Bedah Makna Hadits Tasyabbuh
Memasuki momentum Natal dan Tahun Baru masih saja banyak umat Islam yang meremehkan tuntunan menjauhi tasyabbuh (menyerupai agama lain). Padahal haditsnya jelas disabdakan oleh Nabi ﷺ meski berstatus hasan. Jika dikuatkan dengan ayat-ayat al-Qur`an statusnya menjadi syari’at yang kuat. Penjelasan maknanya dari para ulama pun cukup detail sehingga cukup jelas. Hanya tersisa dalih saja untuk berpura-pura tidak memahaminya.
Hadits tuntunan menjauhi tasyabbuh kepada penganut agama lain dan semua orang-orang yang jelek agamanya merupakan hadits masyhur yang disabdakan Nabi saw dalam sebuah kalimat berita bermakna tuntutan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka (Sunan Abi Dawud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah no. 4033).
Dalam riwayat Ahmad, redaksinya lebih panjang:
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Aku diutus menjelang kiamat dengan pedang sehingga Allah diibadahi dengan Esa tiada sekutu bagi-Nya. Dijadikan rizkiku di bawah bayang-bayang tombakku. Dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyalahi perintahku. Dan siapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka (Musnad Ahmad bab musnad ‘Abdillah ibn ‘Umar no. 5114-5115).
Catatan: Al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Albani menilai hadits ini hasan dalam Fathul-Bari bab ma qila fir-rimah dan Irwa`ul-Ghalil no. 1269. Meski kedua ulama hadits tersebut mempersoalkan dua orang rawinya; Abu Munib dan ‘Abdurrahman ibn Tsabit ibn Tsauban karena tidak dikenal dan diperselisihkan ketsiqahannya, tetapi ada beberapa sanad lainnya yang menopangnya sehingga bisa saling menguatkan dan menaikkan statusnya menjadi hasan.
Kesimpulan berbeda dikemukakan Syu’aib al-Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad dan Sunan Abi Dawud. Menurutnya meski secara sanad hadits ini bisa jadi hasan akan tetapi makna hadits ini munkar karena bertentangan dengan ayat dan hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, menebarkan kasih sayang dan petunjuk (rahmah muhdah).
Akan tetapi al-Hafizh Ibn Hajar sendiri menjelaskan bahwa hadits di atas tidak bertentangan dengan ayat dan hadits yang menyatakan kehadiran Nabi saw itu sebagai rahmat, sebab pedang yang dimaksud adalah syari’at perang yang jelas adab dan syaratnya. Rizki Nabi saw ada dalam peperangan maksudnya adalah ghanimah. Tombak itu sendiri pertanda panji perang yang menjadi komando utama dalam setiap peperangan. Kehinaan dan kerendahan itu adalah jizyah (upeti) yang wajib dibayarkan oleh orang kafir yang memilih menyerah sebagaimana QS. at-Taubah [9] : 29 (Fathul-Bari bab ma qila fir-rimah).
Secara khusus makna man tasyabbaha bi qaum fa huwa minhum memang tidak tertuju dalam konteks kejelekan semata, melainkan juga dalam konteks kebaikan, sebagaimana dijelaskan Imam al-Qari (w. 1014 H dikutip dari kitabnya Mirqatul-Mafatih):
مَنْ شَبَّهَ نَفْسه بِالْكُفَّارِ مَثَلًا مِنْ اللِّبَاس وَغَيْره، أَوْ بِالْفُسَّاقِ أَوْ الْفُجَّار أَوْ بِأَهْلِ التَّصَوُّف وَالصُّلَحَاء الْأَبْرَار(فَهُوَ مِنْهُمْ) : أَيْ فِي الْإِثْم وَالْخَيْر قَالَهُ الْقَارِي
Siapa yang menyerupai orang kafir dalam hal pakaian dan lainnya, atau dengan orang fasiq, durhaka, ahli tasawuf, orang-orang shalih, dan orang baik, (maka ia termasuk mereka): Yakni sama dengan mereka dalam hal dosa atau kebaikannya. Demikian dikatakan oleh al-Qari (‘Aunul-Ma’bud).
