Meminta Daging Qurban; Haram

Fenomena yang selalu akrab dilihat di setiap moment ‘Idul-Adha adalah keberanian masyarakat meminta daging qurban kepada panitia qurban atau Ketua RT. Padahal mereka yang meminta itu bukan faqir miskin, hanya orang-orang yang hatinya miskin karena takut tidak mendapatkan daging qurban. Sering juga terlihat kasat mata kericuhan dalam pembagian daging qurban karena terlalu banyak orang yang bernafsu meminta. Perbuatan-perbuatan seperti itu jelas haramnya.

Al-Qur`an dan hadits memang menjelaskan bahwa faqir miskin itu ada dua, as-sa`il, yakni yang berani meminta, dan al-mahrum, yakni yang enggan meminta karena menjaga kehormatan diri, atau yang tiba-tiba saja hilang hartanya karena satu musibah, atau yang tidak terberi karena sudah kehabisan (Tafsir Ibn Katsir). Firman Allah swt yang menyebutkan kedua jenis faqir miskin tersebut di antaranya:

وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩

Dan (orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang) pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (QS. adz-Dzariyat [51] : 19).

وَٱلَّذِينَ فِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ مَّعۡلُومٞ ٢٤ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ٢٥

Dan (orang yang berbahagia itu adalah) orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (QS. al-Ma’arij [70] : 24-25)
Akan tetapi orang miskin yang meminta dimaksud adalah orang miskin yang benar-benar layak meminta. Bagi yang sebenarnya tidak layak meminta, maka hukumnya haram atau tidak halal. Nabi saw menegaskan:

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا  

Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan kecuali bagi satu di antara tiga: (1) Orang yang menanggung denda/urusan orang lain, boleh ia meminta hingga mendapatkannya, setelah itu berhenti. (2) Orang yang mengalami musibah pada hartanya, boleh ia meminta hingga mendapatkan sandaran penghidupan. (3) Orang yang mengalami kemiskinan hingga ada tiga orang arif dari kaumnya mengatakan, “Si Fulan ditimpa musibah kemiskinan,” boleh baginya meminta-minta hingga mendapatkan sandaran penghidupan. Adapun meminta-minta bagi selain tiga orang tersebut adalah haram, pelakunya berarti telah makan harta yang haram (Shahih Muslim kitab az-zakat bab man tahillu lahul-mas`alah no. 2451).
Peringatan Nabi saw di bagian akhir sabdanya di atas layak dicamkan. Bahwa keberanian meminta—dalam hal apapun itu yang sebenarnya ia tidak layak untuk meminta, termasuk dalam hal daging qurban—maka itu perbuatan haram. Apa yang ia terima dan makan pun statusnya jadi suht (harta/makanan haram). Dalam sabdanya yang lain, beliau mengingatkan:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Siapa yang meminta harta kepada orang-orang untuk memperbanyaknya, maka sungguh ia meminta batu api neraka. Maka hendaklah ia sedikit meminta atau silahkan kalau mau perbanyak sekalian! (Shahih Muslim kitab az-zakat bab karahiyatil-mas`alah lin-nas no. 2446).
Yang dimaksud “meminta batu api neraka” dalam hadits di atas, menurut Imam an-Nawawi adalah akan disiksa di neraka. Atau apa yang dimintanya itu kelak akan menjadi batu api neraka dan disetrikakan ke tubuhnya sebagaimana lazimnya siksa bagi orang-orang yang enggan membayar zakat (Syarah Shahih Muslim).
Penyebabnya karena orang yang dimaksud hadits di atas memintanya takatstsuran; untuk memperoleh banyak. Jadi bukan karena ia tidak punya, tetapi sudah punya, hanya ingin memperoleh lebih banyak lagi. Ia sebenarnya sudah diberi atau memang sudah dimasukkan daftar orang yang akan diberi, tetapi ia tidak sabar ingin memperoleh secepat mungkin, dan itu ia tujukan hampir ke setiap panitia, sehingga jadinya ia memperoleh pemberian dari sana sini. Ia meminta bukan karena tidak mampu, ia sebenarnya mampu, tetapi hanya ingin diberi saja oleh orang lain. Hatinya merasa panas ketika tahu orang lain diberi tetapi ia tidak diberi. Perilaku-perilaku semacam ini masuk kategori takatstsuran. Apa yang mereka minta hakikatnya batu api neraka.
Jika karakter senang meminta seperti itu tidak pernah dihentikan, maka kelak pada hari kiamat ia akan menjadi orang hina. Di wajahnya tidak akan ada dagingnya karena terbakar habis oleh api neraka.

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang yang tidak henti-hentinya meminta kelak ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sedikit pun daging pada wajahnya (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab man sa`alan-nas takatstsuran no. 1474. Maksudnya, menurut para ulama, sebagai kehinaan dan ia akan menjadi seseorang yang terhina. Bisa juga maksudnya, wajahnya akan terbakar api neraka sampai habis dagingnya [Fathul-Bari]).
Bagi Allah swt, orang-orang yang senang meminta seperti itu, meski rumah ia punya, pakaian bagus, kendaraan punya, pekerjaan mapan juga dimiliki, masyarakat tidak ada yang menilainya faqir miskin, tetap saja dinilai oleh Allah swt sebagai orang hina dan lebih hina daripada orang-orang miskin yang tidak berani meminta, melainkan memilih menjadi pemulung hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, lebih baik jadi pemulung daripada jadi peminta-minta bantuan kepada orang lain.

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Seseorang di antara kalian mengambil tali kemudian membawa seikat kayu bakar di punggungnya, lalu ia menjualnya sehingga Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1378; Shahih Muslim kitab az-zakat bab karahatil-mas`alah lin-nas no. 1727-1728).
Maka dari itu al-Qur`an dan hadits kemudian menekankan kepada orang yang hendak bershadaqah atau zakat, atau yang dipercaya mengurus shadaqah atau zakat, termasuk daging qurban, untuk tetap memprioritaskan mereka yang betul-betul faqir miskin dan tidak berani meminta. Meski tentunya tidak berarti haram memberi kepada mereka yang memaksa meminta, sebab yang haram itu memaksa memintanya bukan memberinya. Maka orang yang terpaksa memberi, tidak salah sama sekali. Terlebih pada intinya, orang yang meminta itu—terlepas dari apa motifnya—memang berhak diberi. Hanya jika ternyata yang meminta itu sebenarnya tidak layak meminta, maka dosanya ada pada si peminta-minta itu.

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡ‍َٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣

(Berinfaqlah) kepada orang-orang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (QS. al-Baqarah [2] : 273).

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling meminta kepada orang-orang, lalu diberi satu dua suap, atau satu dua buah kurma. Orang miskin yang sebenarnya itu adalah yang tidak mempunyai harta cukup, tapi tidak dimengerti oleh orang lain dan diberi shadaqah, meski demikian ia tidak berani meminta kepada orang-orang (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab qaulil-‘Llah ta’ala la yas`alunan-nas ilhafan no. 1479).
Wal-‘Llahu a’lam