Capres Harus Lulus Tes Baca al-Qur`an?

Unik memang apa yang ditempuh oleh Ikatan Dai Aceh (IDA) dengan mengundang Capres dan Cawapres tes baca al-Qur`an. Alasannya sederhana, semua calon pemimpin kota/kabupaten dan provinsi di daerah istimewa yang memberlakukan syari’at Islam di sana juga dites baca al-Qur`an. Karena Presiden dan Wakil Presiden RI juga akan menjadi pemimpin mereka, masyarakat Aceh pun ingin memastikan bahwa Presiden yang terpilih kelak bisa membaca al-Qur`an.


Sabtu (29/12/2018), Ikatan Dai Aceh mengirim undangan kepada kedua kandidat Presiden 2019 untuk menghadiri tes membaca al-Qur`an di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada tanggal 15 Januari 2019 M. Ketua IDA, Tgk Marsyuddin Ishak, mengatakan kepada voanews bahwa tes tersebut penting untuk mengungkapkan citra sebenarnya dari calon Presiden, serta melanjutkan tradisi di provinsi mereka—satu-satunya yang menerapkan hukum syari’ah di Indonesia. “Para pemimpin kami di sini—gubernur, anggota dewan, dan lembaga lainnya—semuanya diuji untuk membaca al-Qur`an. Presiden selanjutnya akan menjadi pemimpin kami juga, jadi kami ingin mengetahui kemampuan mereka dalam membaca al-Qur`an seperti pemimpin lokal kami di sini,” kata Marsyuddin.
Karena undangan tersebut tidak kunjung ditanggapi, pada 15 Januari 2019 kemarin IDA datang ke Jakarta dan menemui TKN Jokowi juga BPN Prabowo. Tetapi mereka masih belum mendapatkan jawaban yang pasti atas kesediaan capres dan cawapres mengikuti tes. Mereka juga datang ke MUI untuk meminta rekomendasi penguji. Demikian halnya ke KPU untuk berkoordinasi terkait penyelenggaraan tes membaca al-Qur`an ini. Sampai tulisan ini diturunkan belum ada kepastian apakah tes baca al-Qur`an capres tersebut akan jadi dilaksanakan atau tidak.
Sontak saja ide sederhana dari IDA ini mendapatkan penolakan dari para cendekiawan yang kacamatanya menihilkan agama dari politik. Menurut mereka ukuran mengurus negara itu standarnya kemampuan manajerial kenegaraan, tidak ada kaitannya dengan kemampuan membaca al-Qur`an. Komarudin Hidayat, mantan Rektor UIN Jakarta, misalnya menyatakan: “Saya sangat menyesal. Kehidupan kita harus berdasarkan pada konstitusi. Memahami dan belajar lebih banyak tentang agama kita adalah penting, tetapi itu bukan berarti bahwa kita gagal jika kita tidak bisa membaca Al-Qur`an,” katanya kepada voanews.
Komarudin melanjutkan, “Agama tidak pernah menjadi standar untuk lulus dari sekolah atau untuk mendapatkan pekerjaan. Saya memberi Anda contoh lain: Jika kita ingin menguji seorang pilot pesawat, kita menguji pengetahuannya di pesawat bukan tentang kemampuannya membaca al-Qur`an. Kasus yang sama dengan pemilihan presiden.”
Sementara itu, Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit menilai wacana tes baca Al-Qur`an yang diajukan masyarakat Aceh untuk pasangan capres-cawapres melawan Pancasila. “Persoalan apa yang diusulkan orang Aceh di sana, capres membaca Al-Qur`an ini persoalan melawan dasar negara, melawan Pancasila. Seharusnya orang Indonesia tidak ada yang mendengar itu, biarkan saja orang Aceh karena orang Aceh itu biasa begitu, dia maunya negara diatur menurut agama,” kata Arbi saat diskusi di Restoran Gado-Gado Boplo Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/1/2019), sebagaimana diwartakan detik.com.
