Isra` Mi’raj adalah sebuah mukjizat agung yang menegaskan kebenaran Muhammad ﷺ sebagai Nabi-Nya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai agung yang seringkali terdegradasi di balik perayaan-perayaan seremonial peringatan Isra` Mi’raj. Lebih terdegradasi lagi di tengah-tengah masyarakat yang abai sama sekali terhadap peristiwa mahadahsyat ini.
Meski mayoritas ulama tidak menyatakan bahwa peristiwa Isra` Mi’raj terjadi di bulan Rajab, umat Islam Indonesia tidak bisa menutup mata dan telinga bahwa di negara ini Isra` Mi’raj diresmikan oleh Pemerintah diperingati setiap tanggal 27 Rajab. Meski peringatan ini lebih dekat pada kelirunya, Isra` Mi’raj itu sendiri adalah peristiwa agung yang sudah ditegaskan keterjadiannya oleh al-Qur`an. Yang lebih penting dari itu adalah nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam peristiwa Isra` Mi’raj itu sendiri.
Peristiwa Isra` diabadikan menjadi nama satu surat dalam al-Qur`an karena di ayat pertamanya menyinggung peristiwa agung tersebut:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Mahasuci Allah yang telah meng-Isra`-kan (memperjalankan) hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya (Syam dan sekitarnya) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. al-Isra` [17] : 1).
Sementara mi’raj dijelaskan Allah swt dalam ayat lain:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (١٣) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (١٦) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (١٧) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (١٨)
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar (QS. an-Najm [53] : 13-18).
Sidratul-Muntaha itu sendiri dijelaskan dalam hadits-hadits Isra` Mi’raj ada di atas langit ketujuh dan menjadi batas akhir (muntaha) yang memisahkan alam langit/malaikat dan alam Allah swt yang disebutkan dalam QS. Thaha [20] : 5 istiwa dalam ‘Arsy di atas sidratul-muntaha (himpunan hadits-hadits Isra` Mi’raj bisa dirujuk ke Tafsir Ibn Katsir). Artinya Nabi saw benar-benar naik ke langit, setelah sebelumnya menempuh perjalanan dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsha. Al-Hafizh Ibn Katsir menegaskan, semua itu Nabi saw jalani dengan jasad Nabi saw sendiri secara utuh, bukan hanya ruhnya. Maka dari itu, al-Qur`an menegaskan dalam surat al-Isra` dengan firman: “bi ‘abdihi” yang maknanya menunjukkan badan sekaligus ruh. Dalam ayat 17 surat an-Najm juga Allah swt menyatakan “ma zaghal-bashar”. Maksudnya, Nabi saw melihat langsung dengan mata kepalanya dan badannya, bukan hanya ruhnya saja; dalam keadaan bangun, bukan dalam mimpi. Sebab kata “bashar” menunjukkan penglihatan badan, bukan ruh. Penglihatan batin atau mata hati bahasa Arabnya bashirah bukan bashar.
Firman Allah swt “Subhana” dalam ayat pertama surat al-Isra` juga menunjukkan kemukjizatan Isra` Mi’raj dalam hal terjadi satu malam, dengan badan fisik, dan dalam keadaan terjaga. Sebab tasbih (subhana) hanya diarahkan pada peristiwa-peristiwa agung dan di luar nalar. Jika itu terjadi sambil tidur dalam mimpi, tentu tidak akan diungkapkan dengan kata “Subhana”, dan orang-orang kafir Quraisy juga tidak akan langsung menolaknya. Demikian juga orang-orang yang masih dangkal Islamnya saat itu tidak akan murtad/keluar dari agama Islam dan kembali pada agama Jahiliyyah. Pernyataan tasbih tersebut merujuk pada “ayat-ayat” (bukti-bukti kekuasaan Allah swt) yang ditegaskan dalam ayat pertama surat al-Isra` juga ayat 18 surat an-Najm sebagai ayat yang kubra; sangat agung.
Jika ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa Isra` Mi’raj dilakukan oleh ruh Nabi saw saja dan dalam keadaan mimpi bukan kejadian alam nyata, maka ini adalah degradasi terhadap kemukjizatan Isra` Mi’raj.
Degradasi nilai yang lebih parah adalah melupakan nilai-nilai tauhid yang terkandung di dalamnya. Dalam peristiwa Isra` Mi’raj, Allah swt secara jelas menghubungkan antara Masjidil-Haram dan Masjidil-Aqsha; dua kiblat ibadah umat-umat para Nabi sebelumnya ‘alaihimus-salam. Itu artinya bahwa kenabian Muhammad saw adalah keberlanjutan dari kenabian Nabi-nabi sebelumnya. Lebih jelas lagi pada diangkatnya Nabi Muhammad saw sebagai imam shalat oleh para Nabi lainnya di akhir peristiwa Mi’raj. Ini semua menegaskan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw bukan agama yang lahir di Arab pada abad 6 M, melainkan melanjutkan agama Islam yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya ‘alaihimus-salam.
