Terpaksa Menerima Uang Tip
Menyimak uraian kajian “Uang Tip Haram” pada edisi sebelumnya, bagaimana kasusnya jika seorang pekerja/pejabat dipaksa menerima uang tip? Apakah seorang Ustadz yang menerima amplop selepas pengajian juga termasuk penerima uang tip? 0818227xxx
Perlu ditekankan kembali di sini bahwa uang tip atau komisi haram berdasarkan hadits Ibnul-Lutbiyyah yang ditugaskan Nabi saw untuk mengambil zakat dari para muzakki yang sudah pasti akan mendapatkan upah (dari bagian amil) atas tugasnya, tetapi menerima hadiah. Maka siapa saja yang bertugas dan sudah pasti mendapatkan upah dari tugasnya, ia dilarang menerima hadiah. Ustadz sebagai muballigh yang tidak mendapatkan upah dari siapa pun tentu halal menerima amplop/upah dari jama’ah atas tablighnya. Kecuali jika Ustadz yang dimaksud adalah penyuluh agama dari Kementerian Agama yang sudah jelas diberi upah oleh negara atas tugasnya mengisi ceramah, khutbah nikah, atau menikahkan pengantin, tentu haram menerima amplop dari jama’ah/tuan rumah.
Hikmah dari larangan ini adalah agar tidak ada keterpaksaan harus memberi dari pihak yang dilayani, apalagi sampai dengan menggelembungkan harga atau memangkas anggaran yang ada. Demikian juga tidak ada kezhaliman dengan mengenyampingkan orang lain yang tidak memberi. Apalagi jika dalam konteks tender proyek atau seleksi penerimaan pekerja dengan mengenyampingkan pihak lain yang berkualitas hanya karena tidak memberi, sehingga proyek yang dijalankan atau pekerja yang diterima adalah yang tidak berkualitas.
Bagi yang terpaksa menerima uang tip, maka berdasarkan hadits Ibnul-Lutbiyyah di atas, hadiah/uang tip itu harus disetorkan semuanya kepada pimpinan. Tidak boleh seseorang menerimanya untuk kepentingan pribadi karena berasumsi pemberian tersebut sifatnya sukarela. Dalam konteks pejabat negara sudah ada teladan yang bagus, dimana mereka yang menerima hadiah (gratifikasi) dari siapapun harus diserahkan kepada KPK. Dalam hadits Ibnul-Lutbiyyah itu sendiri Nabi saw tegas menyatakan:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِىَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِىَ عَنْهُ انْتَهَى
Siapa di antara kalian yang kami beri pekerjaan, maka hendaklah ia datang kembali dengan membawa harta yang banyaknya dan yang sedikitnya. Maka apa yang diberikan kepadanya (oleh Rasul saw) dari harta itu, ambillah, dan apa yang tidak diberikan jangan ia mengambil (Shahih Muslim kitab al-imarah bab tahrim hadayal-‘ummal no. 4848).
Artinya kalau kemudian pimpinan itu membagi-bagikannya kepada semua pekerja, dan ia menerima sebagian dari hadiah tersebut, itu tidak masalah. Tetapi hadits ini tidak kemudian dijadikan dalih untuk melegalkan uang tip asal sudah dikompromikan dengan atasan. Jika demikian berarti itu kompromi dalam kemaksiatan. Praktik-praktik korupsi dewasa ini pun modusnya seperti itu. Yang benar, ia harus melepaskannya sama sekali dengan menyerahkannya kepada pimpinan di atasnya. Pimpinan pun dituntut kebijaksanaannya agar uang tip itu tidak menjadi celah untuk melegalkan perbuatan maksiat. Maka sudah sepantasnya jika pimpinan hendak membagikan uang tip tersebut, membagikannya harus secara rata kepada semua pekerja. Atau yang lebih baik digunakan untuk dana fi sabilillah atau dana sosial. Wal-‘Llahu a’lam.