Jangan Sembarangan Mencintai Idola

Cinta termasuk amal hati yang diberikan tuntunannya oleh syari’at. Mencintai seseorang akan menjadikan pencintanya membersamai yang dicintainya pada hari kiamat nanti. Mencintai orang-orang shalih, sudah demikian seharusnya. Tetapi mencintai orang-orang kafir atau fasiq, meski tidak mengikuti amal mereka, tetap saja akan dikategorikan sama dengan mereka dan akan turut membersamai mereka di akhirat kelak.
Mencintai orang-orang kafir, fasiq, dan durhaka nyaris tidak ditemukan di kalangan para shahabat Nabi saw karena mereka pada umumnya sudah kokoh aqidah wala dan bara-nya. Aqidah wala maksudnya kemestian mencintai hanya kepada wali-wali Allah yakni Rasul saw dan orang-orang beriman (QS. al-Ma`idah [5] : 55), sementara aqidah bara maksudnya tidak mencintai orang-orang yang menjadi musuh Allah (QS. al-Mumtahanah [60] : 1-4). Aqidah wala dan bara satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jika masih ada seorang muslim yang mencintai selain Rasul saw dan orang-orang beriman, berarti wala-nya tidak benar atau belum sempurna. Ia belum mampu mencintai apa yang Allah swt cintai dan membenci apa yang Allah swt benci. Nabi saw dalam hal ini sudah mengajarkan:
أَفْضَلُ الأَعْمَالِ الْحُبُّ فِى اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِى اللَّهِ
Seutama-utamanya amal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah (Sunan Abi Dawud bab mujanabah ahlil-ahwa wa bughdlihim no. 4601).
Maka dari itu yang jadi konteks pembicaraan para shahabat adalah perihal mencintai Rasul saw dan para shahabat sepenuh hati. Nyaris tidak ditemukan problem masyarakat yang mencintai orang-orang kafir dan durhaka. Shahabat Anas ibn Malik ra misalnya menceritakan:
بَيْنَمَا أَنَا وَرَسُولُ اللهِ ﷺ خَارِجَيْنِ مِنَ الْمَسْجِدِ فَلَقِينَا رَجُلاً عِنْدَ سُدَّةِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ فَكَأَنَّ الرَّجُلَ اسْتَكَانَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا كَبِيرَ صَلاَةٍ وَلاَ صِيَامٍ وَلاَ صَدَقَةٍ وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ. قَالَ: فَأَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
Ketika aku dan Rasulullah saw keluar dari masjid, kami bertemu seseorang dekat pintu masjid. Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan kiamat itu?” Rasulullah saw menjawab: “Apa yang sudah kamu persiapkan untuknya?” Anas berkata: Seakan-akan lelaki itu merunduk, kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempersiapkan untuknya dengan banyak shalat, shaum, atau shadaqah, tetapi aku cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau menjawab: “Maka kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (Shahih Muslim bab al-mar` ma’a man ahabba no. 6883 dari jalan Salim ibn Abil-Ja’d).
Dalam riwayat Tsabit al-Bunani, dari Hammad ibn Zaid, diriwayatkan bahwa setelah Anas ibn Malik ra mendengar sabda Nabi saw di atas, ia langsung berkata:
فَمَا فَرِحْنَا بَعْدَ الإِسْلاَمِ فَرَحًا أَشَدَّ مِنْ قَوْلِ النَّبِىِّ ﷺ فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ. قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ
Tidak pernah kami merasa bahagia sesudah kami masuk Islam, seperti bahagianya kami saat itu setelah mendengar sabda Nabi saw: “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” Anas berkata: Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap besar bisa bersama dengan mereka meski aku tidak beramal seperti amal mereka (Shahih Muslim bab al-mar` ma’a man ahabba no. 6881).
