Ibadah

Sunnah Yang Terabaikan

Di beberapa masjid jami’, masih ada yang sengaja tidak memberikan waktu pada jama’ahnya untuk melaksanakan shalat qabla ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya. Padahal shalat-shalat tersebut termasuk sunnah yang diajarkan Nabi saw dalam hadits-haditsnya. Kalaupun statusnya tidak muakkadah (ditekankan), bukan berarti harus diabaikan setiap harinya.

Nabi saw sendiri jelas memerintahkan dalam salah satu sabdanya:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ لِمَنْ شَاءَ

Di antara dua adzan ada shalat. Di antara dua adzan ada shalat. Di antara dua adzan ada shalat, bagi yang mau (Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab kam bainal-adzan wal-iqamah no. 624).

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa dua adzan yang dimaksud bukan dua adzan shalat wajib seperti adzan Zhuhur dan ‘Ashar, ‘Ashar dan Maghrib, dan seterusnya, sebab di sana jelas ada shalat wajib, sementara dalam hadits di atas Nabi saw memberikan pilihan “bagi yang mau” yang berarti shalat sunat. Yang dimaksud dua adzan tersebut adalah adzan dan iqamat. Artinya di antara adzan dan iqamat itu ada jeda untuk shalat sunat. Sabda Nabi saw “li man sya`a; bagi siapa yang mau” memang menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak muakkadah (ditekankan) sebagaimana shalat rawatib yang lima; qabla Shubuh, qabla Zhuhur, ba’da Zhuhur, ba’da Maghrib, dan ba’da ‘Isya. Akan tetapi bukan berarti bahwa perintah Nabi saw tersebut harus selalu diabaikan setiap harinya.

Maka dari itu Imam al-Bukhari memberikan tarjamah (penjelasan) terkait hadits di atas sebagai berikut:

بَاب كَمْ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَمَنْ يَنْتَظِرُ الْإِقَامَةَ

Bab: Berapa lama jarak antara adzan dan iqamat dan tentang orang yang menunggu iqamat.

Dengan mencantumkan hadits di atas berarti Imam al-Bukhari hendak menunjukkan bahwa jarak antara adzan dan iqamat itu adalah seukuran shalat dua raka’at. Adzan dan iqamat yang dimaksud tidak hanya Shubuh dan Zhuhur saja, tetapi mencakup semua shalat, termasuk ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya, sebab memang Nabi saw sendiri tidak membatasinya.

Maksud pernyataan Imam al-Bukhari “tentang orang yang menunggu iqamat” menemukan kesesuaiannya dengan sabda Nabi saw tentang pahala bagi orang yang menunggu shalat dimana pahalanya dihitung sebagai shalat. Artinya jangan merasa rugi dan dirugikan, sebab yang benar justru untung dan diuntungkan dengan bertambah pahala shalatnya.

وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ

Selamanya salah seorang di antara kalian berada di dalam shalat ketika ia menunggu shalat  (Shahih al-Bukhari bab fadlli shalatil-jama’ah no. 647).

Bertambahnya pahala dengan menunggu orang lain shalat berjama’ah pasti akan diperoleh sebab jumlah jama’ah shalat juga akan bertambah lebih banyak dibanding dengan iqamat langsung sesudah adzan. Sangat bisa dipastikan tidak semua orang akan selalu dalam keadaan siap shalat ketika adzan dikumandangkan. Mereka memerlukan waktu sejenak untuk berwudlu, berpakaian rapi dan berjalan ke masjid. Bagi yang shaum, butuh waktu sejenak untuk ta’jil berbuka dari shaumnya. Maka jika orang-orang seperti ini ditunggu sejenak sehingga mereka bisa mengikuti takbir pertama bersama imam, ini tentu akan menyebabkan jumlah jama’ah shalat lebih banyak. Dalam kaitan inilah Nabi saw bersabda dalam hadits lain:

وَإِنَّ صَلاَةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ وَصَلاَتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى

Sesungguhnya shalat seseorang dengan seorang lainnya (berdua) lebih baik (membersihkan dosanya) daripada shalat sendirian (munfarid), dan shalat seseorang dengan dua orang lainnya (bertiga) lebih baik daripada dengan seseorang (berdua). Dan manakala lebih banyak lagi, itu lebih dicintai oleh Allah Ta’ala.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab fadlli shalatil-jama’ah no. 554)

Secara khusus untuk shalat Maghrib, Nabi saw memberikan perintah tersendiri:

قَالَ عَبْدُ اللهِ الْمُزَنِيُّ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً.

