Sunnah Shaum Sya’ban

Shaum Sya’ban adalah shaum di bulan Sya’ban sebanyak mungkin, meski tidak sampai sebulan penuh seperti Ramadlan. Boleh setiap hari, boleh tidak. Termasuk boleh di hari Jum’at yang dilarang oleh Nabi saw untuk menyengajakan shaum karena faktor “hari”-nya. Shaum ini lebih ditekankan lagi untuk diamalkan pada surar Sya’ban; pertengahan sampai akhir Sya’ban.
Shaum Sya’ban adalah shaum sunat di sepanjang bulan Sya’ban. Imam al-Bukhari mencantumkan dua hadits terkait shaum Sya’ban ini, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Rasulullah saw shaum sampai kami berkata ‘Beliau tidak buka’, dan berbuka sampai kami berkata ‘Beliau tidak shaum’. Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw shaum satu bulan sempurna kecuali Ramadlan. Dan aku tidak pernah melihat beliau banyak shaum dalam satu bulan melebihi bulan Sya’ban.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban no. 1969).
قَالَتْ عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ ﷺ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—berkata: “Nabi saw tidak pernah shaum dalam satu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Sungguh beliau shaum Sya’ban keseluruhannya.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban no. 1970. Diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shiyamin-Nabi fi ghairi Ramadlan no. 2778).
Maksud dua hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, Nabi saw selalu shaum sunat dalam bulan Sya’ban dan selainnya. Tetapi shaum sunat dalam bulan Sya’ban lebih banyak dibanding bulan-bulan lainnya, tentunya selain bulan Ramadlan yang wajib sebulan penuh (Fathul-Bari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban). Penjelasan dari ‘Aisyah dalam hadits yang kedua bahwa Nabi saw shaum Sya’ban kullahu (keseluruhannya), maksudnya bukan berarti sebulan penuh, melainkan mu’zhamahu (kebanyakannya), sebab hanya bulan Ramadlan saja Nabi saw shaum satu bulan penuh. Dalam riwayat Muslim, ‘Aisyah menerangkan lebih jelas lagi apa maksud Nabi saw shaum Sya’ban kullahu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ … وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “…Aku tidak pernah melihat beliau shaum satu bulan pun yang lebih banyak daripada Sya’ban. Beliau shaum Sya’ban hampir keseluruhannya, hanya sedikit hari saja beliau tidak shaum.” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shiyamin-Nabiy fi ghairi Ramadlan no. 2778).
Fadlilah dari shaum Sya’ban dijelaskan oleh hadits riwayat an-Nasa`i berikut ini:
قال أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وهو شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Usamah ibn Zaid bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa aku tidak melihat anda shaum pada satu bulan sebagaimana shaum anda pada bulan Sya’ban?” Nabi saw menjawab: “Itu adalah bulan yang dilupakan oleh orang-orang, ada di antara Rajab dan Ramadlan, padahal pada bulan itu amal-amal diangkat kepada Rabbul-‘alamin, maka aku sangat ingin ketika amalku diangkat aku sedang dalam keadaan shaum.” (Sunan an-Nasa`i kitab as-shiyam bab shaumin-Nabiy bi abi huwa wa ummi no. 2357. Imam al-Albani menilainya hasan, disebabkan seorang rawi, Tsabit ibn Qais, yang shaduq yahim [jujur, tetapi kadang keliru]. Adapun rijal lainnya tsiqat [terpercaya]. Dalam Musnad Ahmad bab hadits Usamah ibn Zaid no. 20758; Sunan Abi Dawud no. 2436, Sunan at-Tirmidzi no. 747, dan Sunan an-Nasa`i 4 : 201-204, dijelaskan oleh Nabi saw bahwa Sya’ban ini sama halnya dengan Senin dan Kamis, dimana pada waktu itu amal-amal hamba diangkat dan Nabi saw ingin sedang dalam keadaan shaum).
