Hadits Shahih Shaum Rajab?

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya, Tabyinul-‘Ajab bima Warada fi Fadlli Rajab (Menjelaskan Keanehan; Kajian Hadits-hadits tentang Keutamaan Rajab) meneliti 38 hadits yang menjelaskan keutamaan Rajab. Hasilnya, sebagiannya dla’if dan sebagiannya lagi palsu (maudlu’), tidak ada satu pun yang shahih. Hanya memang al-Hafizh tidak menampik adanya dua hadits shahih yang bisa dijadikan hujjah untuk mengamalkan shaum Rajab ini.


Al-Hafizh Ibn Hajar menulis:

ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَقُوْلُ إِنَّ أَمْثَلَ مَا وَرَدَ فِي ذَالِكَ

Kemudian kita kembali ke pembahasan, maka menurut kami, sungguh dalil yang paling tepat dari yang ada seputar itu (shaum Rajab) adalah:

اَلْحَدِيْثُ الْأَوَّلُ. مَا رَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ حَدِيْثِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنهما قال: قلت يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ … الحديث. (وهو شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Hadits pertama. Riwayat an-Nasa`i dari hadits Usamah ibn Zaid ra, ia bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa aku tidak melihat anda shaum pada satu bulan sebagaimana shaum anda pada bulan Sya’ban?” Nabi saw menjawab: “Itu adalah bulan yang dilupakan oleh orang-orang, ada di antara Rajab dan Ramadlan, …” silahkan baca kelanjutan haditsnya (yakni: “Padahal pada bulan itu amal-amal diangkat kepada Rabbul-‘alamin, maka aku sangat ingin ketika amalku diangkat aku sedang dalam keadaan shaum. Sunan an-Nasa`i kitab as-shiyam bab shaumin-Nabiy bi abi huwa wa ummi no. 2357).

فَهَذَا فِيْهِ إِشْعَارٌ بِأَنَّ فِي رَجَبٍ مُشَابَهَةً بِرَمَضَانَ وَأَنَّ النَّاسَ يَشْتَغِلُّوْنَ مِنَ الْعِبَادَةِ بِمَا يَشْتَغِلُّوْنَ بِهِ فِي رَمَضَانَ وَيَغْفُلُوْنَ عَنْ نَظِيْرِ ذَلِكَ فِي شَعْبَانَ, لِذَالِكَ كَانَ يَصُوْمُهُ.

Maka di sini ada isyarat bahwasanya pada bulan Rajab ada persamaan dengan Ramadlan, dan bahwasanya orang-orang menyibukkan ibadah padanya sebagaimana Ramadlan. Sementara itu mereka abai dari yang senilai dengannya pada bulan Sya’ban. Oleh sebab itu beliau shaum padanya.

وَفِي تَخْصِيْصِهِ ذَلِكَ بِالصَّوْمِ إِشْعَارٌ بِفَضْلِ رَجَبٍ وَأَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْلُوْمِ الْمُقَرَّرِ لَدَيْهِمْ

Dalam hal beliau mengkhususkan Sya’ban dengan shaum juga ada isyarat tentang keutamaan Rajab, dan bahwasanya itu sudah diketahui dan diakui di tengah-tengah mereka.
Jadi ringkasnya menurut al-Hafizh, hadits shaum Sya’ban di atas menunjukkan bahwa shaum Rajab merupakan amal yang sudah sama-sama diamalkan dan diakui dari sejak zaman Nabi saw dan beliau tidak melarangnya, malah menganjurkannya menambah dengan shaum Sya’ban.
Di antara yang menguatkan sinyalemen al-Hafizh Ibn Hajar di atas adalah hadits riwayat Muslim berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ وَكَانَ خَالَ وَلَدِ عَطَاءٍ قَالَ أَرْسَلَتْنِى أَسْمَاءُ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَقَالَتْ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَرِّمُ أَشْيَاءَ ثَلاَثَةً الْعَلَمَ فِى الثَّوْبِ وَمِيثَرَةَ الأُرْجُوَانِ وَصَوْمَ رَجَبٍ كُلِّهِ. فَقَالَ لِى عَبْدُ اللهِ أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ رَجَبٍ فَكَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الأَبَدَ

Dari ‘Abdullah maula Asma`, ia adalah paman putra ‘Atha`, ia berkata: Asma` menyuruhku untuk menemui ‘Abdullah ibn ‘Umar dan menanyakan kepadanya mengapa ia mengharamkan sambungan sutra pada pakaian laki-laki, memakai kain pelana unta/kuda berwarna merah, dan shaum Rajab sebulan penuh. ‘Abdullah (ibn ‘Umar) berkata kepadaku (‘Abdullah maula Asma`): “Adapun yang kamu sebutkan tentang Rajab, maka bagaimana bagi yang shaum sepanjang hidupnya… (Shahih Muslim bab tahrim isti’mal ina adz-dzahab wal-fidllah no. 5530).
Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits di atas: “Adapun jawaban Ibn ‘Umar tentang shaum Rajab, maka itu adalah bantahan darinya tentang berita yang beredar bahwasanya ia mengharamkannya. Sekaligus ia memberitahukan bahwasanya ia shaum sepanjang bulan Rajab, bahkan sepanjang hidupnya. Yang dimaksud tentu dikecualikan hari ‘Id dan tasyriq. Ini adalah madzhab beliau dan madzhab ayahnya, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Aisyah, Abu Thalhah, dan selain mereka dari salaf umat, juga madzhab Syafi’i dan ulama lainnya, bahwasanya tidak makruh shaum sepanjang tahun/masa. Masalah ini sudah dibahas dalam kitab shaum beserta syarah hadits-hadits yang ada dari kedua belah pihak.” (Syarah Shahih Muslim).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan lebih lanjut:

