Shaum

Harus Berdasarkan Rukyat dan Itsbat

Hadits-hadits semuanya jelas memberikan tuntunan bahwa awal bulan Ramadlan harus ditentukan oleh rukyat (terlihat oleh mata) hilal (cahaya tipis bulan sabit), bukan hisab (sebatas penghitungan kalender). Setelah rukyat harus ditempuh juga itsbat (penetapan oleh Pemerintah) karena semua yang merukyat pada zaman Nabi saw juga harus melaporkannya dahulu kepada Nabi saw baru kemudian Nabi saw menetapkannya. Standar itsbat itu sendiri cukup dengan sumpah dari yang mengaku melihat hilal, tidak perlu ada bukti citra hilal.

Data astronomi untuk awal Ramadlan 1442 H adalah akhir Sya’ban 1442 jatuh pada hari Senin, 12 April 2021, jam 9:30:45 wib. Pada saat maghrib beda tinggi bulan-matahari di seluruh wilayah Indonesia antara 2°50’06” s.d 4°33’34” dan jarak elongasi bulan matahari antara 3°47’29” s.d 4°46’12”. Khusus untuk di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, beda tinggi bulan-matahari 4°12’56” (tinggi hilal sudah 3°) dan jarak elongasi bulan-matahari 4°25’20”.

Bagi yang menghitung kalender berdasarkan Rekomendasi Jakarta (tinggi hilal 3° dan jarak elongasi 6,4 atau “kriteria 364”) seperti Persatuan Islam maka pada Selasa, 13 April 2021 belum bisa ditetapkan sebagai awal bulan Ramadlan karena meski tinggi hilalnya sudah 3° tetapi jaraknya ke matahari terlalu dekat yakni 4,25° sehingga kemungkinan besar hilal tidak akan terlihat. Hilal bisa terlihat berdasarkan hitungan astronomis jika jaraknya ke matahari minimal 6,4°. Maka dari itu kalender Persatuan Islam menetapkan awal Ramadlan, Rabu, 14 April 2021 M.

Sementara bagi yang menghitung kalender berdasarkan kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yakni kriteria 238 (tinggi hilal 2°, jarak ke matahari 3°, dan umur bulan 8 jam) maka tentu hari Selasa, 13 April 2021 M sudah dihitung masuk tanggal 1 Ramadlan 1442 H, sebab sudah memenuhi “kriteria 238”.

Penentuan finalnya tentu harus kembali pada tuntunan syari’at, bukan pada hisab kalender kriteria 364 atau kriteria 238. Kedua pihak yang berbeda kriteria hisabnya tersebut, ketika faktanya ada pengamat hilal professional yang sudah disumpah mengaku melihat hilal pada Senin malam, 12 April 2021, maka pada sidang itsbat harus sama-sama menyepakati bahwa Selasa, 13 April 2021 sudah masuk bulan Ramadlan. Jika sebaliknya, maka pada sidang itsbat harus disepakati bahwa awal Ramadlan jatuh pada Rabu, 14 April 2021 M. Syari’at sudah memberikan tuntunan yang jelas bahwa awal Ramadlan dan Syawwal penetapannya harus berdasarkan rukyat, bukan berdasarkan hisab saja. Hisab digunakan sebatas untuk membantu data rukyat, sementara penentuannya tetap harus berdasarkan rukyat di lapangan pada malam selepas akhir Sya’ban, yang dalam konteks tahun 2021 sekarang pada Senin malam, 12 April 2021 M.

Berikut sabda Nabi saw seputar penentuan awal bulan:

لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian shaum (menetapkan awal Ramadlan) hingga melihat hilal. Janganlah kalian fithri (berbuka/berlebaran/’Idul-Fithri) hingga melihat hilal. Jika terhalang dari penglihatan kalian, maka genapkanlah (Hadits Ibn ‘Umar dalam Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw idza ra`aitumul-hilal fa shumu no. 1906).

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

Satu bulan itu 29 malam/hari. Janganlah kalian shaum (Ramadlan) hingga melihat hilal. Jika terhalang dari penglihatan kalian maka sempurnakan bilangan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari. (Hadits Ibn ‘Umar dalam Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw idza ra`aitumul-hilal fa shumu no. 1907).

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Shaumlah (Ramadlan) kalian karena melihat hilal. Dan ber-fithri (berbuka/berlebaran/’Idul-Fithri)-lah kalian karena melihat hilal. Jika terhalang dari penglihatan kalian maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (Hadits Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw idza ra`aitumul-hilal fa shumu no. 1909).