‘Abdullah al-Muzanni berkata, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Shalatlah kalian qabla (sebelum) Maghrib. Shalatlah kalian qabla (sebelum) Maghrib. Shalatlah kalian qabla (sebelum) Maghrib, bagi yang mau.” Karena takut orang-orang menjadikannya sunat yang tetap (Shahih al-Bukhari kitab abwab at-tathawwu’ bab as-shalat qablal-maghrib no. 1183)

Sama seperti hadits shalat di antara dua adzan di atas, di sini pun Nabi saw bersabda: “liman sya`a; bagi siapa yang mau” untuk menunjukkan bahwa perintah di sini tidak muakkadah. Pernyataan shahabat “karena takut orang-orang menjadikannya sunat” menurut Ibn Hajar maksudnya syari’ah wa thariqah lazimah; syari’at dan kebiasaan yang harus. Maka dari itu statusnya cukup istihbab; dianjurkan, disukai. Sebab Nabi saw tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang dibenci atau tidak disukai untuk dilaksanakan.

Dalam hal ini sebagian ulama Syafi’i tidak mengategorikan shalat qabla Maghrib, juga qabla ‘Ashar dan ‘Isya sebagai shalat Rawatib. Akan tetapi Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim bab fadllis-sunanir-ratibah qablal-fara`idl wa ba’dahunna justru memasukkan ketiga shalat tersebut dalam shalat Rawatib. Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dalam Fathul-Bari bab kam bainal-adzan wal-iqamah menguraikan berbagai riwayat yang menjelaskan keberadaan shalat di antara dua adzan ini sehingga ia menyimpulkan bahwa statusnya jelas sebagai sebuah sunnah yang istihbab; dianjurkan dan disukai. Imam an-Nawawi membantah pernyataan yang menyatakan bahwa shalat qabla Maghrib akan menyebabkan shalat Maghrib terlambat dengan menyatakan: “Khayal munabidzun lis-sunnah; sebuah khayalan yang mengingkari sunnah”.

Menurut hemat kami, perbedaan tersebut bermuara pada konsep dari “shalat Rawatib”-nya itu sendiri. Makna rawatib itu sendiri ada dua; mengiringi dan tetap. Bagi yang memahami shalat Rawatib dalam artian shalat sunat yang selalu rutin/tetap Nabi saw laksanakan, tidak pernah terlewat, maka tentu shalat qabla ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya tidak termasuk, sebab adakalanya Nabi saw tidak mengamalkannya, meski menyetujui dan menganjurkannya. Sementara jika rawatib dipahami sebagai shalat sunat yang mengiringi shalat wajib maka tentu shalat qabla ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya termasuk rawatib, sebab faktanya Nabi saw anjurkan untuk dilaksanakan sebelum shalat wajib dan mengiringinya.

Maka dari itu yang tepat adalah shalat di antara dua adzan tersebut adalah shalat sunat yang istihbab. Sengaja dan rutin meninggalkannya sama saja dengan mengingkari sunnah Nabi saw ini. Jika sewaktu-waktu atau sekali-kali saja tidak melaksanakannya, maka itu tidak jadi soal. Yang jadi persoalan itu adalah sama sekali tidak pernah menyediakan waktu bagi jama’ah untuk shalat di antara adzan dan iqamat, khususnya pada waktu ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya.

