Waspada Ideologi Teror

Waspada Ideologi Teror – Idelogi teror adalah paham dan keyakinan yang membenarkan berbuat teror atau menebar ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Ideologi ini tidak memandang agama dan bangsa. Apapun bangsa dan agamanya, jika sudah menganut ideologi teror, maka mereka akan sangat mudah berbuat teror apapun dalihnya. Ideologi ini kadang tidak terlihat, tetapi selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Umat Islam wajib untuk selalu mewaspadai ideologi ini agar tidak tersebar luas dan mewujud menjadi gerakan teror.
Peristiwa bom panci di Bandung Februari silam adalah bukti bahwa ideologi teror masih ada di tengah-tengah masyarakat, tanpa perlu mengaitkannya dengan agama tertentu, apalagi ormas tertentu yang jelas-jelas legal. Bagi mereka apa yang dilakukan itu adalah perjuangan dan pengorbanan demi membela kebenaran dan menumpas kezhaliman. Dengan senjata seadanya sekalipun, ataupun bom alakadarnya sekalipun, maka itu harus ditempuh. Inilah ideologi teror.
Jika hendak dibuka lagi lembaran-lembaran peristiwa beberapa tahun silam, ideologi ini seolah tidak pernah mati. Pada 2012 silam pernah terjadi peristiwa ledakan keras di sebuah rumah yang dimiliki Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara di Jalan Nusantara Raya, Beji, Depok (Sabtu, 8/9/2012) . Ledakan itu dipastikan berasal dari bom yang meledak di dalam bangunan pondok. Tiga orang mengalami luka dari kejadian tersebut, dua orang luka ringan, sedangkan seorang lainnya luka berat. Dari oleh TKP (tempat kejadian perkara), polisi menemukan secarik surat wasiat yang ditujukan kepada ibu, istri dan anaknya, bahwa sang penulisnya sedang mencari ridla Allah di surga.
Akhir September 2012, 11 orang terduga teroris juga diciduk dari tempat yang berbeda-beda; Solo, Sukoharjo, dan Kalbar. Dari para terduga teroris tersebut polisi menemukan bom yang siap diledakkan, bom setengah jadi, dan bahan-bahan kimia yang diduga akan dijadikan bahan peledak. Tidak luput pula buku-buku tentang jihad ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP).
Seorang muslim bernama Mohammad Syarif pernah berani meledakkan dirinya dengan sebuah bom pada saat shalat Jum’at di masjid Mapolresta Cirebon, adz-Dzikra, 15 April 2011. Menurut pengakuan sang ayah, Syarif memang sudah lama berkeyakinan bahwa polisi kafir, pemerintah RI kafir, bahkan ayahnya pun kafir, sehingga darah mereka semuanya halal. Selang beberapa hari kemudian ditemukan video pengakuan dirinya sebelum peledakan bom bunuh diri dilakukannya, dan langkah itu menurutnya merupakan sebuah jihad.
Imam Samudra, salah satu terpidana dalam persitiwa Bom Bali 2005 di pantai Kuta, dengan terang-terangan menceritakan ideologi terornya kepada seorang penulis yang kemudian menuangkannya pada buku “Aku Melawan Teroris”. Ia menyatakan teror itu bagian dari jihad. Ia secara jujur mengakui bahwa bom Bali dibuat dan diledakkan oleh timnya sebagai bagian dari jihad fi sabilillah.
Masyarakat Indonesia juga pernah digemparkan dengan perburuan buronan paling bersejarah sepanjang 2005-2009. Mereka adalah Dr. Azahari dan Nordin M. Top.  Keduanya kemudian tewas dalam sebuah serbuan polisi. Azahari tewas pada 9 November 2005 di Malang, Jawa Timur, sementara Nordin M. Top pada 17 September 2009 di Solo, Jawa Tengah. Pada Desember 2005, Abu Bakar Ba’asyir yang saat itu masih ditahan di Rutan Cipinang, Jakarta, menyatakan bahwa Dr. Azahari dan Nordin M. Top itu orangnya memang ada dan berpaham terorisme (Wawancara Risalah No. 10 Th. 43 Januari 2006, hlm. 30-33).
Jauh sebelum itu, paham teror dianut oleh NII (Negara Islam Indonesia) di awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam level dunia, paham ini dianut oleh ISIS (The Islamic State of Iraq and Syria/Negara Islam Irak dan Suriah).
