layak dianggap sebagai pembela Pancasila, sementara yang menentang sekularisme dinilai sebagai pengkhianat Pancasila? Mana yang setia Pancasila; umat Islam yang istiqamah bergerak di ekonomi kerakyatan ataukah para penguasa dan politisi pengemplang pajak yang menanam uangnya di negara-negara asing? Mana yang komitmen keadilan sosialnya tinggi berdasarkan Pancasila; apakah umat Islam yang berkhidmat melayani umat dan bangsa, ataukah para penguasa yang menggerogoti kekayaan negara bekerja sama dengan para pengusaha? Keliru benar bangsa ini jika para pembina moral agama dianggap pengkhianat Pancasila sementara penganjur kebebasan dianggap sebagai pihak yang setia Pancasila. Di sinilah nyata terlihat ‘maling teriak maling’.
Umat Islam dari sejak awal menyadari betul bahwa Pancasila adalah sebuah mu’ahadah (perjanjian untuk bisa hidup damai bersama-sama) dengan kelompok-kelompok non-muslim di bumi pertiwi ini. Mu’ahadah seperti ini diajarkan oleh Islam, bahkan sampai diwajibkan untuk selalu dijaga dengan penuh ketaqwaan (QS. at-Taubah [9] : 4 dan 7). Sejarah membuktikan bahwa umat Islam sangat setia dengan perjanjiannya ini. Ketika Pancasila yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 diubah secara sepihak oleh M. Hatta bersama tokoh-tokoh Kristen pada 18 Agustus 1945 dengan mengganti “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” umat Islam tetap setia Pancasila dan NKRI dengan tidak memisahkan diri dari NKRI, sebagaimana sebelumnya diancamkan oleh tokoh-tokoh Kristen. Seandainya M. Hatta tidak mengubah sila pertama tersebut dan kemudian Indonesia bagian Timur memisahkan diri dari NKRI, mungkin akan jelas siapa sebenarnya pengkhianat Pancasila dan NKRI. Ketika RI terpecah belah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat) berdasarkan Perjanjian Renville, maka M. Natsir yang merupakan pimpinan partai Islam mengusung mosi integral dan kemudian mewujud menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) seperti hari ini. Demikian halnya ketika Pemerintah RI hampir putus asa menghadapi pemberontakan DI/TII, tokoh-tokoh Islam yang diwakili M. Natsir yang kemudian meyakinkan mereka untuk mengalah pada Pancasila dan NKRI.
Pancasila sendiri tidak pernah memusuhi Islam. Itu tampak terlihat dari diakomodirnya Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya menjadi UU No. 1/PNPS/1965). Demikian halnya Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Ditambah perundang-undangan yang mengakomodir kepentingan umat Islam seperti UU Perkawinan, Peradilan Agama, Waris, Wakaf, Zakat, Haji, Perbankan Syari’ah, Perekonomian Syari’ah, Mahkamah Syari’ah untuk Aceh, Surat Utang Negara Syari’ah, dan yang lainnya. Jadi Negara yang notabene berdasar Pancasila pada faktanya tidak mengharamkan hadirnya perundang-undangan yang dibutuhkan umat Islam. Sebuah pertanda yang jelas tidak ada pertentangan antara Pancasila dan Islam.
Terlebih jika hendak diturunkan pada penafsiran Pancasila itu sendiri dari asal-usul kata dan istilahnya—meski ini selalu menjadi perdebatan yang tiada akhir—pasti akan ditemukan fakta bahwa Islam tidak mungkin anti Pancasila. Untuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa, silahkan kaji secara ilmiah, agama mana yang mendasari ketuhanannya pada kemahaesaan selain Islam dengan tauhidnya? Sila kemanusiaan ternyata dibatasi dengan “adil” dan “beradab”; dua istilah yang berasal dari bahasa Islam dan hanya Islam yang mempunyai penafsiran paling asli tentang kedua istilah tersebut. Sila persatuan Indonesia sesuai dengan prinsip ajaran al-jama’ah pada doktrin Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Sila kerakyatan, dibatasi dengan “hikmah”, “permusyawaratan” dan “perwakilan”, yang kesemuanya diambil dari bahasa Islam dan sudah pasti sesuai dengan Islam. Termasuk sila ‘keadilan’ yang murni diambil dari bahasa Islam dan tidak ditemukan dalam bahasa non-Islam selain hanya turut menggunakannya.
Jadi, masihkah akan bersikukuh bahwa Islam anti Pancasila!? Dasar ‘maling teriak maling’!
Wal-‘Llahul-Musta’an.