Shalat Isyraq atau Dluha?
Sudah banyak fatwa ulama kontemporer yang menyatakan bahwa shalat Isyraq disyari’atkan ketika matahari baru terbit—tentunya sesudah benar-benar terbit meninggi dan lewat dari waktu yang terlarang yakni ketika mulai terbit. Bagaimana sebenarnya syari’at shalat Isyraq tersebut dan bagaimana juga keterkaitannya dengan shalat Dluha?
Istilah “shalat Isyraq” (shalat ketika matahari baru terbit) tidak kami temukan dalam sabda Nabi saw. Yang kami temukan riwayatnya hanya pernah disinggung oleh Ibn ‘Abbas. Itu pun tidak tegas langsung dari beliau, hanya menurut satu pendapat itu dinyatakan oleh beliau. Riwayat yang dimaksud dari Imam at-Thabari, yang kami kutip dari Tafsir Ibn Katsir sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ ذَكَرَتْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ يوم فَتْحِ مَكَّةَ صَلَّى الضُّحَى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَدْ ظَنَنْتُ أَنَّ لِهَذِهِ السَّاعَةِ صَلَاةً يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: {يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإشْرَاقِ}
Dari Ibn ‘Abbas, sampai kepadanya riwayat bahwa Ummu Hani menceritakan Rasulullah saw shalat Dluha delapan raka’at pada hari pembebasan kota Makkah. Ibn ‘Abbas lalu berkata: “Sungguh dari awal saya menyangka bahwa dalam waktu ini ada shalat. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka bertasbih pada waktu sore dan terbit matahari [QS. Shad [38] : 18].”
Dalam riwayat lain diceritakan bahwa semula Ibn ‘Abbas tidak tahu ada syari’at shalat Dluha (memang ada beberapa shahabat yang tidak tahu, seperti ‘Umar dan Ibn ‘Umar, mengingat Nabi saw kalau melaksanakan shalat Dluha hampir selalu di rumah, dan beliau tidak merutinkannya [Fathul-Bari bab shalatid-Dluha fis-safar]). Setelah diberitahu bahwa Ummu Hani` mengatakan bahwa Nabi saw pernah shalat Dluha delapan raka’at di rumahnya pada waktu pembebasan kota Makkah, Ibn ‘Abbas berkata:
لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ مَا عَرَفْتُ صَلَاةَ الضُّحَى إِلَّا الْآنَ: {يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإشْرَاقِ} وَكُنْتُ أَقُولُ: أَيْنَ صَلَاةُ الْإِشْرَاقِ وَكَانَ بَعْدُ يَقُولُ: صَلَاةُ الْإِشْرَاقِ.
Sungguh aku telah hafal apa yang ada di antara dua jilid ini (al-Qur`an) tetapi aku tidak tahu shalat Dluha kecuali sekarang. (Allah swt berfirman) “Mereka bertasbih pada waktu sore dan terbit matahari [QS. Shad [38] : 18].” Aku sempat bertanya: “Yang mana shalat Isyraq itu?” Dan setelah itu Ibn ‘Abbas menyebutnya shalat Isyraq.
Dari dua riwayat Imam at-Thabari di atas, jelas diketahui bahwa yang dibahas dan dibicarakan oleh Ibn ‘Abbas itu adalah shalat Dluha, yang semula Ibn ‘Abbas tidak mengetahuinya. Dan Ibn ‘Abbas mengaitkannya dengan ayat yang menyinggung tentang tasbih di waktu isyraq. Dari sejak itu, Ibn ‘Abbas menyebut juga shalat Dluha dengan shalat Isyraq.
Artinya, shalat Isyraq yang dimaksud oleh Ibn ‘Abbas adalah shalat Dluha itu sendiri.
