Aqidah

Imlek Hari Raya Agama Konghucu

Masih banyak pihak yang mengklaim bahwa Imlek adalah perayaan kebudayaan Tionghoa, tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Padahal faktanya, tahun baru Imlek dirujukkan pada kelahiran Kongzi/Kongcu/Confusius (551 SM) yang merupakan nabi bagi agama Konghucu. Perintah untuk merayakan Imlek itu pun datangnya dari Kongzi dan tertuang dalam kitab-kitab agama Konghucu. Sehingga nama resmi yang dipakainya pun jelas, tahun 2569 Kongzili. Turut memeriahkannya berarti turut merayakan agama Konghucu. Masih mau berdalih?

Sofyan Jimmy Yosadi (nama aslinya, Yang Chuan Xian), Ketua Komunitas Budaya Tionghoa Sulawesi Utara, dalam portal tionghoa.info menegaskan bahwa Imlek adalah hari raya bagi umat penganut agama Konghucu. Meski banyak pihak yang mengklaim Imlek sebagai perayaan kebudayaan Tionghoa, menurutnya itu hanya sekedar klaim semata tanpa dasar yang jelas. Sebab berdasarkan kitab suci agama Konghucu, sejarah, dan landasan filosofis, menurutnya sangat jelas bahwa Imlek itu merupakan hari raya agama Konghucu.
Tahun Baru Imlek sebagai hari raya bagi umat Konghucu, menurut Sofyan, bukan klaim sepihak umat Konghucu. Landasan keimanan Konghucu berkaitan dengan hari raya ini terdapat dalam kitab suci agama Konghucu, yaitu kitab sishu dan wujing. Perintah agama Konghucu menjelaskan bahwa terdapat rangkaian ritual keagamaan, baik sebelum dan setelah, hingga 15 hari sesudah Tahun Baru Imlek atau Cap Go Meh.
Ditinjau dari aspek filosofis maupun historis, jelas diketahui bahwa dalam sejarah resmi Tiongkok pada zaman Dinasti Han (206-220 M), saat Rujiao (agama Konghucu) menjadi agama negara, maka ditetapkan tahun baru Imlek sebagai hari raya yang didasarkan pada tahun kelahiran Kongzi/Kongcu/Confusius (551 SM-479 SM) yang merupakan nabi bagi agama Konghucu. Jadi kalau sekarang tahun 2018 M, berarti tahun baru Imlek adalah 2018+551 yakni 2569 Kongzili. Sistem kalendernya sendiri dirujukkan pada sistem kalender yang dibuat oleh Kaisar Huang Di yang hidup pada 2696-2598 SM. Ia dianggap sebagai ‘Bapak Tionghoa’ dengan sebutan Kaisar Kuning.
Meski sistem kalendernya mengikuti sistem kalender Kaisar Huang Di, tetapi penanggalan Imlek dirujukkan pada kelahiran Kongzi/Kongcu/Confusius itu sendiri. Sebabnya karena ia seorang nabi bagi agama Konghucu dan yang menyerukan pemberlakuan kalender Huang Di tersebut. Kongzi melihat mayoritas rakyat Tiongkok saat itu hidup dari pertanian. Maka penanggalan karya Huang Di dinilai sebagai penanggalan yang tepat karena awal tahun baru jatuhnya pada musim semi. Maka kemudian penanggalan Imlek disebut juga penanggalan petani dan tahun barunya disebut perayaan musim semi. Seruan Kongzi tersebut baru dilaksanakan pada masa Kaisar Han Wu Di pada tahun 104 SM. Fakta sejarah dan landasan filosofis ini menurut Sofyan jelas tertuang dalam kitab-kitab referensi agama Konghucu, sehingga keberadaan Imlek sebagai hari raya agama Konghucu tidak bisa dipinggirkan begitu saja hanya karena sudah dijadikan bagian dari budaya Tionghoa.
Hal ini dikuatkan dengan pengakuan perayaan Imlek oleh Pemerintah Indonesia itu sendiri. Setahun sesudah Indonesia merdeka (1946), Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan pemerintah tentang Hari Raya No. 2/OEM-1946, dan khusus bagi umat Konghucu ditetapkan empat hari raya; yakni Tahun Baru Imlek, Ching Bing, Hari Lahir Nabi Kongcu dan Hari Wafat Nabi Kongcu. Artinya bahwa dari sejak awal pengakuan Imlek oleh Negara, kedudukannya adalah sebagai bagian dari agama Konghucu, bukan sebagai bagian dari budaya Cina/Tionghoa. Meski kemudian pada zaman Orde Baru (Soeharto) semua hal yang berkaitan dengan Tiongkok dilarang untuk dipertunjukkan di muka umum, termasuk agama Konghucunya itu sendiri tidak diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kemudian mencabut Inpres 14/1967 melalui penerbitan Kepres 6/2000 yang melegalkan kembali hari raya Imlek. Gus Dur memulai tradisi sebagai Presiden pertama yang menghadiri perayaan Tahun Baru Imlek Nasional yang diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN). Tradisi Presiden RI yang kerap menghadiri perayaan tahun baru Imlek Nasional tersebut kemudian diikuti oleh Presiden-presiden berikutnya; Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo. Di setiap perayaan Imlek Nasional tersebut pelaksananya selalu MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) dan diselenggarakan dalam rangka perayaan hari raya keagamaan Konghucu. Artinya Negara sendiri mengakui bahwa perayaan Imlek ini merupakan bagian dari perayaan keagamaan agama Konghucu.