Maka menghentikan iman pada Nabi ‘Isa as, seperti diyakini kaum Kristen, adalah pengingkaran kepada agama Allah swt itu sendiri. Hukumnya kafir yang diancam al-Qur`an dengan neraka selama-lamanya. Demikian halnya menghentikan iman sampai Nabi Musa as seperti diyakini kaum Yahudi. Apalagi jika kemudian menempatkan Islam sejajar dengan agama Kristen dan Yahudi sebagai agama-agama biasa yang dianut umat manusia. Lebih parahnya lagi menyamakan Islam dengan agama-agama yang tidak mengenal tradisi kenabian dan wahyu sama sekali. Ini jelas sebuah pengingkaran terhadap konsep tauhid. Yang benar, Islam itu sebuah agama yang genuine. Sementara agama-agama lainnya adalah agama yang palsu. Yang genuine/asli tidak bisa disamakan dengan yang palsu. Maka sikap para tokoh agama dan pemimpin negara yang seringkali mendukung ritual-ritual agama-agama palsu, ini adalah sebentuk degradasi nilai Isra` Mi’raj yang sangat hina. Di satu sisi mereka memperingati Isra` Mi’raj, tetapi di sisi lain mereka menginjak-injak nilai luhur dari Isra` Mi’raj. Semestinya cukup dengan la a’budu ma ta’budun; saya tidak akan ikut ritual kalian. Lakum dinukum wa li ya din; silahkan urus agama kalian oleh kalian sendiri. Bukan malah mendukung, mengikuti dan mengucapkan selamat Natal, Paskah, Imlek, Waisak, Nyepi dan sebagainya.
Dengan sendirinya, para penganut agama-agama palsu itu sendiri—meski dari luar kelihatan tampak baik—tidak boleh dimuliakan, dipuja dan diprioritaskan menjadi pemimpin, jika faktanya mereka adalah orang-orang yang mengingkari kenabian Muhammad saw. Cukup berhubungan baik dengan mereka tanpa harus memuliakan dan mendukung mereka menjadi pemimpin. Sebab itu sama saja dengan memuliakan orang yang sudah menghina kenabian Muhammad saw. Bukankah Isra` Mi’raj mengagungkan kenabian Muhammad saw? Kenapa di sisi lain para penghina kenabian Muhammad saw harus dipuja dan dimuliakan?
Isra` Mi’raj juga menekankan pentingnya kedudukan shalat sebagai ibadah pokok umat Islam. Jika syari’at lainnya diturunkan ke bumi, maka shalat langsung disyari’atkan di langit dengan memanggil Nabi Muhammad saw mi’raj ke langit. Maka setiap peringatan Isra` Mi’raj tidak ada artinya sama sekali jika tidak dengan mengagungkan shalat sebagai salah satu kandungan pokoknya. Maka sungguh keliru dan sangat keliru jika peringatan Isra` Mi’raj dilakukan sampai tengah malam atau bahkan lewat tengah malam, tetapi kemudian shalat Shubuh tetap kesiangan. Masjid di waktu shubuh tetap saja kosong dari jama’ah shalat. Ini berarti sebuah degradasi nilai Isra` Mi’raj, sebab Isra` Mi’raj sebagai sebuah mukjizat agung yang mengagungkan shalat sebatas dijadikan seremonial tahunan semata, bukan malah diagungkan melalui kedisiplinan shalat di setiap waktunya.
Degradasi nilai keagungan shalat ini penting untuk ditekankan kembali sebab faktanya masyarakat yang sering merayakan Isra` Mi’raj sendiri, apalagi yang tidak pernah menghiraukan sama sekali Isra` Mi’raj, malah banyak yang merendahkan shalat. Shalat sudah tidak lagi diperintahkan oleh suami kepada istrinya ataupun sebaliknya, meski tahu bahwa istri atau suaminya sering melalaikan shalat. Shalat sudah tidak lagi diperintahkan oleh orangtua kepada anak yang berusia 7-10 tahun karena alasan shalat belum wajib bagi anak-anak. Padahal meski shalat belum wajib bagi anak-anak, orangtua tetap wajib menyuruh mereka shalat. Anak usia 10 tahun ke atas yang semestinya dihukum pukul yang tidak mencederakan atau dihukum tidak tidur di ruangan tidur, tidak pernah diterapkan karena alasan kasih sayang. Padahal semestinya kasih sayang diwujudkan dalam keberanian memerintah shalat. Tanpa keberanian itu anak tidak akan menjadi ahli shalat dan itu artinya orangtua tidak sayang kepada anaknya sebab rela membiarkan anaknya tidak menjadi ahli shalat.
Shalat juga selalu dinomorduakan atau bahkan nomor tiga dan empat ketika panggilan hayya ‘alas-shalat berkumandang. Kalah oleh aktivitas duniawi yang nilainya lebih rendah daripada shalat; berdagang, bekerja di kantor, mengajar di kelas, meeting di ruang rapat, memasak di dapur, atau menonton TV dan berselancar di media sosial. Perilaku-perilaku ini menunjukkan bahwa shalat sudah tidak diagungkan lagi. Padahal Allah swt dan Nabi-Nya sangat mengagungkan shalat sampai mensyari’atkannya lewat sebuah perjalanan agung Isra` Mi’raj. Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.