Kontemporer

Tragedi Masyarakat Pemarah

Apapun alasannya, meluapkan amarah karena merasa ada hak yang dirampas orang lain, tetap sebuah kesalahan. Terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang merasa benar. Setiap orang yang merasa dirinya benar, kalau memang merasa ada dalam kebenaran, maka tetap haram meluapkan amarah. Sebab marah tidak pernah menyelesaikan masalah. Marah hanya akan melahirkan sifat pendemdam yang diwariskan secara turun temurun dan akan mudah meletup sewaktu-waktu menjadi sebuah tragedi kemanusiaan.


Seorang shahabat bernama Jariyah ibn Qudamah as-Sa’di, pernah agak lama memahami bahwa marah tidak ada baiknya sama sekali ketika Nabi saw berulang-ulang menasihatinya: “Jangan marah!” Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, saat itu Jariyah datang kepada Nabi saw dan berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي قَوْلاً يَنْفَعُنِي وَأُقَلِّلْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعِيْهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ لاَ تَغْضَبْ فَأَعَادَ عَلَيْهِ حَتَّى أَعَادَ عَلَيْهِ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ لاَ تَغْضَبْ.

“Wahai Rasulullah, ucapkanlah untukku satu ucapan yang bermanfa’at, dan tolong yang ringkas agar aku bisa mengingatnya.” Rasulullah saw menjawab: “Jangan marah!” Jariyah meminta nasihat yang lain, tapi beliau mengulangi nasihat tersebut sampai beberapa kali. Dalam semuanya itu beliau mengucapkan: “Jangan marah!” (Musnad Ahmad bab hadits Jariyah ibn Qudamah as-Sa’di no. 20372, 23186, 23211, 23219)
Masih dalam riwayat Ahmad (no. 23219), diceritakan bahwa ketika Rasul saw tetap dalam nasihatnya: “Jangan marah!” yang sampai diulang-ulang itu, maka orang tersebut merenungkannya:

فَفَكَّرْتُ حِيْنَ قَالَ النَّبِيُّ مَا قَالَ فَإِذَا الْغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرُّ كُلُّهُ

Lalu aku pun merenungkan apa yang disabdakan Nabi saw tersebut, sehingga aku tahu bahwa memang dalam marah itu berkumpul semua kejelekan.
Kejelekan yang dimaksud, menurut Imam Ibn Hajar, setidaknya dalam dua hal: Pertama, secara zhahir akan menyebabkan fisik tidak stabil, tekanan darah tidak normal. Kedua, secara batin, hati, lisan dan perbuatan tidak akan terkontrol. Penyesalan akan muncul ketika marah reda akibat hati, lisan dan perbuatan yang tidak terkontrol.
Para ulama sepakat menjelaskan bahwa larangan Nabi saw “jangan marah” di atas bukan berarti haram marah dan otomatis berdosa ketika seseorang marah dalam hatinya. Sebab marah adalah sifat manusiawi yang sudah diciptakan Allah swt dari sejak zaman azali dan oleh karenanya tidak mungkin dihindari. Menurut Imam Ibn Hibban, maksudnya adalah jangan melakukan perbuatan yang dilarang sesudah kamu marah, seperti menghina orang lain, mencacinya, menganiayanya secara fisik dan semacamnya. Menurut Imam al-Khaththabi, yang dimaksud “jangan marah” dalam sabda Nabi saw di atas adalah jauhilah sebab-sebab kemarahan dan jangan kamu terperangkap ke dalamnya. Ulama lainnya menjelaskan, “jangan marah” yang dimaksudkan Nabi saw itu adalah berlatihlah kamu untuk mengendalikan marahmu.
Ada juga pendapat ulama yang menyatakan, “jangan marah” itu maksudnya jangan memiliki sifat kibr (tinggi hati/sombong). Sebab, marah itu muncul dari sifat sombong yang ada dalam diri; enggan orang lain melebihi dirinya dan cenderung menghinakan mereka. Apa saja yang muncul dari orang lain yang mengusik hatinya, maka kesombongan itu akan mendorongnya menjadi marah. Berbeda dengan sifat tawadlu’ (rendah hati) yang mendorong seseorang bersikap menerima diri apa adanya. Ketika ada orang lain yang melebihi dirinya atau memberikan nasihat kepadanya ia akan menerimanya dengan sepenuh hati dan tidak marah. Jadi, menurut pendapat ini yang dimaksud “jangan marah” itu adalah jangan sombong (kibr).
Ulama lainnya menjelaskan, maksud dari “jangan marah” itu adalah jangan melakukan apa yang diperintahkan marah itu. Kalau marah mendorong seseorang untuk menghina, mencaci, memusuhi, dan semacamnya, maka yang dimaksud larangan itu adalah jangan melakukan yang dirinci tersebut (Fathul-Bari bab al-hadzar minal-ghadlb).
Artinya, yang dimaksud “jangan marah” itu adalah kendalikan marah, jangan sampai berbuat yang dilarang ketika marah datang, dan jangan mudah marah. Oleh karena itu tidak heran kalau Imam al-Bukhari memberikan tarjamah untuk hadits di atas bab al-hadzr minal-ghadlb; waspada terhadap marah, dan Imam at-Tirmidzi memberikan tarjamah bab katsratul-ghadlab; sering marah. Berarti dua imam hadits tersebut tidak menyinggung “marah”-nya itu sendiri, tetapi hal lain yang terkait marah, yakni jangan sampai sering marah dan jangan sampai meluapkan marah.
Al-Qur`an sendiri mengajarkan bahwa marah itu harus ditahan, bukan diluapkan. Bahkan sebaiknya justru mengampuni orang yang membuat marah. Inilah sebenarnya yang membahagiakan dan menenangkan. Allah swt yang menciptakan dan mendesain tubuh dan jiwa manusia tentu lebih tahu apa yang terbaik dan lebih sesuai untuk manusia. Jika seseorang marah dan tersinggung, lalu ia ingin urusannya selesai dan hilang marahnya bahkan berujung bahagia, maka ia harus menahan marah dan mengampuni orang yang membuatnya marah. Maka ketika Allah swt menyinggung orang yang akan mendapatkan kebahagiaan abadi bukan kesenangan duniawi yang menipu, Allah swt menjelaskan:

وَٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُواْ هُمۡ يَغۡفِرُونَ

Dan orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (QS. As-Syura [42] : 37)
Demikian halnya ketika Allah swt menyebutkan karakter orang yang akan memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi, Allah swt berfirman:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali ‘Imran [3] : 134).
Dikecualikan dalam hal ini jika Allah dan syari’atnya yang dilanggar. Maka Nabi saw selalu bertindak memberi hukuman jika terbukti benar bahwa Allah dan syari’atnya sudah dilecehkan. Selama itu terkait hak pribadi yang dihina orang lain atau dizhalimi, apalagi jika belum terbukti jelas, Nabi saw selalu bisa memaafkan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Rasulullah saw tidak pernah diberi dua pilihan melainkan akan memilih yang paling mudah, selama itu tidak dosa. Jika itu dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Dan tidak pernah Rasulullah saw memberi hukuman karena dirinya pribadi (yang tersinggung/dizhalimi) melainkan karena hal yang diharamkan Allah yang dilanggar. Maka beliau pun akan memberikan hukuman karena Allah.” (Shahih al-Bukhari bab shifatin-Nabi saw no. 3560)

Related Articles

Back to top button