Hukum Chat Mesra dengan Dalih Menghibur Janda
Bismillah.. maaf ustadz mngganggu waktunya sebentar. Saya mau tanya. Bagaimana hukumnya jika seorang suami chattingan dengan seorang wanita bukan muhrimnya tepatnya seorang janda dengan niat dakwah dan menghiburnya apakah itu dibolehkan? chattingan via whatsapp dengan banyak candaan dan haha hihi, dengan bahasa-bahasa yang sangt akrab … Perempuan tersebut teman satu profesi/satu pekerjaan, yang otomatis sehari-hari pasti ketemu meski tak setiap hari. Bagaimana sebaiknya istri tersebut menyikapinya. Terus apakah jika chattingn tersebut diketahui istrinya terus istrinya melarangnya apakah bsa di sebut melanggar/membatasi hak azasi manusia. Itu kata si suaminya. UQ via messenger
Setidaknya sudah tiga kali jawaban atas pertanyaan serupa dengan pertanyaan anda dimuat di bulletin at-Taubah ini. Sebuah pertanda jelek bahwa akhlaq buruk seperti yang anda tanyakan sudah memasyarakat dan dianggap sebuah kelumrahan semata. Padahal itu suatu keburukan yang tidak bisa ditolerir.
Hemat kami, apa yang terjadi pada seseorang yang anda tanyakan itu sudah termasuk “mendekati zina” atau “fahisyah (asusila) yang tersembunyi”. Hukumnya haram. Hubungan lelaki dan perempuan di luar nikah/keluarga yang dilakukan dalam bentuk hubungan mesra, baik itu yang belum menikah apalagi yang sudah/sedang menikah, dan baik itu melalui dunia nyata atau dunia maya, termasuk dalam kategori fahisyah (asusila/zina) yang tidak terang-terangan. Al-Qur`an tegas melarang semua jenis perbuatan fahisyah, baik yang terang-terangan (zhahara, yakni hubungan intim badan) atau yang tidak terang-terangan (bathana, yakni hubungan pertemanan yang mesra).
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ
Janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan asusila, baik yang nampak darinya maupun yang tersembunyi (QS. al-An’am [6] : 151).
Hadits Sa’ad ibn ‘Ubadah menjelaskan salah satu bentuk fahisyah yang tidak terang-terangan itu sebagai berikut:
عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ لَوْ رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ وَاللهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Dari al-Mughirah, ia berkata: Sa’ad ibn ‘Ubadah pernah berkata: “Seandainya aku lihat seorang lelaki sedang berduaan bersama istriku, pasti aku penggal ia dengan pedang, bukan dengan belahan sisinya (tetapi dengan mata pedangnya. Maksudnya pukulan untuk membunuh, bukan pukulan biasa—Fathul-Bari).” Pernyataan Sa’ad tersebut lalu dilaporkan kepada Rasulullah saw. Beliau pun menyatakan: “Kenapa kalian heran dari kecemburuan Sa’ad. Demi Allah, aku pun lebih pencemburu daripada itu. Dan Allah lebih pencemburu daripada aku. Oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan asusila, baik yang tampak atau tersembunyi.” (Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw la syakhsha aghyaru minal-‘Llah no. 7416).
Seorang istri yang menegur perbuatan buruk suaminya tersebut tentu termasuk nahyi munkar, bukan mengekang hak asasi, sebab hak asasi manusia itu dibatasi oleh kewajiban asasi. Kewajiban asasi manusia itu beribadah kepada Allah swt. Apa yang sudah diatur dalam aturan ibadah dan syari’at salah besar jika disebut mengekang hak asasi. Yang benar setiap manusia wajib menjalankan kewajiban asasi.
Jika niatnya dakwah atau menghibur, caranya tentu harus hikmah (benar sesuai ilmu) dan mau’izhah hasanah (petuah yang baik). Bukan melalui canda-candaan dan mesra-mesraan. Yang disebut terakhir ini jelas sesuatu yang fahisyah (asusila, kotor, jijik).
Bahkan jika maksudnya hendak menikahi janda tersebut pun, caranya harus dengan ma’ruf (baik), bukan melalui cara-cara yang fahisyah. Selain itu diperhatikan benar rambu-rambu ‘iddah (masa jeda pasca ditinggal suami)-nya. Silahkan rujuk QS. al-Baqarah [2] : 235. Wal-‘Llahu a’lam.