Selanjutnya, istilah shalat Isyraq di kalangan ulama hadits/fiqih kami temukan dalam pernyataan Imam at-Thibi terkait hadits berikut ini:
مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ-تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
Siapa yang shalat shubuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir kepada Allah sampai terbit matahari, kemudian shalat dua raka’at, maka pahalanya seperti pahala haji dan ‘umrah—yang sempurna, sempurna, dan sempurna (Sunan at-Tirmidzi bab dzikr ma yustahabbu minal-julus fil-masjid ba’da shalatis-shubhi hatta tathlu’as-syams no. 586. At-Tirmidzi dan al-Albani: Hadits hasan).
Terkait hadits di atas, Imam at-Thibi menyatakan:
قَالَ الطِّيبِيُّ: أَيْ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ أَنْ تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ قَدْرَ رُمْحٍ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُ الْكَرَاهَةِ ، وَهَذِهِ الصَّلَاةُ تُسَمَّى صَلَاةَ الْإِشْرَاقِ وَهِيَ أَوَّلُ صَلَاةِ الضُّحَى
Yaitu kemudian beliau shalat setelah terbit matahari seukuran satu tombak sehingga habis waktu yang makruh shalat (saat matahari terbit sampai agak tinggi sedikit). Shalat ini dinamai shalat Isyraq, yaitu awal shalat Dluha (Tuhfatul-Ahwadzi).
Jadi Imam at-Thibi pun menyebutkan bahwa shalat Isyraq ini adalah shalat Dluha, hanya dilaksanakan di awal pagi. Maka dari itu Imam al-Mubarakfuri pensyarah Sunan at-Tirmidzi menegaskan bahwa shalat yang dimaksud di atas adalah shalat Dluha:
قُلْت: وَقَعَ فِي حَدِيثِ مُعَاذٍ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَيْ الضُّحَى وَكَذَا وَقَعَ فِي حَدِيثِ أُمَامَةَ وَعُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ
Menurut saya (al-Mubarakfuri) sendiri: Dalam hadits Mu’adz disebutkan “sampai shalat sunat dua raka’at Dluha” [jadi bukan shalat lain selain Dluha—pen]. Demikian juga dalam hadits Umamah dan ‘Utbah ibn ‘Abd (Tuhfatul-Ahwadzi).
Setelah penulis telusuri, hadits Mu’adz adalah riwayat Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi. Dalam sanadnya ada Sahl ibn Mu’adz dan Zabban ibn Fayid, keduanya dla’if (‘Aunul-Ma’bud). Sementara hadits Abu Umamah (bukan Umamah) dan ‘Utban riwayat at-Thabrani, tetapi dalam sanadnya ada Al-Ahwash ibn Hakim seorang rawi dl’aif hafalan (Ruwatul-Tahdzibain). Meski demikian, dla’if di level ini bisa terkuatkan oleh hadits riwayat at-Tirmidzi di atas. Itulah sebabnya Imam al-Mubarakfuri menjadikannya sebagai hujjah.
Dengan demikian shalat Isyraq adalah shalat Dluha, hanya yang dilakukan di awal waktu pagi setelah matahari terbit.
Akan tetapi ditemukan riwayat dalam Shahih Muslim bahwa Zaid ibn Arqam menyatakan shalat Dluha di selain tarmidlul-fishal itu mafdlul (tidak utama), sebab yang utama (afdlal) itu ketika tarmidlul-fishal; anak-anak unta kepanasan oleh batu kerikil yang panas akibat terik matahari.
عن زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Dari Zaid ibn Arqam, bahwasanya ia melihat beberapa orang shalat Dluha. Lalu ia berkata: “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama!? Sebab sungguh Rasulullah saw bersabda: “Shalat orang-orang yang ahli taubat itu ketika anak-anak unta kepanasan oleh batu kerikil yang panas akibat terik matahari.” (Shahih Muslim bab shalatil-awwabin hina tarmidul-fishal no. 1780).
Shalat awwabin yang dimaksud Zaid dijelaskan dalam sanad lain, ditujukan oleh Nabi saw kepada penduduk Quba yang melaksanakan shalat Dluha (Shahih Muslim no. 1781).
