Akhlaq

Berutang Itu Dosa

Berutang hari ini sudah menjadi gaya hidup. Hidup seakan tidak lengkap jika tidak berutang. Ingin memiliki rumah, berutang. Memiliki mobil, berutang. Memiliki sepeda motor, berutang. Memiliki gadget dan barang elektronik, berutang. Memajukan usaha, berutang. Menambah harta berupa tanah atau logam mulia, berutang. Sehingga bedanya hidup “keren” dan “kere” hanya dari huruf “n”, yakni “n-gutang”. Padahal Nabi saw sudah mengajarkan, status asal dari berutang itu sendiri adalah berdosa. Mengapa demikian?

Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis satu bab khusus:

باب مَنْ قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللهِ كُفِّرَتْ خَطَايَاهُ إِلاَّ الدَّيْنَ

Bab: Orang yang gugur di jalan Allah akan dihapus semua dosanya kecuali utang.
Secara tersirat dapat diketahui bahwa utang itu termasuk dosa, dan dosa utang ini tidak akan diampuni jika sampai meninggal belum dilunasi, meski itu orang yang gugur (syahid) di medan perang sekalipun. Artinya selama belum dilunasi, utang itu statusnya dosa. Jika sudah dilunasi maka hilanglah dosanya.
Hadits Nabi saw yang dijadikan landasannya adalah jawaban Nabi saw ketika ditanya oleh seorang shahabat tentang kepastian gugur di medang perang fi sabilillah akan menghapus dosa. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Qatadah ra:

قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ

Seorang shahabat bertanya: “Apakah menurut anda jika aku gugur di jalan Allah semua kesalahanku akan dihapuskan dariku?” Rasulullah saw menjawab: “Ya, selama kamu bersabar (bertahan di medan perang), berharap pahala Allah (bukan karena pamer atau niatan duniawi lainnya), menghadapi musuh dan bukan malah melarikan diri dari mereka, kecuali utang, sebab sungguh Jibril as baru saja mengatakan hal itu kepadaku.” (Shahih Muslim bab man qutila fi sabilillah kuffirat khathayahu illad-dain no. 4988).
Di samping itu ada juga hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra yang matannya senada dengan hadits Abu Qatadah ra di atas:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ

Akan diampuni bagi orang yang syahid (gugur di medan perang) semua dosanya kecuali utang (Shahih Muslim bab man qutila fi sabilillah kuffirat khathayahu illad-dain no. 4991).
Dalam hadits terakhir ini jelas disebutkan bahwa utang termasuk “dzanb” (dosa). Letak dosanya itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, karena utang mengambil hak orang lain (haq adamiy) selama belum dilunasi. Sering dirasakan oleh orang yang memberikan utang saat-saat dimana ia membutuhkan uang, tetapi uangnya tidak ada meski sebenarnya ia punya, hanya karena sedang dipinjam oleh orang lain dan belum kunjung dibayar. Atau seorang pedagang yang susah maju dagangnya hanya karena banyak uang di luar akibat diutang. Atau yang lebih parah, masjid dan sekolah yang tidak bisa menjalankan program dengan baik hanya karena uang kasnya sedang dipinjam oleh pengurus dan staf pengajar.
Sesuatu yang berstatus dosa atau haram, tidak kemudian haram selamanya. Berdasarkan kaidah umum, hukumnya bisa menjadi boleh jika dalam kondisi darurat. Ciri darurat itu sendiri ghaira baghin; bukan karena menginginkannya, dan la ‘adin;  tidak pula melampaui batas (QS. al-Baqarah [2] : 173).
Dalam kadar tertentu, para ulama sepakat menyatakan: al-hajah qad tanzilu manzilatad-dlarurah; kebutuhan terkadang jatuh pada status darurat. Kebutuhan itu sendiri adalah sesuatu yang dibutuhkan, bukan sesuatu yang diinginkan (ghaira baghin). Dalam teori ilmu sosial, kebutuhan yang benar-benar butuh itu adalah kebutuhan primer, yakni pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan (rumah). Selebihnya dari itu adalah kebutuhan sekunder (pelengkap), meski bisa jadi dalam suatu waktu beralih status menjadi kebutuhan primer. Dalam hal-hal yang termasuk kebutuhan primer ini berarti berutang menjadi tidak berdosa.
Kriteria “butuh” dan “ingin” ini harus dijadikan pedoman secara jujur; apakah seseorang itu berutang karena “butuh” ataukah karena “ingin”? Apakah memang berutang untuk membeli rumah itu karena “butuh” berhubung memang belum punya rumah, ataukah karena “ingin” menambah rumah? Apakah berutang untuk modal usaha itu karena “butuh” demi memperbanyak modal shadaqah ataukah karena “ingin” memperbanyak kekayaan dan meningkatkan status sosial?
Pesan Nabi saw kepada Hakim ibn Hizam ra dalam hal ini harus diingat juga, yakni bahwa apapun harta yang dasarnya hanya karena “ingin” dimiliki oleh nafsunya semata, bukan untuk memperbanyak shadaqah dan waqaf misalnya, maka harta tersebut tidak akan berkah; tidak akan menjadi ladang pahala di dunia, malah hanya akan menambah jalan dosa menuju akhirat. Hatinya akan terus diburu nafsu duniawi yang tiada akhir. Hatinya akan selalu sibuk dengan dunia karena dikejar-kejar utang. Bahkan ironinya setiap kali utangnya selesai, nafsu untuk berutang itu kembali datang dan ia pun berutang kembali. Orang yang seperti ini pasti akan menjadi orang yang bakhil dari shadaqah karena hidupnya sibuk dengan utang. Dampak lainnya, kesibukan mengurus utangnya akan melalaikannya dari shalat di awal waktu, menikmati shalat khusyu sampai wiridnya, bangun di waktu malam untuk shalat dan istighfar, meningkatkan hafalan al-Qur`an, dan menambah ilmu agama untuk meningkatkan amal shalih.

إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ

Sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kebersihan hati (dari keinginan nafsu), ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri, dia tidak akan diberi barakah, seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1472).
Berutang ini akan bertambah dosa seandainya dari awal tidak memikirkan bagaimana cara melunasinya. Itu pasti disebabkan “keinginan” yang terlampau tinggi untuk segera memiliki sesuatu. Ini akan terlihat jelas ketika seseorang tidak mampu membayar utangnya, dan itu adalah pertanda bahwa niatnya berutang bukan karena butuh dan dengan tekad kuat akan melunasinya, melainkan karena ingin dan tidak ada tekad untuk melunasinya dari sejak awal ia berutang.

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

Siapa yang mengambil harta orang lain dengan niat akan melunasinya, maka pasti Allah akan menjadikannya mampu melunasinya. Tetapi siapa yang mengambil harta orang lain niatnya untuk menghabiskannya, maka pasti Allah akan menghabiskannya (Shahih al-Bukhari bab akhdzi amwalin-nas yuridu ada`aha no. 2387).
Berutang akan bertambah dosanya lagi jika ketika seseorang sudah mempunyai harta untuk melunasinya, tetapi malah diundur melunasinya hanya karena ingin memenuhi “keinginan” yang lainnya terlebih dahulu.

مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ

Orang kaya yang sengaja tidak/memperlambat bayar utang (mathl) adalah zhalim. Dan jika salah seorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada seseorang yang mampu, maka terimalah (Shahih al-Bukhari bab idza ahala ‘ala maliy fa laisa lahu raddun no. 2288; Shahih Muslim bab tahrim mathlil-ghaniy wa shihhatil-hawalah no. 4085).
Hadits ini secara tersirat mengajarkan bahwa mathl (ketidakmampuan membayar atau melunasi tepat waktu) itu bisa diterima jika bukan dari pihak al-ghaniy (orang kaya). Jika dari pihak yang yang mampu (al-ghaniy/al-wajid) maka termasuk zhalim. Dalam hadits lain malah ditegaskan boleh dihukum:

لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

Orang mampu yang sengaja tidak/memperlambat bayar utang (layy) halal kehormatannya dan menyiksanya (Sunan Abi Dawud kitab al-aqdliyah bab fil-habs fid-dain wa ghairihi no. 3630. Imam al-Bukhari meriwayatkannya secara ta’liq dalam bab li shahibil-haq maqal. Al-Hafizh Ibn Hajar sependapat dengan penilaian shahih dari Ibn Hibban dalam Bulughul-Maram bab at-taflis wal-hajar no. 887).
Terkait aturan hawalah; pemindahan utang sebagaimana disinggung dalam hadits sebelumnya, bisa dibenarkan jika yang berutang tidak mampu (bukan al-ghaniy) dan yang diminta menanggung utang benar-benar mampu (mali`). Hukum menerima pemindahan utang itu sendiri, tidak wajib, melainkan sebatas sunat (Penegasan Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim hadits terkait).
Sementara itu, terkait hadits berikutnya ‘Abdullah ibnul-Mubarak (w. 181 H) menjelaskan dalam Sunan Abi Dawud, bahwa halal kehormatannya bagi yang memperlambat bayar utang itu adalah dimarahi, sedangkan halal disiksa maksudnya adalah dipenjara.
Berutang ini semakin jelas lagi dosanya jika ditempuh melalui jalan riba; berutang kepada rentenir, bank keliling, bank konvensional, multifinance, koperasi non-syari’ah, dan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang memang “kerja”-nya menyimpan dan meminjamkan uang dengan sistem bunga. Ancaman dari Nabi saw berikut harus selalu diingat dan jangan berani-berani “bermain api”.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw melaknat pemakan riba, orang yang memberinya, pencatatnya, dan kedua pihak saksinya. Beliau bersabda: “Mereka semua sama.” (Shahih Muslim kitab al-musaqah bab la’ni akilir-riba wa mu`kilahu no. 2995). Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button