Ustadz ada seorang pria bujangan berzina dengan seorang wanita yang bersuami. Saat ini Wanita tersebut sedang menguruskan perceraian dengan suaminya. Apa yang harus dilakukan oleh keluarga dan warga yang mengetahuinya? Jika kemudian mereka berdua dinikahkan apakah diperbolehkan? 0838-2181-xxxx
Untuk kasus tersebut yang seharusnya diterapkan adalah hukuman syari’at, yakni pria bujangannya didera 100 kali dan diasingkan satu tahun sementara wanita yang bersuaminya dirajam (dilempar batu) sampai mati alias hukuman mati. Tetapi karena hukuman syari’at tidak mungkin dan tidak boleh ditegakkan di NKRI saat ini—karena kalaupun ditegakkan pasti akan dikategorikan main hakim sendiri dan pihak kerabat atau kolega yang dihukum akan melaporkan balik sehingga yang menghukum bisa dipidana—maka bisa diambil pilihan hukum pidana yang diakui Negara ini. Perzinahan yang dilakukan oleh seseorang yang masih terikat pernikahan sah dikategorikan pidana jika ada laporan dari pasangan sah nikahnya. Yang dihukumnya bukan istri atau suami sah yang melakukan perzinahannya saja, tetapi lawan zinanya juga meski ia belum menikah. Cuma memang hukumannya terlampau ringan, maksimal penjara 9 bulan (KUHP Pasal 284). Ini masih lebih baik daripada dibiarkan begitu saja. Sebagai bagian dari amar ma’ruf nahyi munkar, maka pilihan yang kedua ini harus ditempuh agar tidak menjadi pembiaran kemunkaran.
Dalil bahwa pelaku zina dihukum sebagaimana dijelaskan di atas adalah sabda Nabi saw berikut yang menjawab aduan seorang ayah bahwa anaknya yang masih bujangan berzina dengan istri majikannya:
وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَمَّا أَنْتَ يَا أُنَيْسُ لِرَجُلٍ فَاغْدُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا أُنَيْسٌ فَرَجَمَهَا
Anakmu didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Dan kamu hai Unais, pergilah besok ke perempuan itu, lalu rajamlah ia.” Unais pun pergi esok harinya dan merajamnya (Shahih al-Bukhari bab idza-shthalahu ‘ala shulhi jaur fas-shulhu mardud no. 2695; Shahih Muslim bab man-i’tarafa ‘ala nafsihi biz-zina no. 4531)
Sementara dalil bahwa kemunkaran tidak boleh didiamkan:
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِى ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
Tidak ada satu kaum pun yang ma’shiyat diamalkan di tengah-tengah mereka, tapi mereka tidak mengubahnya padahal mereka mampu untuk mengubahnya, kecuali Allah akan segera menimpakan adzab kepada mereka secara merata (Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4340).
Terkait menikahkan pasangan yang selingkuh, secara syari’at tentu tidak bisa dibenarkan karena sama saja dengan menyetujui perbuatan selingkuh mereka. Pelaku perzinahan harus dihukum berat, bukan dinikahkan. Kalaupun karena hukuman syari’at tidak bisa ditegakkan di Negeri ini dan kemudian pasangan selingkuh itu menikah, maka minimalnya hukuman “diasingkan satu tahun” diberlakukan untuk mereka, dan yang ini tidak akan sampai dipidana oleh Negara. Pernikahan mereka tidak boleh dihadiri dan mereka sebisa mungkin harus pindah dari kampung mereka semula, atau mereka diisolasi oleh masyarakat sehingga masyarakat tidak boleh ada yang berinteraksi dengan mereka selama satu tahun. Semua ini bagian dari amar ma’ruf nahyi munkar agar pelaku kemunkaran tidak dianggap biasa, melainkan tetap disanksi sebagai pelaku kemunkaran. Masyarakat pun bebas dari dosa membiarkan kemunkaran karena sudah amar ma’ruf nahyi munkar Wal-‘Llahu a’lam.