Ibadah

Shaum Muharram

Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, ad-Darami dan Ibn Khuzaimah, menyebutkan keberadaan shaum Muharram dalam kitab-kitab hadits mereka. Ini didasarkan pada hadits shahih yang menganjurkan shaum di bulan Muharram. Para ulama hadits sesudahnya pun mengakui keberadaan shaum Muharram ini.

Imam Muslim menuliskan tarjamah dalam kitab Shahih Muslim bab fadlli shaumil-Muharram (keutamaan shaum Muharram). Adapun haditsnya bersumber dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Shaum yang paling utama sesudah Ramadlan adalah shaum pada bulan Allah al-Muharram. Dan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu adalah shalat malam (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab fadlli shaumil-Muharram no. 2812).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ  يَرْفَعُهُ قَالَ سُئِلَ أَىُّ الصَّلاَةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَأَىُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلاَةُ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ

Dari Abu Hurairah, ia menyandarkannya kepada Nabi saw, bahwasanya beliau saw ditanya shalat apa yang paling utama sesudah shalat wajib dan shaum apa yang paling utama sesudah bulan Ramadlan? Beliau saw menjawab: “Shalat yang paling utama sesudah shalat wajib adalah shalat pada tengah malam. Dan shaum yang paling utama sesudah bulan Ramadlan adalah shaum pada bulan Allah al-Muharram.” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab fadlli shaumil-Muharram no. 2813).
Imam Abu Dawud menuliskan hadits Abu Hurairah di atas dalam kitab Sunan Abi Dawud kitab as-shaum bab fi shaumil-Muharram (bab tentang shaum Muharram) no. 2431.
Imam at-Tirmidzi menuliskan hadits di atas dalam kitab Sunan at-Tirmidzi kitab as-shaum bab ma ja`a fi shaumil-Muharram (bab tentang riwayat yang ada seputar shaum Muharram) no. 740.
Imam an-Nasa`i menuliskan hadits di atas dalam kitab qiyamil-lail bab fadlli shalatil-lail (bab tentang keutamaan shalat malam) no. 1613.
Imam Ibn Majah menuliskan hadits di atas dalam kitab Sunan Ibn Majah kitab as-shiyam bab shiyam asyhuril-hurum (bab tentang shaum pada bulan-bulan haram) no. 1742.
Imam ad-Darami menuliskan hadits di atas dalam kitab Sunan ad-Darami kitab as-shaum bab fi shiyamil-Muharram (bab tentang shaum Muharram) no. 1758.
Imam Ibn Khuzaimah menuliskan hadits di atas dalam kitab Shahih Ibn Khuzaimah kitab as-shiyam bab fi fadllis-shaum fil-muharram idz huwa afdlalus-shiyam ba’da syahri Ramadlan (bab tentang keutamaan shaum pada bulan Muharram karena itu merupakan shaum terbaik sesudah bulan Ramadlan) no. 2076.
Imam al-Baihaqi menuliskan hadits di atas dalam kitab as-Sunanul-Kubra kitab as-shiyam bab fi fadllis-shaum fil-asyhuril-hurum (bab tentang keutamaan shaum pada bulan haram) no. 4821-4824.
Kesemua ulama hadits di atas tidak ada yang mengkritik hadits di atas sebab memang statusnya shahih sesuai standar keshahihan Imam Muslim. Demikian halnya ulama hadits sesudahnya sampai generasi al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H)—sebagaimana dibahasnya dalam Fathul-Bari bab shiyam yaum ‘Asyura—dan Syaikh al-Albani (wafat 1420 H)—sebagaimana dibahasnya dalam kitab as-Silsilah as-Shahihah.
Jelas disebutkan dalam hadits-hadits di atas anjuran shaum di bulan Muharram. Shaumnya adalah shaum di bulan Muharram. Shaum Senin, Kamis, shaum Dawud, shaum tengah bulan (tanggal 13, 14, 15), ataupun shaum muthlaq secara umum di luar shaum-shaum yang disebutkan sebelumnya. Bisa hari Jum’at, Sabtu, Ahad, ataupun hari-hari lainnya. Bisa setiap hari, bisa tidak setiap hari. Tentunya disesuaikan dengan kemampuan. Pokoknya shaum di bulan Muharram.
Catatannya tentu tidak sebulan penuh, sebab berdasarkan penuturan ‘Aisyah istri Nabi saw, beliau saw hanya shaum sebulan penuh di bulan Ramadlan saja.