Arbi memandang jika tes itu dilakukan sama saja Indonesia menjadi negara agama, bukan negara yang berdasarkan Pancasila. Ia berpendapat usulan itu tidak baik karena bertentangan dengan esensi Pancasila terkait agama. “Ini orang sana nggak mau bedakan. Kalau ajaran dipakai berkaitan negara itu namanya negara agama bukan negara Pancasila, karena negara Pancasila bukan negara agama. Ini akan membuat negara agama karena agama sudah dijadikan proses pemilihan pemimpin,” pungkas Arbi.
Rumadi Ahmad, cendekiawan dari Nahdlatul Ulama mengatakan kepada voanews bahwa tes membaca al-Qur`an adalah contoh yang jelas untuk mempolitisasi agama. “Ini melebih-lebihkan agama dalam politik. Kita tidak harus menggunakan kemampuan membaca al-Qur`an sebagai isu dalam Pemilu mendatang. Ini adalah kecenderungan yang jelas untuk mempolitisasi agama. Itu berbahaya dan akan membangkitkan kebencian di antara masyarakat dari berbagai ras dan agama di negara ini,” kata Rumadi.
Bagi orang yang sudah tidak ada agama lagi dalam pemikirannya, pasti akan berpikir sama dengan mereka di atas. Dianggapnya bukan sebuah kegagalan kalau tidak bisa baca al-Qur`an. Padahal membaca al-Qur`an itu fardlu ‘ain; setiap orang wajib menguasainya karena harus menjadi dzikir hariannya dan terutama dibaca dalam shalat. Maka muslim yang tidak bisa membaca al-Qur`an jelas merupakan muslim yang gagal. Bukan pemimpim yang gagal lagi, melainkan muslim yang gagal. Lebih dari itu, kemampuan dan tentu intensitas dzikir membaca al-Qur`an ini akan menjadi dasar dari pemikiran seseorang, apakah akan memuliakan ajaran Allah swt ataukah akan mengabaikannya.
Jika Komarudin Hidayat menyatakan bahwa tes al-Qur`an bukan syarat dalam kelulusan pendidikan profesi apapun, itu karena dunia pendidikan di Indonesia sudah sangat sekular. Akibatnya sangat terasa, meski statusnya seorang profesional atau seorang sarjana, mental dan moralnya bobrok karena tidak disinari al-Qur`an. Yang agak mendingannya, mereka menjadikan al-Qur`an hanya di lorong-lorong kehidupan pribadi mereka; dalam shalat, pengajian, lingkup keluarga, tetapi mereka enggan membawanya dalam kehidupan sosial guna menebarkan rahmat untuk sekalian alam. Sebabnya karena takut dicap sebagai kolot atau terbelakang. Yang agak mendingan seperti ini pun sebenarnya tidak mending sama sekali.
Mempertentangkan hak beragama umat Islam dengan Pancasila adalah modus jadul dari orang-orang yang nihil cahaya Islam dalam nuraninya. Padahal jelas UUD menjamin setiap warga negara menjalankan agama dan kepercayaannya. Jika rakyat Aceh menjadikan standar pemimpin itu yang bisa baca al-Qur`an, tes baca al-Qur`an pun dilaksanakan di Aceh khusus untuk rakyat Aceh yang sudah diwenangkan konstitusi menjalankan syari’at Islam di daerahnya, capres-cawapres yang diuji pun notabene orang-orang Islam, lalu di mana letak bertentangan dengan Pancasilanya? Jika alasannya tidak diatur dalam konstitusi, tes baca al-Qur`an tersebut memang tidak untuk mengintervensi konstitusi. Seandainya capres-cawapres yang dites baca al-Qur`an tidak lulus, pastinya tidak akan menggugurkan pencalonan mereka. Pilpres 2019 tetap akan berjalan sebagaimana sudah dijadwalkan. Protes yang mempertentangkan Islam dengan konstitusi itu jelasnya hanya datang dari orang-orang yang sangat takut dengan Islam.