Fakta bahwa mereka adalah teroris yang diciptakan oleh pihak-pihak tertentu memang belum ditemukan atau mungkin tidak akan ditemukan. Hanya jika berkaca pada kasus kelompok ekstrem Komando Jihad (Koji) yang berhasil membajak pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 atau juga dikenal dengan sebutan Peristiwa Woyla pada 28 Maret 1981 dan ternyata itu ciptaan intelijen di bawah rezim Ali Moertopo, umat Islam berhak untuk menaruh curiga bahwa ideologi-ideologi teror itu diciptakan intelijen juga.
Akan tetapi di samping itu, umat Islam mesti instrospeksi diri juga terhadap aktivitas dakwah dan pendidikan yang selama ini dijalani. Sebab walau bagaimanapun keberadaan orang-orang yang berpaham teror itu benar-benar ada dan merupakan sebuah fakta. Terlepas apakah itu disebabkan mereka boneka para intelijen, ataukah mereka orang-orang awam yang terjerembab pada perangkap intelijen. Yang jelas keberadaan mereka yang berpaham teror itu benar adanya.
Paham teror ini pada umumnya bermuara pada takfir; menilai orang yang tidak sepaham dengan mereka sebagai orang kafir. Dalil yang biasa digunakan adalah QS. al-Ma`idah [5] : 44: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Atau QS. Al-An’am [6] : 57 dan Yusuf [12] : 40: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
Padahal sebagaimana ditegaskan shahabat Ibn ‘Umar, dalil-dalil itu ditujukan untuk orang-orang kafir dan tidak boleh ditujukan kepada orang-orang Islam. Jika ditujukan kepada orang Islam, jadinya mengkafirkan orang-orang Islam (Shahih al-Bukhari kitab istitabatil-murtaddin wal-mu’anidin wa qitalihim). Padahal jelas itu haram berdasarkan sabda Nabi saw:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka jika memang benar apa yang dikatakan itu. Jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Shahabat Ibn ‘Abbas sendiri menjelaskan bahwa maksud QS. al-Ma`idah [5] : 44, 45 dan 47 itu adalah: “Siapa yang menolak terang-terangan (jahada) apa yang diturunkan Allah berarti kafir. Siapa yang mengakuinya, tetapi tidak menetapkan hukum dengannya berarti zhalim fasiq.” Selanjutnya Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat itu ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Kristen. Meski juga berlaku bagi orang Islam, tetapi kufurnya tidak sebagaimana kufur yang keluar dari Islam: Hiya bihi kufrun; sebatas ada sifat kafir. Laisa bil-kufril-ladzi yadzhabuna ialihi; bukan kafir sebagaimana yang umum dipahami, yakni keluar dari Islam. Ditegaskan oleh Ibn Thawus: Laisa ka man kafara bil-‘Llah wa mala`ikatihi wa kutubihi wa rusulihi; tidak sama dengan orang yang kafir kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya. Sementara ‘Atha` menegaskan: Kufrun duna kufrin; kafir dalam ayat itu di bawah kafir yang sebenarnya (Tafsir Ibn Katsir).
Atau dalam istilah para ulama, kafir tidak menetapkan hukum Allah swt itu adalah kafir ‘amali; amalnya seperti orang kafir. Bukan kafir i’tiqadi; kafir keyakinan seperti orang-orang kafir pada umumnya. Kalaupun pemerintah Indonesia belum menetapkan hukum Allah swt secara sempurna, statusnya bukan kafir mutlak, masih muslim dan masih wajib ditaati sepanjang tidak menyuruh pada kemaksiatan.

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari, maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits di atas: “Siapa yang membenci dengan hatinya, tetapi tidak mampu mengingkari dengan tangan atau lisannya, maka sungguh ia sudah bebas dari dosa dan sudah melaksanakan tugasnya sesuai kemampuannya. Siapa yang mengingkari sesuai dengan kemampuannya (dengan tangan atau lisan—pen), maka ia pasti selamat dari maksiat ini. Tetapi siapa yang ridla dengan kebijakan bejat mereka dan mengikutinya, itulah orang maksiat.” (Riyadlus-Shalihin bab fil-amri bil-ma’ruf wan-nahyi ‘anil-munkar).
Mengingkari dengan tangan itu sendiri tentunya bukan dengan senjata, sebab Nabi saw sudah melarang dengan tegas dalam hadits di atas selama pemerintah yang muslim itu masih shalat. Bahkan kalaupun dalihnya jihad kepada penguasa zhalim, tetap saja salah. Nabi saw sudah mengingatkan:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Sebaik-baiknya jihad adalah kalimat yang benar yang disampaikan kepada pemerintah yang zhalim (Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346 [al-Albani: shahih]).
Hanya kalimat yang benar, bukan dengan senjata. Wal-‘Llahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *