Meraih Cinta Ilahi

Mencintai Pengikut Nabi ﷺ

Mencintai Allah ﷻ dan Nabi ﷺ harus dengan mengikuti Nabi ﷺ dalam skala minimal bisa ditempuh juga dengan mencintai para pengikut Nabi ﷺ yang setia ittiba’ (mengikuti) pada sunnah-sunnah Nabi ﷺ. Pastinya memang harus demikian; berawal dengan mencintai orang-orang shalih yang mengikuti Nabi ﷺ, lalu meneladani mereka, dan kemudian mengikuti sunnah Nabi ﷺ secara bertahap hingga menuju sempurna.

Ada pembahasan tentang “tanda cinta Allah” dalam kitab Shahih al-Bukhari tetapi dengan penyajian hadits yang tampaknya tidak lazim. Tema pembahasan ini dituliskan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab al-adab yang membahas seputar adab-adab mulia. Imam al-Bukhari menulis:

بَابُ عَلَامَةِ حُبِّ اللَّهِ ﷻ لِقَوْلِهِ {إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ}

Bab: Tanda Cinta Allah azza wa jalla. Berdasarkan Firman-Nya: {Jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian}”.

Ayat al-Qur`an yang dikutip Imam al-Bukhari di atas merupakan potongan dari surat Ali ‘Imran yang lengkapnya sebagai berikut:

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ  ٣١

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu“. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Ali ‘Imran [3] : 31).

Maksud judul tarjamah di atas bisa “cinta hamba kepada Allah” atau “cinta Allah kepada hamba”. Kedua makna itu terkandung dalam ayat QS. Ali ‘Imran [3] : 31 yang dijadikan dalil oleh Imam al-Bukhari, di mana kuncinya terletak pada ittiba’ (mengikuti) Rasul saw. Asbabun-nuzul ayat di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, ada banyak riwayat yang menjelaskannya dan sekaligus menunjukkan keluasan cakupan maknanya, yakni pernyataan Yahudi bahwa mereka anak dan kekasih Allah (QS. al-Ma`idah [5] : 18), pernyataan Nashrani Najran bahwa mereka menyembah Yesus karena cinta Allah, dan pernyataan kaum musyrik Quraisy bahwa mereka menyembah berhala karena cinta kepada Allah dan agar lebih dekat kepada-Nya (Fathul-Bari bab ‘alamah hubbil-‘Llah awj). Berdasarkan ayat di atas maka klaim cinta mereka kepada Allah swt semuanya batal sepanjang mereka tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. Mereka tetap dikategorikan kafir sebagaimana ditegaskan pada ayat kelanjutannya. Ittiba’ dan taat kepada Nabi saw menjadi syarat sah klaim cinta manusia kepada Allah swt.

قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡكَٰفِرِينَ  ٣٢

Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir“. (QS. Ali ‘Imran [3] : 32)

Hal yang memancing pemikiran dari para pembaca hadits adalah hadits-hadits yang kemudian disajikan oleh Imam al-Bukhari dalam tema ini yang kesemuanya tidak ada yang secara jelas menyinggung tentang cinta kepada Allah ataupun tentang ittiba’ kepada Nabi Muhammad saw. Hadits yang dituliskan Imam al-Bukhari bersumber dari tiga orang shahabat yang semuanya bertema tentang “seseorang akan membersamai orang yang ia cintai”.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ  جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud ra: Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw, ia bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut anda orang yang mencintai satu kaum tetapi ia tidak bisa menyamai mereka.” Rasulullah saw bersabda:“Orang itu akan bersama orang yang ia cintai.” (Shahih al-Bukhari bab ‘alamah hubbil-‘Llah awj no. 6169).

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قِيلَ لِلنَّبِيِّ ﷺ الرَّجُلُ يُحِبُّ الْقَوْمَ وَلَمَّا يَلْحَقْ بِهِمْ قَالَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

Dari Abu Musa ra, ia berkata: Nabi saw ditanya: “Ada seseorang yang mencintai satu kaum tetapi ia tidak bisa menyamai mereka.” Rasulullah saw bersabda:“Orang itu akan bersama orang yang ia cintai.” (Shahih al-Bukhari bab ‘alamah hubbil-‘Llah awj no. 6170).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ مَتَى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلَاةٍ وَلَا صَوْمٍ وَلَا صَدَقَةٍ وَلَكِنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Dari Anas ibn Malik ra, ada seseorang bertanya kepada Nabi saw: “Kapan kiamat itu wahai Rasulullah?” Beliau bertanya: “Apa yang sudah kamu persiapkan untuknya?” Ia menjawab: “Aku tidak mempersiapkan untuknya dengan banyak shalat, shaum, atau shadaqah, tetapi aku cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau menjawab: “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (Shahih al-Bukhari bab ‘alamah hubbil-‘Llah awj no. 6171).

Dalam riwayat Tsabit al-Bunani, dari Hammad ibn Zaid, diriwayatkan bahwa setelah Anas ibn Malik ra mendengar sabda Nabi saw di atas, ia langsung berkata:

فَمَا فَرِحْنَا بَعْدَ الإِسْلاَمِ فَرَحًا أَشَدَّ مِنْ قَوْلِ النَّبِىِّ ﷺ فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ. قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ

Tidak pernah kami merasa bahagia sesudah kami masuk Islam, seperti bahagianya kami saat itu setelah mendengar sabda Nabi saw: “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” Anas berkata: Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap besar bisa bersama dengan mereka meski aku tidak beramal seperti amal mereka (Shahih Muslim bab al-mar` ma’a man ahabba no. 6881).

Letak korelasi hadits-hadits di atas dengan tema cinta kepada Allah dan keharusan ittiba’ kepada Nabi saw adalah isyarat bahwa cinta dan ittiba’ itu minimalnya dengan mencintai orang-orang yang mencintai Allah swt dan mengikuti sunnah Nabi-Nya saw meskipun diri sendiri belum mampu maksimal mewujudkan ittiba’ kepada Nabi saw. Dalam hal ini al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:

وَدَلَّ الْخَبَر عَلَى أَنَّ اِتِّبَاع الرَّسُول وَإِنْ كَانَ الْأَصْل أَنَّهُ لَا يَحْصُل إِلَّا بِامْتِثَالِ جَمِيع مَا أُمِرَ بِهِ أَنَّهُ قَدْ يَحْصُل مِنْ طَرِيق التَّفَضُّل بِاعْتِقَادِ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَحْصُل اِسْتِيفَاء الْعَمَل بِمُقْتَضَاهُ ، بَلْ مَحَبَّة مَنْ يَعْمَل ذَلِكَ كَافِيَة فِي حُصُول أَصْل النَّجَاة ، وَالْكَوْن مَعَ الْعَامِلَيْنِ بِذَلِكَ لِأَنَّ مَحَبَّتهمْ إِنَّمَا هِيَ لِأَجْلِ طَاعَتهمْ

Hadits di atas menunjukkan bahwa ittiba’ Rasul itu meskipun yang pokoknya tidak akan diperoleh kecuali dengan mengikuti semua yang diperintahkan, tetapi terkadang hal itu bisa diperoleh dengan cara mencari keutamaan melalui keyakinan akan hal itu, meskipun tidak sampai beramal sempurna sebagaimana yang dituntut. Bahkan mencintai orang yang mengamalkannya saja pun sudah cukup untuk memperoleh keselamatan dan berstatus sama dengan orang-orang yang mengamalkannya, karena mencintai mereka itu ada karena ketaatan mereka (Fathul-Bari bab ‘alamah hubbil-‘Llah awj).

Tegasnya, mencintai orang-orang shalih itu pastinya karena ada unsur ittiba’ kepada Rasul-Nya. Jadi meskipun diri sendiri belum mampu mewujudkan ittiba’ secara maksimal, tetapi dengan mencintai orang-orang yang ittiba’ kepada Rasul saw, itu sudah bisa menjadikan seseorang setara dengan orang-orang shalih tersebut. Sekelas shahabat Anas ibn Malik ra saja merasa belum mampu maksimal ittiba’ sebagaimana halnya Abu Bakar dan ‘Umar ra, maka apalagi orang lain yang bukan shahabat. Akan tetapi dengan sabda Nabi saw di atas setiap muslim pantas bergembira sebagaimana halnya Anas ibn Malik ra karena dengan mencintai orang-orang shalih bisa bersama mereka kelak di akhirat.

Meski demikian, al-Hafizh menjelaskan:

وَلَيْسَ مِنْ لَازِم الْمَعِيَّة الِاسْتِوَاء فِي الدَّرَجَات

Tentunya maksud bersama itu tidak otomatis sama persis derajatnya (silahkan rujuk QS. al-An’am [6] : 132 dan al-Ahqaf [46] : 19).

Apa yang Nabi saw jelaskan dalam sabda-sabda di atas memang demikian nyatanya. Amal ittiba’ kepada Nabi saw harus berawal dari niat yang kuat dan keinginan yang bulat. Hal itu bisa dibangkitkan dengan mencintai orang-orang shalih yang ittiba’ kepada Nabi saw. Modalnya tentu adalah cinta Allah dan Rasul-Nya. Kemudian ditingkatkan dengan mencintai orang-orang yang ittiba’ kepada Nabi saw. Secara perlahan hal tersebut akan membangkitkan niat dan semangat untuk semakin maksimal lagi dalam ittiba’ kepada Nabi saw.

Maka dari itu tidak tepat jika ajaran Nabi saw ini didudukkan secara terpisah dengan ajaran-ajaran Nabi saw lainnya. Apalagi sampai menilai yang penting mencintai Nabi saw dan orang-orang shalih saja, itu pun sudah cukup untuk membawa diri bersama-sama dengan Nabi saw dan orang-orang shalih di akhirat. Tidak perlu dengan memaksakan diri mencari ilmunya, mengajarkannya, sampai mengamalkannya. Yang tepat mencintai Nabi saw wajib ditanamkan dalam hati; mencari ilmu juga tidak ada sunat dan mubahnya melainkan akan selalu wajib di mana dan kapan pun; berikutnya adalah mengajarkan dan menyebarkannya sekemampuan maksimal; dilanjutkan dengan beramal shalih sebagaimana sudah Nabi saw ajarkan dan teladankan; semuanya itu harus dijalankan secara bersamaan dan bertahap sehingga mencapai derajat yang paling maksimal.

Ketika Anas ibn Malik ra mengaku jujur bahwa dirinya tidak akan selevel dengan Abu Bakar dan ‘Umar ra, apalagi Nabi saw, posisi Anas ibn Malik ra tidak mencukupkan diri pada memupuk rasa cinta saja, tetapi beliau juga mencari ilmu dan menyebarkannya, berjihad, dan beramal shalih lainnya yang menjadikan beliau sebagai shahabat agung dan berkomitmen tinggi pada ittiba’ kepada Nabi saw. 

Merujuk pada bentuk lafazhnya yang umum, hadits di atas juga menjadi ancaman bagi siapapun yang masih mencintai orang-orang yang tidak shalih. Apa alasan syar’inya sehingga masih mencintai mereka yang tidak shalih? Bukankah mereka tidak berkomitmen ittiba’ kepada Nabi saw? Jika tidak kunjung dihilangkan maka berarti seseorang akan membersamai mereka yang dicintai dari kalangan orang-orang yang tidak shalih itu di akhirat kelak. Tentunya bukan di surga Allah swt.

Na’udzu bil-‘Llah min dzalik wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button