Ijtihad Imam Abu Dawud yang memasukkan hadits di atas dalam bab pakaian menunjukkan bahwa dalam hal penampilan pun harus diperhatikan jangan sampai tasyabbuh dengan orang-orang kafir atau fasiq, semampu mungkin tasyabbuh-nya harus dengan orang-orang shalih dan mulia.
Imam Ibn Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidla`us-Shirathil-Mustaqim menjelaskan bahwa hadits di atas sesuai dengan firman Allah swt:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ
Siapa di antara kamu menjadikan mereka (Yahudi dan Kristen) sebagai wali (seseorang yang dicintai dan diikuti), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. (QS. al-Ma`idah [5] : 51).
Demikian juga dengan atsar shahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr ra:
مَنْ بَنَى بِأَرْضِ الْمُشْرِكِينَ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوت حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْم الْقِيَامَة
Siapa yang membangun rumah di negeri orang-orang musyrik, turut terlibat dalam perayaan Nairuz dan Mihrajan mereka (dua perayaan tahunan kaum musyrik), dan bertasyabbuh dengan mereka sampai ia meninggal, maka kelak akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat (‘Aunul-Ma’bud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah).
Akan tetapi Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menjelaskan rinciannya sebagai berikut:
فَقَدْ يُحْمَل هَذَا عَلَى التَّشَبُّه الْمُطْلَق فَإِنَّهُ يُوجِب الْكُفْر وَيَقْتَضِي تَحْرِيم أَبْعَاض ذَلِكَ، وَقَدْ يُحْمَل عَلَى أَنَّهُ مِنْهُمْ فِي الْقَدْر الْمُشْتَرَك الَّذِي يُشَابِههُمْ فِيهِ فَإِنْ كَانَ كُفْرًا أَوْ مَعْصِيَة أَوْ شِعَارًا لَهَا كَانَ حُكْمه كَذَلِكَ
Bisa dipahami pada tasyabbuh secara muthlaq (menyeluruh) maka itu memastikan kafir dan haramnya sebagian hal itu, dan bisa juga dipahami bahwa menjadi bagian dari mereka itu dalam kadar tertentu sesuai perserupaannya, bisa kufur, maksiat, atau sebatas simbol saja, maka hukumnya pun demikian juga (sesuai dengan kadar tasyabbuhnya) (‘Aunul-Ma’bud).
Maksudnya, Imam Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa maksud “bagian dari mereka” itu tidak otomatis kafir mutlak melainkan tergantung kadar tasyabbuh-nya. Bisa sebatas simbol saja, maksiat, atau bisa juga menjadi kafir seutuhnya.
Imam al-Munawi (w. 1031) memberikan penjelasan tambahan:
قَدْ يَقَعُ التَّشَبُّهُ فِي أُمُوْرٍ قَلْبِيَّةٍ مِنَ الْاِعْتِقَادَاتِ وَإِرَادَاتٍ وَأُمُوْرٍ خَارِجِيَّةٍ مِنْ أَقْوَالٍ وَأَفْعَالٍ. قَدْ تَكُوْنُ عِبَادَاتٍ وَقَدْ تَكُوْنُ عَادَاتٍ فِي نَحْوِ طَعَامٍ وَلِبَاسٍ وَمَسْكَنٍ وَنِكَاحٍ وَاجْتِمَاعٍ وَافْتِرَاقٍ وَسَفَرٍ وَإِقَامَةٍ وَرُكُوْبٍ وَغَيْرِهَا.
Tasyabbuh itu bisa dalam hal yang terkait hati seperti aqidah, dan bisa juga dalam hal yang fisik seperti perkataan dan perbuatan. Bisa dalam hal ibadah dan bisa juga dalam hal adat seperti makanan, pakaian, rumah, pernikahan, perkumpulan, perpisahan, safar, tinggal menetap, kendaraan, dan sebagainya.