عن عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ مَا عَلِمْتُهُ صَامَ شَهْرًا كُلَّهُ إِلاَّ رَمَضَانَ وَلاَ أَفْطَرَهُ كُلَّهُ حَتَّى يَصُومَ مِنْهُ حَتَّى مَضَى لِسَبِيلِهِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Aku tidak pernah tahu beliau pernah shaum sebulan penuh kecuali Ramadlan. Tidak juga aku tahu beliau pernah tidak shaum sebulan penuh, melainkan beliau shaum di sebagian harinya, sampai menjadi jalan hidupnya saw.” (Shahih Muslim bab shiyamin-Nabi fi ghairi Ramadlan no. 2774)
Dalam riwayat al-Bukhari, ‘Aisyah menuturkan:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw shaum satu bulan sempurna kecuali Ramadlan. Dan aku tidak pernah melihat beliau banyak shaum dalam satu bulan melebihi bulan Sya’ban.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban no. 1969).
Terkait hal ini, yakni anjuran Nabi saw untuk shaum di bulan Muharram dan beliau menyebut keutamaannya di bawah Ramadlan—berarti di atas shaum Syawwal, Sya’ban, Dzulhijjah, dan bulan-bulan lainnya—tetapi yang diketahui dari amalan Nabi saw memperbanyak shaum adanya di bulan Sya’ban, Imam an-Nawawi menjelaskan:

فَإِنْ قِيلَ: سَيَأْتِي قَرِيبًا فِي الْحَدِيث الْآخَر أَنَّ أَفْضَلَ الصَّوْم بَعْد رَمَضَان صَوْم الْمُحَرَّم فَكَيْفَ أَكْثَرَ مِنْهُ فِي شَعْبَان دُون الْمُحَرَّم ؟ فَالْجَوَاب: لَعَلَّهُ لَمْ يَعْلَمْ فَضْلَ الْمُحَرَّم إِلَّا فِي آخِر الْحَيَاة قَبْل التَّمَكُّن مِنْ صَوْمه، أَوْ لَعَلَّهُ كَانَ يَعْرِض فِيهِ أَعْذَارٌ تَمْنَع مِنْ إِكْثَار الصَّوْم فِيهِ كَسَفَرٍ وَمَرَضٍ وَغَيْرِهِمَا. قَالَ الْعُلَمَاء: وَإِنَّمَا لَمْ يَسْتَكْمِلْ غَيْرَ رَمَضَانَ لِئَلَّا يُظَنَّ وُجُوبُهُ

Jika ditanyakan: Akan ada dalam hadits lain yang akan datang bahwasanya shaum yang paling utama setelah Ramadlan adalah shaum Muharram, bagaimana fakta bahwa beliau memperbanyak shaum di bulan Sya’ban tetapi tidak di bulan Muharram? Maka jawabannya: Pertama, bisa jadi beliau tidak mengetahui (atau baru diberi wahyu—pen) keutamaan shaum Muharram melainkan di akhir hayatnya sebelum sempat melaksanakan shaumnya (sama seperti halnya syari’at shaum 9 Muharram yang beliau saw sendiri tidak sempat mengamalkannya karena sudah wafat terlebih dahulu—pen). Atau kedua, bisa jadi beliau terkendala oleh beberapa udzur yang menghalangi beliau memperbanyak shaum, seperti safar, sakit, dan lainnya. Para ulama menjelaskan: Beliau tidak menyempurnakan shaum satu bulan selain Ramadlan agar tidak diyakini bahwa shaum (Muharram atau Sya’ban—pen) itu wajib (Syarah Shahih Muslim bab shiyamin-Nabi fi ghairi Ramadlan).
Atau juga alasannya bisa sebagaimana yang biasa dikemukakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar. Jika faktanya Nabi saw menganjurkan satu amal, lalu tidak diketahui Nabi saw merutinkan amal tersebut, itu kemungkinan besar karena kekhawatiran amal itu diwajibkan Allah swt.

لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِكَوْنِهِ كَانَ يَتْرُكُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَهُ خَشْيَةَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَى أُمَّتِهِ كَمَا رَوَاهُ الصَّحِيحَانِ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ أَيْضًا

Sebab mungkin itu didasarkan pada kebiasaannya meninggalkan satu amal yang beliau sendiri ingin mengamalkannya karena takut diwajibkan kepada umatnya, sebagaimana diriwayatkan oleh dua kitab Shahih dari hadits ‘Aisyah juga (Fathul-Bari bab fadllil-‘amal fi ayyamit-tasyriq).
Hadits ‘Aisyah yang dimaksud adalah hadits shalat Dluha yang tidak Nabi saw rutinkan, lalu sengaja dirutinkan oleh ‘Aisyah, karena kekhawatiran Nabi saw diwajibkan sudah tidak ada lagi seiring kewafatan Nabi saw:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ وَمَا سَبَّحَ رَسُولُ اللهِ ﷺ سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Sungguh Rasulullah saw meninggalkan satu amal yang beliau ingin mengamalkannya itu karena takut diamalkan oleh orang-orang banyak lalu diwajibkan kepada mereka. Rasulullah saw tidak pernah merutinkan shalat Dluha sekalipun, tetapi aku sendiri merutinkannya.” (Shahih al-Bukhari kitab at-tahajjud bab tahridlin-Nabiy saw ‘ala qiyamil-lail no. 1128).
 
Shaum Tasu’a ‘Asyura
Shaum Muharram ini tidak perlu dipertentangkan dengan shaum 9-10 Muharram, sebab kedua-duanya shahih; baik yang menyebutkan shaum Muharram secara umum, ataupun shaum 9-10 Muharram secara khusus. Artinya, jika tidak mampu shaum Muharram secara umum, usahakan semaksimal mungkin shaum 9 dan 10 Muharram, atau tanggal 10 Muharram saja. Hadits-haditsnya:

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Shaum ‘Asyura (10 Muharram) yang diniatkan mengharap ridla Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu (Shahih Muslim kitab as-shiyam no. 2803).

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ

“Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura itu hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani!?” Rasul saw menjawab: “Jika datang tahun depan, insya Allah kita akan shaum dari sejak hari ke-9 (tasu’a).” Kata Ibn ‘Abbas: Belum juga tahun depan datang, Rasulullah saw sudah wafat terlebih dahulu (Shahih Muslim no. 2722).
Ada lagi yang menganjurkan shaum disambung dengan tanggal 11 Muharram. Haditsnya:

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

Shaumlah pada hari ‘Asyura, dan berbedalah dengan Yahudi. Shaumlah kalian sebelumnya satu hari atau sesudahnya satu hari. (Musnad Ahmad, musnad ‘Abdillah ibn ‘Abbas no. 2191).
Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ad-Dla’ifah no. 4279 menjelaskan, dalam sanadnya ada Muhammad ibn ‘Abdurrahman ibn Abi Laila yang sayyi`ul-hifzhi (jelek hafalan) dan menerima dari Dawud ibn ‘Ali yang juga maqbul (jelek hafalan tapi belum disepakati harus ditinggalkan). Meski al-Hafizh Ibn Hajar menilainya bisa dijadikan hujjah sehingga beliau mengajukan elternatif ketiga untuk shaum Muharram yakni 9, 10, dan 11 Muharram, itu kemungkinan didasarkan pada ijtihad beliau bahwa Muhammad ibn Abi Laila rawi yang shaduq (jujur, meski jelek hafalan), di samping ada dalil umum untuk menyalahi shaum orang kafir dan anjuran untuk shaum di bulan Muharram (Fathul-Bari bab shiyam yaum ‘Asyura). Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button