Akhir-akhir ini ramai di media sosial keberadaan akun komunitas crosshijabers. Beberapa di antaranya ada yang sudah diwawancara oleh media online dan menyatakan diri bahwa mereka bukan kaum LGBT atau homoseks. Mereka adalah manusia-manusia normal yang senang saja berbusana perempuan. Bagaimana hukumnya menurut Islam?
Istilah crosshijabers ditujukan kepada lelaki yang senang berpakaian hijab perempuan muslimah. Komunitas ini adalah perkembangan dari komunitas crossdresser yang sudah ada lebih dahulu, yakni mereka adalah kaum lelaki yang senang berpakaian perempuan. Kelompok crossdesser tersebut dalam perjalanannya berkembang menjadi tiga: (1) Crossdesser kasual yang non-hijab. Berdasarkan pengakuan salah seorang pelakunya, kelompok ini banyak melibatkan beragam kalangan, termasuk guru dan tentara. Jumlah followernya di media sosial juga sampai ribuan. (2) Cosplayer/Coser yakni mereka yang senang memakai kostum tokoh di dunia film meski itu yang lawan jenis sekalipun. Dan (3) crosshijabers yang akhir-akhir ini mulai viral, meski menurut pelakunya sudah ada dari sejak 2010-an (detik.com).
Meski pelakunya mengaku bukan bagian dari LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) dan beberapa di antara mereka mengaku diterima oleh pasangan hidupnya (kekasih/istrinya), tetap saja tidak berarti bahwa perilaku tersebut harus diakui benar oleh masyarakat, atau masyarakat jadi dituntut untuk menerima kehadiran mereka. Sebab norma-norma yang harus hidup dalam masyarakat haruslah norma-norma yang diajarkan Allah swt sebagai sang pencipta dunia tempat dimana masyarakat hidup. Jangan merasa berhak mengatur sendiri aturan kehidupan, sementara diri mereka sendiri hidup “menumpang” di bumi Allah swt. Maka sudah seyogianya jika seorang “tamu” mengikuti norma yang sudah dibuat oleh “tuan rumah”, yang dalam konteks ini adalah Allah swt.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Rasulullah saw melaknat seorang lelaki yang berpakaian seperti pakaian perempuan dan juga seorang perempuan yang berpakaian seperti pakaian lelaki (Sunan Abi Dawud bab libasin-nisa` no. 4100).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Rasululllah saw melaknat lelaki yang sengaja menyerupai perempuan dan perempuan yang sengaja menyerupai lelaki. (Shahih al-Bukhari bab al-mutasyabbihun bin-nisa` no. 5885).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ ﷺ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ ﷺ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فلُانَةَ
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Nabi saw melaknat lelaki yang takhnits (berperilaku seperti perempuan) dan perempuan yang tarajjul (berperilaku seperti lelaki).” Sabda beliau: “Usir mereka dari rumah/kampung kalian.” Maka Nabi saw mengusir seorang lelaki yang berperilaku perempuan dan ‘Umar mengusir seorang perempuan yang berperilaku lelaki (Shahih al-Bukhari bab ikhrajil-mutasyabbihin bin-nisa` minal-buyut no. 5886).
Hadits-hadits di atas jelas menyebutkan laknat bagi mereka yang menyerupai lawan jenis, mulai dari pakaian, penampilan yang dilebih-lebihkan; gaya bicara, berjalan, dan bersikap, menyenangi sesama jenisnya baik itu homoseks (menyukai sesama jenis) atau biseksual (menyenangi secara seksual kepada lelaki dan perempuan sekaligus), apalagi sampai transgender (berganti identitas kelamin atau identitas gender).
Hukuman untuk mereka yang senang menyerupai lawan jenis adalah diasingkan. Tentunya dalam pemahaman agar tidak mempengaruhi atau berbahaya bagi orang lain dan untuk dibina kembali agar memiliki jati diri sesuai jenis kelaminnya jika masih memungkinkan. Jika sudah tidak mungkin dibina maka diasingkan selamanya seperti dipenjara atau dikucilkan. Itu juga adalah hukuman yang harus dikenakan kepada crosshijabers karena mereka manusia yang dilaknat. Tetapi tentunya dengan tidak menimbulkan kerusuhan di tengah-tengah masyarakat, yang dalam hal ini harus melibatkan pihak berwenang atau tokoh masyarakat setempat. Wal-‘Llahu a’lam.