Hadits-hadits di atas jelas memerintahkan untuk merukyat (mengamati sampai terlihat) hilal pada akhir Sya’ban yakni selepas tanggal 29. Jika pada malam tersebut hilal terlihat, maka malam tersebut dan esok harinya harus ditetapkan awal Ramadlan. Tetapi jika tidak terlihat maka malam tersebut dan esok harinya harus ditetapkan sebagai hari ke-30 dari bulan Sya’ban, dan awal Ramadlan ditetapkan esok lusanya. Perintah dan larangan itu membawa konsekuensi hukum wajib dan haram. Artinya wajib menetapkan awal Ramadlan berdasarkan rukyat, dan haram menetapkan awal Ramadlan sebelum hilal terrukyat.

Dalam tataran teknis rukyatnya setiap perukyat tidak kemudian menetapkan shaum begitu saja, melainkan melaporkannya dahulu kepada Nabi saw. Nabi saw kemudian meminta sumpah dari orang yang merukyat, dan setelah pasti bahwa ia telah merukyat berdasarkan sumpah baru kemudian Nabi saw yang menetapkan awal Ramadlan tersebut. Kedudukan Nabi saw dalam kaitan urusan keumatan pada hari ini adalah otoritas tunggal di satu wilayah atau Ulil-Amri. Dalam konteks wilayah Indonesia Ulil-Amri tersebut tentunya Pemerintah RI yang dalam hal ini adalah sidang itsbat yang dipimpin oleh Kemenag RI dan MUI dengan melibatkan semua perwakilan umat Islam. Maka dari itu penentuan awal Ramadlan harus menunggu keputusan sidang itsbat tersebut.

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal dan saling memberitahukannya. Aku lalu memberitahu Rasulullah saw bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau shaum dan memerintahkan orang-orang untuk shaum (Hadits Ibn ‘Umar dalam Sunan Abi Dawud bab fi syahadatil-wahid ‘ala ru`yatil-hilal no. 2344).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّى رَأَيْتُ الْهِلاَلَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Ada seorang Arab dari pedusunan datang kepada Nabi saw dan berkata: “Sungguh aku melihat hilal.” Beliau bertanya: “Apakah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk shaum besok.” (Sunan Abi Dawud bab fi syahadatil-wahid ‘ala ru`yatil-hilal no. 2342).

Baik hadits Ibn ‘Umar atau Ibn ‘Abbas ra di atas sama-sama menginformasikan bahwa penetapan awal shaum Ramadlan tidak pada rukyatnya semata, melainkan pada penetapan dari Nabi saw. Meski dalam hadits Ibn ‘Abbas ra yang melihat hilalnya hanya seorang Arab dari pedusunan saja dan tidak diketahui ada orang lain yang melihatnya, maka laporan dari seseorang tersebut sah untuk dijadikan dasar penetapan awal Ramadlan. Persyaratan yang diminta oleh Nabi saw juga adalah kepastian statusnya sebagai seorang muslim. Ketika jelas orang yang tidak dikenal tersebut seorang muslim, maka kesaksiannya melihat hilal sah untuk dijadikan dasar hukum penetapan awal Ramadlan. Interogasi dari Nabi saw akan syahadat orang Arab tersebut berarti meminta sumpah dari orang tersebut bahwa ia benar-benar telah masuk Islam. Dalam konteks ini para ulama memahami bahwa interogasi dari Ulil-Amri kepada perukyat harus dilakukan dan itu berarti dengan sumpah.

Berdasarkan dalil-dalil di atas jelas diketahui bahwa penetapan awal Ramadlan harus didasarkan pada rukyat dan itsbat. Dalam itsbat pun cukup berdasarkan pengakuan seseorang yang melihat hilal, tidak perlu banyak apalagi semua orang melihat hilal. Kebenaran pengakuan dari orang yang melihat hilal pun cukup dengan sumpah, tidak perlu ada bukti citra hilal. Maka dari itu umat Islam sudah seyogianya menunggu hasil rukyat dan itsbat pada Senin maghrib, 12 April 2021 nanti.

Bagi yang sudah dari sejak awal menetapkan awal Ramadlan 1442 H jatuh pada Selasa, 13 April 2021 berdasarkan hisab astronomis saja tanpa memedulikan rukyat, maka sudah jelas kelirunya. Dalil-dalil mengharuskan penetapan awal bulan berdasarkan rukyat, bukan berdasarkan hisab astronomis tanpa rukyat. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button