وَبَيْنَ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ ارْتِبَاطٌ وَمُنَاسَبَةٌ وَقَدْ بَعَثَ اللهُ الْمُصْطَفَى ﷺ بِالْحِكْمَةِ الَّتِي هِيَ سُنَّةٌ وَهِيَ الشِّرْعَةُ وَالْمِنْهَاجُ الَّذِي شَرَعَهُ لَهُ. فَكَانَ مِمَّا شَرَعَهُ لَهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ مَا يُبَايِنُ سَبِيْلَ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَالضَّالِّيْنَ فَأَمَرَ بِمُخَالَفَتِهِمْ فِي الْهَدْىِ الظَّاهِرِ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ وَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ فِيْهِ مَفْسَدَةٌ لِأُمُوْرٍ مِنْهَا أَنَّ الْمُشَارَكَةَ في الْهَدْىِ فِي الظَّاهِرِ تُؤْثِرُ تَنَاسُبًا وَتَشَاكُلًا بَيْنَ الْمُتَشَابِهَيْنِ تَعُوْدُ إِلَى مُوَافَقَةِ مَا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ.
Antara yang lahir dan batin itu ada keterkaitan dan kesesuaian. Allah telah mengutus sang terpilih shallal-‘Llahu ‘alaihi wa sallam dengan hikmah, yakni sunnah. Itu adalah syir’ah dan minhaj (jalan kehidupan) yang Allah syari’atkan baginya. Di antara syari’at tersebut adalah perkataan dan perbuatan yang berbeda dengan jalannya orang-orang yang dimurkai dan sesat, sehingga Allah menyuruh untuk berbeda dengan mereka dalam penampilan lahir di hadits ini meski tidak tampak jelas mafsadatnya, karena beberapa hal di antaranya persamaan dalam hal penampilan lahir akan menanamkan bekas yang berkaitan dan keseragaman di antara dua pihak yang serupa dan akan mendorong pada persesuaian akhlaq dan amal.
وَهَذَا أَمْرٌ مَحْسُوْسٌ فَإِنَّ لَابِسَ ثِيَابِ الْعُلَمَاءِ مَثَلًا يَجِدُ مِنْ نَفْسِهِ نَوْعَ انْضِمَامٍ إِلَيْهِمْ وَلَابِسَ ثِيَابِ الْجُنْدِ الْمُقَاتَلَةِ مَثَلًا يَجِدُ مِنْ نَفْسِهِ نَوْعُ تَخَلُّقٍ بِأَخْلَاقِهِمْ وَتَصِيْرُ طَبِيْعَتُهُ مُنْقَادَةً لِذَالِكَ إِلَّا أَنْ يَمْنَعَهُ مَانِعٌ وَمِنْهَا أَنَّ الْمُخَالَفَةَ فِي الْهَدْيِ الظَّاهِرِ تُوْجِبُ مُبَايَنَةً وَمُفَارَقَةً تُوْجِبُ الْاِنْقِطَاعَ عَنْ مُوْجِبَاتِ الْغَضَبِ وَأَسْبَابِ الضَّلَالِ وَالْاِنْعِطَافِ عَلَى أَهْلِ الْهُدَى وَالرِّضْوَانِ
Ini adalah sesuatu yang kasat mata. Seseorang yang memakai pakaian keulamaan contohnya, ia akan merasakan dalam hatinya semacam dorongan untuk bergabung dengan para ulama. Seseorang yang memakai pakaian pasukan perang contoh lainnya, ia akan merasakan dalam hatinya dorongan untuk berperangai seperti perangai pasukan perang, tabi’atnya jadi terdorong untuk demikian kecuali jika ada hal lain. Termasuk juga sengaja berbeda dalam hal penampilan zhahir (dengan orang-orang yang dimurkai dan sesat) pasti akan mendorong untuk berbeda, berpisah, dan berlepas diri dari hal-hal yang akan mendatangkan murka dan kesesatan serta akan mendatangkan simpati kepada orang-orang yang lekat dengan hidayah dan keridlaan (Faidlul-Qadir Syarah al-Jami’us-Shaghir no. 8593).