Kesimpulan seperti ini menurut Ibn Hajar tidak perlu dipertentangkan dengan hadits berikut:

عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ التَّطَوُّعِ بَعْدَ الْعَصْرِ فَقَالَ كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الأَيْدِى عَلَى صَلاَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ وَكُنَّا نُصَلِّى عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ. فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ صَلاَّهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا. فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا

Dari Mukhtar ibn Fulful, ia berkata: Aku bertanya kepada Anas ibn Malik tentang shalat sunat sesudah ‘Ashar. Ia menjawab: “Umar menepuk tangan orang-orang yang shalat ba’da ‘Ashar (pertanda menegur sebab Nabi saw melarangnya—pen). Tetapi kami pada zaman Nabi saw shalat dua raka’at setelah terbenam matahari (ba’da adzan) sebelum shalat maghrib.” Aku (Mukhtar) bertanya: “Apakah Rasulullah saw turut mengerjakannya?” Anas menjawab: “Beliau melihat kami mengerjakannya tetapi tidak memerintah dan tidak melarang.” (Shahih Muslim bab istihbab rak’atain qabla shalatil-maghrib no. 1975)

Pernyataan Anas ini tidak berarti bahwa Nabi saw tidak pernah mengerjakannya atau membencinya. Sebab menurut Ibn Hajar, jelas sekali bahwa Nabi saw memerintahkannya meski tidak menekan. Yang jelas dari pernyataan Nabi saw di atas adalah Nabi saw menyetujuinya. Artinya ini adalah taqrir (persetujuan) Nabi saw. Statusnya sama dengan qaul (perkataan) atau fi’il (perbuatan) Nabi saw sebagai sama-sama sunnah Nabi saw. Ini tidak jauh beda dengan shalat Syukrul-Wudlu yang biasa dilaksanakan Bilal dan diberitahukannya kepada Nabi saw dan saat itu Nabi saw tidak mengerjakannya. Tentunya bukan berarti Nabi saw tidak pernah mengerjakannya. Yang jelas Nabi saw menyetujuinya dan status shalat Syukrul-Wudlu pun sunat. Bahkan jika hendak diperdalam dengan pertanyaan mana yang lebih utama; al-Hafizh Ibn Hajar berpendapat yang itsbat (menyatakan ada) harus didahulukan dibanding yang nafi (menyatakan tidak). Artinya melaksanakan shalat sunat tersebut lebih utama daripada tidak melaksanakannya.

Hanya memang waktu melaksanakan shalat di antara dua adzan ini tidak lama. Itu sebagaimana diriwayatkan oleh para shahabat sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ الْمُؤَذِّنُ إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ ﷺ وَهُمْ كَذَلِكَ يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ شَيْءٌ

قَالَ عُثْمَانُ بْنُ جَبَلَةَ وَأَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلَّا قَلِيلٌ

Dari Anas ibn Malik, ia berkata: Seorang muadzdzin apabila selesai adzan, beberapa shahabat Nabi saw langsung bergegas menuju tiang-tiang masjid. Sehingga ketika Nabi saw keluar (hendak mengimami) mereka sedang shalat dua raka’at qabla Maghrib. Dan tidak ada jarak di antara adzan dan iqamat itu melainkan sesuatu saja.

‘Utsman ibn Jabalah dan Abu Dawud berkata dari Syu’bah: “Tidak ada jarak di antara keduanya (adzan dan iqamat) melainkan sesaat.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab kam bainal-adzan wal-iqamah no. 625)

Jadi kesimpulannya, shalat di antara adzan dan iqamat itu—sebelum shalat wajib yang lima waktu—statusnya adalah sunnah yang istihbab; dianjurkan dan disuaki. Dilaksanakannya tidak lama, agak dipercepat dibanding shalat wajib. Menurut Ibn Hajar, salah satu hikmah dari shalat ini adalah memanfaatkan waktu ijabah do’a di antara adzan dan iqamat dengan memanjatkan do’a pada waktu shalat.

Wal-‘Llahu a’lam

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button