Dinar Dirham Mata Uang Syari’ah?

Beberapa hari yang lalu Pasar Muamalah di Depok digerebek oleh Polisi. Penggagasnya ditangkap karena dinilai sudah melakukan pidana dengan memberlakukan mata uang selain rupiah dalam transaksi jual belinya. Padahal yang dipraktikkan di pasar tersebut adalah transaksi berdasarkan syari’ah. Apakah benar dinar dan dirham itu mata uang syari’ah sehingga harus diperjuangkan menjadi mata uang di Indonesia menggantikan rupiah? 0896-4453-xxxx
Syaikh Yusuf al-Qaradlawi menjelaskan panjang lebar dalam kitabnya Fiqhuz-Zakat pada bab zakat uang (jilid 1, hlm. 240-259) bahwa dinar adalah mata uang emas yang digunakan di Romawi Bizantium (sekarang Turki), sementara dirham adalah mata uang perak yang digunakan di Persia. Penduduk Makkah sendiri pada dasarnya melakukan jual beli dengan cara barter; tukar menukar barang. Seiring interaksi mereka dengan penduduk di wilayah kekuasaan Romawi dan Persia baik itu di daerah Syam atau Yaman, mereka pun kemudian ikut menggunakan dinar dan dirham dalam transaksi perdagangan. Jadi sebelum Nabi saw diutus mata uang dinar dan dirham itu sudah ada.
Dinar dan dirham yang digunakan penduduk Makkah pada saat itu didasarkan pada timbangannya, di antaranya rithl = 12 uqiyyah, uqiyyah = 40 dirham, nasysy = 20 dirham, dan nawah =5 dirham. Nabi saw setelah diutus kemudian menetapkan standar ukuran untuk zakat dengan sabdanya: “Timbangan merujuk timbangan penduduk Makkah, dan takaran merujuk takaran penduduk Madinah.” (hadits Ibn ‘Umar ra riwayat al-Bazzar, dishahihkan Ibn Hibban, ad-Daraquthni, an-Nawawi, dan al-Albani). Syaikh al-Qaradlawi menjelaskan, karena memang penduduk Makkah yang mayoritas pedagang memakai standar timbangan sebagaimana disinggung di atas, sementara penduduk Madinah yang mayoritas petani memakai standar takaran seperti sha’ dan wasaq.
Penetapan standar dinar, dirham, dan takaran-takaran yang diatur dalam syari’at dilatarbelakangi fakta ada beragam standar terkait dinar, dirham, dan takaran tersebut; baik itu pada zaman Nabi saw hidup dan juga terus berubah-ubah pada masa-masa khilafah sesudahnya sampai sekarang. Setelah melakukan kajian yang mendalam, Syaikh Yusuf al-Qaradlawi kemudian menyimpulkan bahwa 1 keping dinar berdasarkan standar yang telah ditetapkan Nabi saw itu senilai 4,25 gram emas, sementara 1 keping dirham senilai 2,975 gram perak.
Itu semua berarti bahwa yang ditetapkan syari’at adalah standar dinar dan dirham untuk kepentingan syari’at seperti zakat, diyat (tebusan), atau jinayah (hukuman pidana), bukan sebagai mata uang yang harus digunakan dalam transaksi. Maka dari itu jual beli barter masih dilegalkan pada zaman Nabi saw seperti dalam hadits tentang riba: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dengan seimbang dan dari tangan ke tangan (tunai). Siapa yang memberi tambahan atau memintanya, sesungguhnya ia telah riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (Shahih Muslim bab as-sharf wa bai’udz-dzahab bil-waraq naqdan no. 2971).
Penggunaan dinar dan dirham sebagai mata uang pada zaman Nabi saw sendiri merujuk pada adat kebiasaan penduduk setempat, itu artinya bukan bagian dari syari’at. Jika hari ini Ulil-Amri (Pemerintah) sudah membuat aturan tentang mata uang yang sah dan wajib digunakan, maka aturan ini wajib ditaati. Jika ada pertimbangan bahwa mata uang dinar dan dirham lebih maslahat untuk ekonomi maka jelas ini harus diperjuangkan terlebih dahulu dalam level pemikiran kemudian naik pada level kebijakan politik.
Meski di sisi lain kami tidak sependapat dengan penggerebekan pasar Muamalah di Depok, karena faktanya mereka bertransaksi dengan rupiah juga, bukan dengan dollar atau mata uang Negara lainnya. Penggunaan dinar dan dirham di pasar tersebut tidak akan mengurangi permintaan pada rupiah, karena dinar dirham statusnya sebagai komoditas saja yang diperjualbelikan menggunakan rupiah. Ketika terjadi transaksi dengan dinar dirham itu tidak berbeda dengan jual beli barter biasa. Semoga aparat penegak hukum bisa lebih bijak dalam menangani kasusnya.