Penjelasan dari para ulama di atas meniscayakan kewaspadaan dalam hal tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan fasiq atau mereka yang al-maghdlub ‘alaihim dan dlallin, dalam segala hal yang akan menjadikan identik dengan mereka, karena akan mendorong hati menjadi simpati atau bahkan malah menjadi bagian dari mereka seutuhnya dengan meninggalkan sunnah, syir’ah, dan minhaj yang dibawa Nabi saw.
Penjelasan di atas juga membatasi tasyabbuh dalam pergeseran nilai aqidah, ibadah, dan akhlaq. Jika terbebas dari itu semua berarti tidak termasuk tasyabbuh yang tercela. Sebagai contoh pakaian muslim yang umumnya mirip dengan pakaian adat Cina, sudah tidak termasuk tasyabbuh yang tercela karena sudah tidak ada nilai-nilai Cina yang syirik di dalamnya. Atau pakaian jas berdasi yang semula berasal dari bangsa Barat juga tidak termasuk tasyabbuh yang tercela karena tidak ada nilai-nilai kafir Barat di dalamnya. Tentunya sepanjang sesuai tuntunan syari’at berpakaian.
Yang dikategorikan tasyabbuh yang haram adalah memakai pakaian sinterklas di momentum Natal karena jelas ada nilai-nilai aqidah Kristen di dalamnya. Atau pakaian perayaan Imlek atau Cap Go Meh karena ada nilai-nilai syirik Kong Hu Cu di dalamnya. Termasuk berpenampilan seperti artis-artis Barat dan Korea yang lekat dengan nilai-nilai kefasiqan karena akan melahirkan simpati kepada kefasiqan mereka.
Apalagi jika sampai ikut merayakan Natal bersama atau Tahun Baru yang notabene merupakan perayaan orang-orang kafir dan rentan dengan nilai-nilai mubadzir yang diharamkan syari’at. Tasyabbuh dalam hal tersebut masuk kategori haram.
Penjelasan Imam al-Munawi di atas yang menegaskan adanya model tasyabbuh dalam hal amal hati juga mesti diwaspadai. Dalam konteks zaman ini tasyabbuh model ini wujudnya dalam bentuk ideologi dan pemikiran. Sekularisme dan segenap turunannya seperti humanisme, liberalisme, pluralisme, dan feminisme adalah ideologi-ideologi yang dilahirkan dari rahim Barat yang kafir. Berusaha sekuat tenaga untuk mengikutinya dan memaksakan agar Islam menyesuaikan diri dengan ideologi-ideologi tersebut masuk dalam kategori tasyabbuh yang haram.
Dunia pendidikan, kehidupan sosial bermasyarakat, perekonomian dan perpolitikan yang tidak menghendaki syari’at Islam masuk di dalamnya, melainkan cukup berada di ranah privat saja seperti keluarga dan masjid, adalah sebentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir dalam dunia keseharian mereka. Model tasyabbuh yang ini sungguh sudah sangat kasat mata dan merata di masyarakat umum hari ini. Maka dari itu kehidupan umat pun tidak ubahnya kehidupan orang-orang kafir yang tidak menghendaki hadirnya sunnah, syir’ah, dan minhaj Islam dalam dunia pendidikan, kehidupan sosial bermasyarakat, perekonomian dan perpolitikan. Benar saja sabda Nabi saw: “Siapa yang menyerupai satu kaum—kafir contohnya—maka ia menjadi bagian dari mereka—yakni orang-orang kafir.” Tubuh dan ikrar lisan mereka mungkin masih bersyahadat, tetapi kehidupan keseharian mereka tak ubahnya seperti orang-orang kafir. Tidak sampai kafir mutlak memang, tetapi jika terus dibiarkan seperti itu tidak mustahil sedikit demi sedikit bergeser terus menjadi kafir mutlak.
Wal-‘Llahul-Musta’an.