Kekhawatiran akan adanya politisasi agama di balik tes baca al-Qur`an capres, mungkin yang paling bisa dimaklumi, meski kesan su`uzhannya terlalu kental. Maka para da’i—bukan hanya Ikatan Da’i Aceh—dalam hal ini harus menjelaskan kepada umat bahwa kemampuan membaca al-Qur`an itu fardlu ‘ain bagi setiap orang, apakah itu seorang calon pemimpin atau bukan. Jika seorang muslim, terlepas apa ia pemimpin atau bukan, tidak bisa membaca al-Qur`an, itu pertanda yang jelas dari kebejatan akhlaqnya kepada Allah swt. Meski demikian, tidak berarti bahwa jika seseorang sudah bisa baca al-Qur`an tanggung jawab keagamaannya kemudian selesai begitu saja. Kewajiban selanjutnya dari seorang muslim, apalagi seorang pemimpin, adalah memuliakan dan mengamalkan ajaran al-Qur`an dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam aspek ini, jika sudah sama-sama dipahami, maka tidak mungkin terjadi politisasi agama. Tes baca al-Qur`an ini hanya sebagai standar awal dan minimal dari kualitas keagamaan setiap muslim.
Umat Islam sudah semestinya berharap, meski tidak diakomodir oleh konstitusi, tes baca al-Qur`an ini minimalnya jadi budaya dan tradisi masyarakat muslim dalam memilih calon pemimpinnya mulai dari calon pemimpin rumah tangga, Ketua RT, RW, Lurah, Kades, Kadus, Camat, Walikota, Bupati, Gubernur, Anggota Dewan, Menteri, PNS/ASN, dan pejabat-pejabat muslim lainnya. Sebab kehidupan seorang muslim tidak boleh jauh dari dzikir al-Qur`an. Itulah yang dipesankan Nabi saw dalam haditsnya yang terkenal:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ. قَالَ الأَشَجُّ فِى رِوَايَتِهِ مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا

Hendaklah yang menjadi imam satu kaum adalah: (1) Orang yang paling bagus qira`ah (hafalan dan bacaan) terhadap kitab Allah. Jika mereka sama dalam hal kemampuan qira`ah, maka (2) orang yang paling memahami sunnah. Jika mereka sama dalam hal sunnah, maka (3) orang yang yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka sama dalam hal hijrah, maka (4) orang yang lebih dahulu masuk Islam. Dan janganlah seseorang mengimami orang lain di daerah kekuasaannya dan jangan juga duduk di rumahnya di tempat duduk istimewanya, kecuali seizinnya. Dalam riwayat al-Asyajj (yang sebelumnya riwayat Abu Bakar ibn Abi Syaibah), hierarki yang keempat bukan “orang yang lebih dulu masuk Islam” tetapi “orang yang lebih tua usianya” (Shahih Muslim kitab al-masajid bab man ahaqqu bil-imamah no. 1564).
Yang dimaksud imam dalam hadits ini bukan hanya imam shalat, tetapi juga imam/pemimpin secara keseluruhan mencakup pemimpin di tengah-tengah masyarakat, sebab memang dalam tradisi Islam yang menjadi pemimpin masyarakat itu juga menjadi imam shalat. Banyak diriwayatkan dalam hadits para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in menjadi makmum karena yang menjadi imamnya adalah amir/khalifah.
Ketentuan syari’at ini jangan dikaburkan oleh isu politisasi agama. Jangan karena khawatir ada politisasi agama, maka sunnah yang mulia ini sementara disimpan dahulu dalam laci. Yang benar sunnah harus terus diperjuangkan agar menjadi tradisi di tengah-tengah umat dan politisasi agama pun harus ditolak, secara bersamaan, tanpa ada yang dikorbankan salah satunya. Wal-‘Llahu a’lam.