Shaum Sya’ban ini lebih ditekankan lagi untuk diamalkan pada surar Sya’ban. Imam Muslim menulis tarjamah demikian dalam kitab Shahihnya. Hadits yang dijadikan rujukannya adalah:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ لَهُ أَوْ لآخَرَ أَصُمْتَ مِنْ سُرَرِ شَعْبَانَ. قَالَ لاَ. قَالَ فَإِذَا أَفْطَرْتَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ
Dari ‘Imran ibn Hushain—semoga Allah meridlai mereka berdua—bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya atau kepada orang lain (keraguan muncul dari perawi hadits. Dalam sanad lain disebut dengan tegas: kepada orang lain dan ‘Imran mendengarnya): “Apakah kamu shaum pada surar Sya’ban?” Ia menjawab: “Tidak.” Sabda Nabi saw: “Jika kamu sudah selesai (dari shaum Ramadlan), maka shaumlah dua hari (dalam sanad lain disebutkan dengan tegas ‘sebagai gantinya’).” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shaum surar Sya’ban no. 2808-2810).
Terkait makna surar (bisa juga dibaca sarar/sirar), terdapat ikhtilaf di kalangan para ulama. Imam an-Nawawi berpendapat bahwa yang dimaksud surar (dari kata surrah/pusat) adalah tengah bulan, dan itu adalah tanggal 13, 14, dan 15 (ayyamul-bidl). Sementara jumhur ulama, termasuk al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Qurthubi, berpendapat bahwa yang dimaksud surar adalah akhir bulan. Diambil dari kata sirr/rahasia, maksudnya malam ketika bulan menghilang, yakni tanggal 28, 29, 30. Jadi artinya surar Sya’ban itu dari mulai pertengahan sampai akhir Sya’ban.
Meskipun demikian, baik Imam an-Nawawi ataupun Ibn Hajar, sama-sama berpendapat bahwa sabda Nabi saw di atas ditujukan kepada seseorang yang sudah terbiasa shaum sunat tetapi tidak melaksanakannya di pertengahan-akhir bulan Sya’ban karena takut terkena larangan (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shaum surar Sya’ban; Fathul-Bari kitab as-shaum bab as-shaum fi akhirs-syahr). Larangan yang dimaksud ada dua, yang pertama adalah:
إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْهُ
Apabila tersisa setengah bulan Sya’ban maka janganlah kalian shaum (Sunan at-Tirmidzi kitab as-shaum bab karahiyatis-shaum fin-nishfits-tsani min Sya’ban no. 738; Sunan Abi Dawud kitab as-shaum bab karahiyati dzalika [washl Sya’ban bi Ramadlan] no. 2339)
Sementara larangan yang kedua adalah:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
Janganlah salah seorang di antara kalian sengaja mendahului Ramadlan dengan shaum satu hari atau dua hari, kecuali seseorang yang sedang shaum satu shaum (yang biasa/harus dilakukannya), hendaklah ia tetap shaum pada hari itu (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab la yataqaddam Ramadlan bi shaum yaum wa la yaumain no. 1914).
Larangan pertama sebetulnya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kesehatan fisik yang prima. Dikhawatirkan jika shaum sunat, akan menyebabkan fisik lemah dan tidak mampu shaum Ramadlan. Sementara bagi mereka yang sudah terbiasa shaum dan tidak shaum pada surar Sya’ban, Nabi saw justru sampai memerintah qadla shaum dua hari sesudah Ramadlan. Menunjukkan penekanan untuk diamalkan (Fathul-Bari kitab as-shaum bab la yataqaddam Ramadlan bi shaum yaum wa la yaumain).
Sementara larangan kedua ditujukan kepada mereka yang merasa takut sudah masuk Ramadlan, sehingga mereka mendahului shaum Ramadlan satu atau dua hari sebelumnya. Yang seperti ini jelas haram karena melanggar larangan Nabi saw untuk shaum Ramadlan sampai betul-betul melihat hilal (Fathul-Bari kitab as-shaum bab la yataqaddam Ramadlan bi shaum yaum wa la yaumain). Sementara jika niatnya shaum Sya’ban itu sendiri, maka di dua minggu terakhir Sya’ban, sampai dua hari Sya’ban sekalipun, diperkenankan shaum sunat. Wal-‘Llahu a’lam.