Dalam hadits Abu Musa dan Ibn Mas’ud ra pertanyaan dari seorang shahabat tersebut redaksinya:
قِيلَ لِلنَّبِيِّ ﷺ الرَّجُلُ يُحِبُّ الْقَوْمَ وَلَمَّا يَلْحَقْ بِهِمْ قَالَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Ditanyakan kepada Nabi saw: “Seseorang mencintai satu kaum tetapi ia tidak bisa menyamai mereka.” Nabi saw menjawab: “Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya.” (Hadits Abu Musa ra dalam Shahih al-Bukhari bab ‘alamah hubbil-‘Llah no. 6170; hadits Ibn Mas’ud ra dalam Shahih Muslim bab al-mar`u ma’a man ahabba no. 6888).
Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits-hadits di atas sebagai berikut:
فِيهِ فَضْل حُبّ اللَّه وَرَسُوله ﷺ وَالصَّالِحِينَ وَأَهْل الْخَيْر الْأَحْيَاء وَالْأَمْوَات. وَمِنْ فَضْل مَحَبَّة اللَّه وَرَسُوله اِمْتِثَال أَمْرهمَا وَاجْتِنَاب نَهْيهمَا وَالتَّأَدُّب بِالْآدَابِ الشَّرْعِيَّة. وَلَا يُشْتَرَط فِي الِانْتِفَاع بِمَحَبَّةِ الصَّالِحِينَ أَنْ يَعْمَل عَمَلهمْ ؛ إِذْ لَوْ عَمِلَهُ لَكَانَ مِنْهُمْ وَمِثْلهمْ، وَقَدْ صُرِّحَ فِي الْحَدِيث الَّذِي بَعْد هَذَا بِذَلِكَ فَقَالَ: أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمَّا يَلْحَق بِهِمْ. قَالَ أَهْل الْعَرَبِيَّة: (لَمَّا) نَفْي لِلْمَاضِي الْمُسْتَمِرّ فَيَدُلّ عَلَى نَفْيه فِي الْمَاضِي وَفِي الْحَال… ثُمَّ إِنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْنه مَعَهُمْ أَنْ تَكُون مَنْزِلَته وَجَزَاؤُهُ مِثْلهمْ مِنْ كُلّ وَجْه
Hadits-hadits di atas menunjukkan keutamaan mencintai Allah, Rasul-Nya saw, orang-orang shalih, dan orang-orang baik, baik yang masih hidup ataupun yang sudah wafat. Di antara wujud keutamaan cinta Allah dan Rasul-Nya adalah mengikuti perintah keduanya, menjauhi larangan keduanya, dan beradab dengan adab-adab syari’ah. Meski tidak disyaratkan dalam memperoleh manfaat cinta kepada orang-orang shalih itu untuk beramal seperti amal mereka, sebab jika ia beramal seperti mereka tentulah ia bagian dari mereka atau seperti mereka, padahal disebutkan jelas dalam hadits yang lain: “Seseorang mencintai satu kaum tetapi ia tidak bisa menyamai mereka.” Pakar bahasa Arab menjelaskan kata “lamma” bermakna meniadakan dari sejak dahulu dan seterusnya, maka dari itu bermakna “tidak” di waktu dahulu dan sekarang… Kemudian sungguh tidak mesti keadaan “bersama mereka” itu kedudukan dan balasannya (di akhirat) sama persis dari segala aspeknya (Syarah Shahih Muslim an-Nawawi kitab al-birr was-shilah bab al-mar`u ma’a man ahabba no. 4775).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan tidak jauh beda:
وَدَلَّ الْخَبَرُ عَلَى أَنَّ اتِّبَاعَ الرَّسُولِ وَإِنْ كَانَ الْأَصْلُ أَنَّهُ لَا يَحْصُلُ إِلَّا بِامْتِثَالِ جَمِيعِ مَا أُمِرَ بِهِ أَنَّهُ قَدْ يَحْصُلُ مِنْ طَرِيقِ التَّفَضُّلِ بِاعْتِقَادِ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَحْصُلِ اسْتِيفَاءُ الْعَمَلِ بِمُقْتَضَاهُ بَلْ مَحَبَّةُ مَنْ يَعْمَلُ ذَلِكَ كَافِيَةٌ فِي حُصُولِ أَصْلِ النَّجَاةِ وَالْكَوْنِ مَعَ الْعَامِلَيْنِ بِذَلِكَ لِأَنَّ مَحَبَّتَهُمْ إِنَّمَا هِيَ لِأَجْلِ طَاعَتِهِمْ وَالْمَحَبَّةُ مِنْ أَعْمَالِ الْقُلُوبِ فَأَثَابَ اللَّهُ مُحِبَّهُمْ عَلَى مُعْتَقَدِهِ إِذِ النِّيَّةُ هِيَ الْأَصْلُ وَالْعَمَلُ تَابِعٌ لَهَا وَلَيْسَ مِنْ لَازِمِ الْمَعِيَّةِ الِاسْتِوَاءُ فِي الدَّرَجَاتِ