اَلْحَدِيْثُ الثَّانِي. مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ فِي السُّنَنِ قَالَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ سَعِيدٍ الْجُرَيْرِىِّ عَنْ أَبِى السَّلِيلِ عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِﷺ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِى قَالَ وَمَنْ أَنْتَ؟ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِىُّ الَّذِى جِئْتُكَ عَامَ الأَوَّلِ. قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ. قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ. ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ. قَالَ زِدْنِى فَإِنَّ بِى قُوَّةً. قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ. قَالَ زِدْنِى. قَالَ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ. قَالَ زِدْنِى. قَالَ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ. وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا.

Hadits kedua yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan, ia berkata: Musa ibn Isma’il mengajarkan hadits kepada kami, Hammad mengajarkan hadits kepada kami, dari Sa’id al-Jurairi, dari Abus-Salil, Dari Mujibah orang Bahilah, dari ayahnya atau pamannya, bahwasanya ia datang kepada Nabi saw lalu pergi. Kemudian ia datang kembali setelah satu tahun berselang dan postur tubuh serta penampilannya sudah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah anda masih meengenali saya?” Beliau balik bertanya: “Siapa kamu?”  Ia menjawab: “Saya orang Bahilah yang datang kepadamu pada tahun lalu.” Beliau bertanya: “Apa yang telah mengubahmu, padahal dulu badan kamu terlihat gagah?” Ia menjawab: “Aku tidak makan selain malam hari semenjak pertemuan terakhir denganmu.” Rasulullah saw bertanya: “Mengapa kamu menyiksa dirimu? Shaumlah shaum sabar (Ramadlan), dan satu hari dari setiap bulan.” Ia berkata: “Mohon tambah lagi untukku, saya masih kuat.” Beliau menjawab: “Shaumlah dua hari (dari setiap bulan).” Ia berkata: “Mohon tambah lagi untukku, saya masih kuat.” Beliau menjawab: “Shaumlah tiga hari (dari setiap bulan).” Ia berkata lagi: “Mohon tambah lagi untukku, saya masih kuat.” Beliau menjawab: “Shaumlah pada bulan haram, lalu berhentilah. Shaumlah pada bulan haram, lalu berhentilah. Shaumlah pada bulan haram, lalu berhentilah.” sambil berisyarat dengan melipatkan tiga jarinya lalu melepaskannya lagi (maksudnya; shaum tiga hari, lalu buka tiga hari, shaum lagi tiga hari lalu buka lagi tiga hari—‘Aunul-Ma’bud. Sunan Abi Dawud kitab as-shaum bab fi shaum asyhuril-hurum no. 2430).
Al-Hafizh menjelaskan fiqh hadits di atas sebagai berikut:

فَفِي هَذَا الْخَبَرِ وَإِنْ كَانَ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ لاَ يُعْرَفُ مَا يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ صِيَامِ بَعْضِ رَجَبٍ لِأَنَّهُ أَحَدُ أَشْهُرِ الْحُرُمِ

Dalam khabar ini—meskipun dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal—terkandung dalil dianjurkannya shaum pada sebagian bulan Rajab, karena termasuk bulan Haram.
Maksud al-Hafizh, meski ada rawi yang majhul (tidak dikenal), tetapi tidak sampai menjadikannya dla’if, masih bisa dijadikan hujjah, sebab rawi majhul yang dimaksud adalah seorang shahabat. Shahabat semuanya pasti adil, meski tidak dikenal siapa orangnya atau bahkan tidak disebutkan siapa namanya. Tentunya sepanjang rawi-rawi yang di bawahnya shahih, seperti yang ada pada hadits ini.
Meski demikian, dalam kitab-kitabnya yang lain, Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa Mujibah orang Bahili itu adalah seorang perempuan dari shahabat, berdasarkan riwayat dari Sa’id ibn Manshur yang tegas menyebutkan: ‘ajuzun min qaumiha; seorang nenek dari kaumnya/Bahilah. Perihal keraguan apakah ia menerima dari ayah atau pamannya, yang tepat adalah ayahnya, berdasarkan riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah. Namanya ‘Abdullah ibn al-Harits. Meski demikian, baik itu ayah atau pamannya, kedua-duanya adalah shahabat yang tinggal di Bashrah (al-Ishabah fi Tamyizis-Shahabah no. 10500; Taqribut-Tahdzib no. 6491; Tahdzibut-Tahdzib no. 79). Atau dengan kata lain, lelaki orang Bahili yang datang kepada Nabi saw di atas adalah seorang shahabat dari Bashrah, bernama ‘Abdullah ibn al-Harits, ayah dari Mujibah. Wal-‘Llahu a’lam