Sofyan kemudian menjelaskan bahwa di buku kenangan perayaan tahun baru Imlek Nasional yang setiap tahun diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) selalu ada sambutan tertulis dari Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi, para Menteri, termasuk Menteri Agama. Selain itu seluruh Majelis Keagamaan, seperti MUI, Sangha Theravada Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, hingga KWI, Konferensi Para Uskup dan Umat Katolik Indonesia, dengan menyebutkan dalam sambutan tertulis mereka “Bagi seluruh umat Konghucu Indonesia kami ucapkan selamat hari raya tahun baru Imlek 2566 Kongzili” (contoh sambutan tahun 2015). Sofyan dalam hal ini menegaskan, setiap tahun ada sambutan tertulis dari mereka-mereka yang disebutkan di atas. Apakah sambutan resmi tersebut hanya basa-basi saja? Apakah para pemimpin umat seperti Kardinal, Ulama, Pendeta, Bhikkhu, Pandita atau Rohaniawan Hindu, serta para Menteri, Ketua lembaga tinggi dan tertinggi negara tersebut juga salah kaprah? Apakah mereka tidak melakukan kajian mendalam bahwa Imlek itu bukan hari raya agama Konghucu? (tionghoa.info)
Apa yang dipaparkan oleh salah seorang pimpinan komunitas Tionghoa dan penganut agama Konghucu di atas merupakan keterusterangan yang sejujurnya bahwa perayaan Imlek itu adalah bagian dari ritual keagamaan agama Konghucu. Tidak bisa tidak. Meski hari ini banyak yang mengklaim sebatas kebudayaan Tionghoa saja, para penganut agama Konghucunya sendiri tidak bisa menerima jika hari raya suci mereka dinyatakan bukan bagian dari agama mereka. Sudah jelas kesalahkaprahan mendudukkan agama Konghucu yang selalu disamarkan sebagai bagian dari agama Buddha terlanjur menyebar, maka mereka pun rupanya tidak menerima jika kesalahkaprahan mendudukkan Imlek sebagai bukan bagian dari agama Konghucu dibiarkan menyebar begitu saja. Mereka menuntut pengakuan atas keberadaan Imlek sebagai bagian dari ritual agama Konghucu sekaligus keberadaan agama Konghucunya itu sendiri.
Islam tentu tidak akan keberatan dengan keberadaan agama Konghucu dengan segenap ritual keagamaannya sebagai agama kafir dan berada di luar Islam. Dari sejak turunnya wahyu di tanah Arab, Islam sudah berinteraksi baik dengan berbagai agama dan kepercayaan lokal Arab yang disebut al-musyrikin (para penyembah berhala yang mayoritasnya berasal dari manusia-manusia yang dianggap suci) atau as-shabi`in (para penganut agama kultur/budaya). Akan tetapi ketidakberatan itu berlaku selama para penganut agama kafir tersebut, Konghucu termasuk di antaranya, tidak memerangi umat Islam dan tidak mengusir umat Islam dari tanah tempat tinggalnya.

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. al-Mumtahanah [60] : 8).
Pengakuan akan keberadaan agama kafir seperti Konghucu itu pun dengan syarat tidak boleh ada ajakan, anjuran, apalagi paksaan terhadap kaum muslimin untuk turut mengikuti peribadatan mereka.

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ ١  لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢  وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣  وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥  لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan beribadah apa yang kamu ibadahi. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun [109] : 1-6)
Kalau ternyata ada umat Islam yang malah kebablasan dalam memahami toleransi dengan turut juga mengikuti peribadatan kafir, termasuk segala sesuatu yang terkait Imlek sampai Cap Go Meh, maka berarti mereka adalah orang-orang Islam yang sudah beramal kafir. Mereka tidak menjadi kafir memang, tetapi mereka sudah seperti orang-orang kafir, karena beramal dengan amal-amalan orang kafir alias tasyabbuh. Mereka masih muslim, tapi muslim yang berdosa besar karena melakukan ritual-ritual kafir.
Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Related Articles

Back to top button