“Hadits itu menunjukkan bahwa mengikuti Rasul itu meski yang pokoknya tidak terwujud melainkan dengan mengikuti seluruh perintahnya, tetapi bisa dihasilkan juga dengan cara lainnya yakni dengan meyakini keutamaannya meskipun tidak sampai beramal sempurna sebagaimana yang dituntut. Mencintai orang yang mengamalkannya saja pun sudah cukup untuk memperoleh keselamatan, demikian juga keinginan membersamai orang-orang yang mengamalkan kebaikan itu. Mencintai orang-orang shalih itu pasti disebabkan ketaatan mereka, dan cinta itu amal hati, maka Allah akan membalas orang yang mencintai mereka sesuai keyakinannya. Niat itu yang pokok dan amal akan mengikutinya. Meski demikian tidak otomatis “kebersamaan” itu akan menjadikannya setara dalam hal derajat di akhirat (Fathul-Bari bab ‘alamah hubbil-‘Llah ‘azza wa jalla).
Mengingat hadits-hadits di atas memakai lafazh yang umum, maka sebagaimana kaidah yang baku dalam keilmuan Islam: al-‘ibrah bi ‘umumil-lafzhi la bi khushushis-sabab; mengambil kesimpulan itu dari umumnya lafazh, bukan dari khususnya sebab. Meski sebabnya pertanyaan tentang orang-orang yang mencintai Nabi saw dan para shahabat tetapi belum mampu menyamai amal mereka dan kemudian Nabi saw pastikan bahwa para pecinta itu akan membersamai Nabi saw dan para shahabat, tetapi lafazh yang Nabi saw sampaikan umum sehingga maknanya berlaku umum juga. Siapa saja yang mencintai orang lain maka ia akan membersamai orang-orang yang dicintainya di akhirat kelak.
Jika konteks hadits di atas mencintai Nabi saw dan shahabat, maka hal yang sama berlaku juga dalam hal mencintai orang-orang kafir atau orang-orang fasiq. Mayoritas mereka adalah tokoh-tokoh yang sering muncul di media; seniman/artis, penyanyi, pemain olahraga, tokoh politik, selebgram, influencer, dan semacamnya. Jika terbukti mereka yang dicintai itu bukan orang-orang yang baik maka para pencintanya akan bersama dengan orang-orang yang tidak baik tersebut di akhirat kelak. Meski amalnya tidak persis sama dengan orang-orang kafir tersebut, tetapi karena ada cinta kepada mereka berarti akan ada kebersamaan dengan mereka di akhirat. Meskipun kedudukan di nerakanya tidak persis sama karena bergantung pada rincian amal-amalnya, tetap saja membersamai mereka di neraka bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele. Jadi jangan sembarangan mencintai idola. Allah swt sudah tegas menyatakan:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ ٥٥
Sesungguhnya wali (yang berhak dicintai oleh) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) (QS. al-Ma`idah [5] : 55).