Budaya Pamer Semakin Menyesatkan

Media sosial telah tanpa sadar menjadikan masyarakat terobsesi agar semua aktivitasnya menjadi viral di dunia maya. Atau minimalnya di grup dan komunitasnya. Ukuran kebahagiaan seseorang itu standarnya menjadi seberapa banyak followers-nya, atau jumlah views, likes, dan komentar baiknya. Yang cukup parahnya, untuk memenuhi obsesi tersebut, cara-cara yang melanggar norma dan kejujuran pun dilegalkan. Sebuah pertanda yang jelas bahwa budaya pamer di dunia maya semakin menyesatkan.
Jika hendak ditelusuri keseluruhannya, meski memang tampak tidak mungkin, hampir semua media sosial dijadikan sarana untuk menyebarkan hal-hal yang negatif, terutama aktivitas-aktivitas yang diniatkan agar menjadi viral. Akan tetapi jika harus ditutup semuanya juga tidak menjadi mashlahat, karena banyak manfaat juga yang bisa disebarkan melalui media sosial. Maka setiap muslim dituntut untuk menjunjung norma dan adab mulia di setiap beraktivitas dengan media sosial ini. Gunakan media sosial hanya untuk hal-hal yang mulia dan hanya dengan adab-adab yang mulia juga.
Maraknya aplikasi media sosial yang bisa membuat aktivitas seseorang viral menjadikan masyarakat semakin bernafsu agar aktivitasnya menjadi viral di media sosial. Maka segala cara pun ditempuh; apakah itu dengan melakukan hal-hal yang melanggar norma atau dengan membuat konten-konten yang bohong atau jelek. Rumus sederhananya: Bad news is good news; berita jelek itu adalah berita baik. Agar menjadi perhatian, maka pemberitaan yang disebarkan harus berita yang jelek-jelek sehingga memancing perhatian masyarakat. Maka jadilah yang menyebar dalam media sosial pun banyak yang jeleknya dibanding yang baiknya. Istilah lainnya hoax.
Perilaku jelek semacam di atas adalah akhlaq kemunafiqan dan kefasiqan dalam hal kesenangan menyebarnya berita jelek di tengah-tengah masyarakat muslim. Allah swt menyinggung akhlaq mereka dalam berbagai ayat, di antaranya:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) asusila/tidak senonoh itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. an-Nur [24] : 19).
Dalam aspek lainnya, budaya ingin viral di media sosial juga mencerminkan orang yang masih terpenjara dengan penyakit “gila dunia”. Sebuah penyakit berbahaya yang dapat menyerang kenikmatan khusyu’ dalam ibadah dan kerinduan pada hari akhir. Penyakit “gila dunia” itu di antara wujudnya adalah ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat sekelilingnya atas apa yang dimiliki dan dialaminya di dunia. Untuk ukuran media sosial saat ini berarti ingin banyak views, likes, followers, dan komentar pujian atas apa yang tengah dilakukannya dalam aktivitas dunia. Allah swt mengingatkan dalam salah satu ayatnya:
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak (QS. al-Hadid [57] : 20).
Maksud ayat di atas tentu bukan membenarkan perilaku duniawi yang banyak hiburan dan permainannya, atau perhiasannya, atau berbangga diri dengan apa yang dimiliki dan dengan keluarganya, melainkan menegaskan bahwa semua itu adalah tipuan belaka. Orang yang obsesinya selalu ingin berbangga diri dengan apa yang bisa dilakukannya di dunia dalam hal hiburan, permainan, wisata, jalan-jalan, aktivitas-aktivitas duniawi, perhiasan, dan kebanggaan dalam hal harta dan keluarga adalah orang-orang yang masih tertipu dengan kesenangan dunia yang menipu. Maka dari itu Allah swt menegaskan di akhir ayatnya:
وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ٢٠
Dan tidaklah kesenangan dunia itu melainkan kesenangan yang menipu (QS. al-Hadid [57] : 20).
Orang-orang seperti itu jelas tertipu karena berasumsi semua yang mereka lakukan itu adalah kesenangan. Akibatnya mereka terlalaikan atau sedikit terlalaikan dari kesenangan yang sebenarnya, yakni kesenangan akhirat. Karena obsesinya selalu saja pada kesenangan dunia, jadinya semangat untuk mengejar kesenangan akhirat dinomorduakan. Kenikmatan shalat khusyu’, dzikir, membaca al-Qur`an, shalat malam, banyak berderma, dan sejumlah kenikmatan hakiki lainnya tidak pernah jadi obsesinya karena terlalaikan obsesi duniawi. Inilah ketertipuan orang-orang yang tertipu kesenangan dunia. Maka dari itu Allah swt mengingatkan dalam ayat selanjutnya:
سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا كَعَرۡضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أُعِدَّتۡ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢١
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (QS. al-Hadid [57] : 21).
Apalagi jika keinginan mendapatkan views, likes, followers, dan komentar baik di media sosial itu terkait aktivitas-aktivitas ibadah. Ini jelas termasuk budaya pamer yang sesat. Istilah haditsnya riya (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar/diketahui orang lain). Inilah yang paling Nabi saw takutkan. Bukan dalam hal umatnya menyembah tuhan lain selain Allah swt atau menduakan-Nya dalam penyembahan dengan menyembah tuhan selain-Nya, melainkan umatnya meniatkan amal-amal ibadahnya pada riya atau sum’ah. Dalam konteks media sosial hari ini berarti ingin viral, banyak views, likes, followers, dan komentar baik dari masyarakat media sosial.
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوْا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اَلرِّيَاءُ يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ اِذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling ditakuti dari apa yang aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: “Apa syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya. Allah ‘Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat ketika Dia membalas amal-amal manusia, ‘Pergilah kepada pihak-pihak yang kamu riya terhadapnya sewaktu di dunia. Lalu perhatikanlah, apakah kalian mendapatkan balasan dari sisi mereka?” (Hadits Mahmud ibn Labid dalam Musnad Ahmad bab hadits Mahmud ibn Labid no. 23680 dan 23686).
Hadits di atas jelas mengancam dengan menyebut “syirik” karena amal ibadah yang semestinya diniatkan mencari keridlaan Allah swt semata, malah diniatkan mencari perhatian manusia. Allah swt tidak mungkin memberikan balasan atas amal yang tidak diniatkan untuk-Nya. Dalam hadits lain Nabi saw mengingatkan:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
Siapa yang ingin didengar, maka Allah akan menjadikannya didengar. Siapa yang ingin terlihat, maka Allah akan menjadikannya terlihat (Shahih al-Bukhari bab ar-riya was-sum’ah no. 6499).
Maksud hadits di atas, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, orang yang berniat dalam amalnya sum’ah dan riya hanya akan mendapatkan pengakuan dari orang-orang semata, tidak akan mendapatkan pahala dari Allah swt. Atau Allah akan memperlihatkan dan memperdengarkannya di hadapan manusia nanti para hari kiamat dengan cara menjelek-jelekkannya dan merendahkannya. Atau bisa juga, Allah swt akan memperlihatkan dan memperdengarkan kejelekannya di hadapan manusia sejak di dunia ini (Syarah Shahih Muslim an-Nawawi). Faktanya memang demikian, siapapun yang masih memiliki nurani, bukannya senang dan bangga terhadap orang yang suka pamer, melainkan jijik dan merendahkannya.
Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.