Waktu “anak-anak unta kepanasan oleh batu kerikil yang panas akibat terik matahari” tentunya bukan di awal pagi, tetapi sudah agak siang, ketika matahari sudah agak panas menyengat sehingga membuat batu-batu kerikil panas. Kurang lebih sekitar jam 10.00-11.00 pagi, dan inilah waktu shalat Dluha yang afdlal.
Meski demikian kedudukan hadits shalat Dluha di awal waktu di atas tetap berlaku. Hanya shalat Dluha di awal pagi ini menjadi utama jika dilakukan satu paket dengan shalat Shubuh berjama’ah lalu tidak beranjak dari tempat shalat Shubuh tersebut dan mengisinya dengan dzikir atau kajian ilmu sampai terbit matahari, kemudian dilanjutkan dengan shalat Dluha dua raka’at. Dan inilah yang dimaksud shalat Isyraq.
Maka dari itu Imam at-Tirmidzi sendiri tidak menyoroti shalat Dluha/Isyraqnya dari hadits yang dicantumkannya di atas itu, melainkan duduknya di masjid setelah shalat Shubuh sampai terbit mataharinya. Imam at-Tirmidzi menjelaskan:
بَابُ ذِكْرِ مَا يُسْتَحَبُّ مِنَ الجُلُوسِ فِي المَسْجِدِ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
Bab: Riwayat yang menganjurkan duduk di masjid setelah shalat Shubuh sampai terbit matahari.
Duduk yang dimaksud sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi di atas yakni duduk berdzikir kepada Allah swt. Masuk di dalamnya kegiatan ta’lim yang juga termasuk dzikir kepada Allah swt.
Artinya, hadits di atas jika mau diamalkan, jangan sebatas shalat Dluha/Isyraq di awal waktu paginya saja, tetapi satu paket dengan shalat Shubuh di masjidnya, lalu tidak beranjak dari sana melainkan dilanjutkan dengan berdzikir/ta’lim sampai terbit matahari, lalu shalat Dluha/Isyraq. Sebab keutamaannya terletak pada paketnya itu, bukan shalat Dluhanya sendiri. Shalat Dluhanya sendiri jika dilaksanakan terpisah dari shalat shubuh dan dzikirnya maka lebih utama ketika tarmidlul-fishal (sekitar jam 10.00-11.00).
Penekanan dzikir ba’da Shubuh sampai terbit mataharinya ini disoroti juga oleh Imam Muslim. Beliau menuliskan:
باب فَضْلِ الْجُلُوسِ فِى مُصَلاَّهُ بَعْدَ الصُّبْحِ
Bab: Keutamaan duduk di tempat shalatnya setelah shalat Shubuh.
Adapun haditsnya:
عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.
Dari Simak ibn Harb, ia berkata: Aku bertanya kepada Jabir ibn Samurah: “Apakah anda pernah satu majelis dengan Rasulullah saw?” Jabir menjawab: “Tentu, sering. Beliau tidak beranjak dari tempat shalat Shubuhnya sehingga matahari terbit. Apabila matahari telah terbit beliau pun berdiri. Sedangkan sebagian shahabat ada yang berbincang-bincang tentang masa Jahiliyyah, mereka pun sampai tertawa, sementara Nabi saw hanya tersenyum.” (Shahih Muslim no. 1075).
Perbedaannya dengan hadits riwayat at-Tirmidzi di awal, di hadits ini tidak disebutkan Nabi saw shalat Dluha/Isyraq sesudah matahari terbit. Itu berarti Nabi saw tidak mendawamkan shalat Dluha di awal waktu terbit, sebab jika rutin pasti Jabir yang sering menemani Nabi saw akan menceritakannya. Meski demikian, fadlilah (keutamaan) shalat Dluha di awal waktu yang disatupaketkan dari mulai shalat Shubuh dan dzikir/ta’lim sampai terbit matahari, tetap ada dan berlaku.
Dari hadits riwayat Muslim di atas, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa tertawa dan tersenyum pada waktu itu diperbolehkan. Ini juga menunjukkan bahwa berdzikir sampai terbit matahari itu tidak wajib, meski itu sebuah sunnah.
Jadi kalau mau shalat Dluha di awal waktu (Isyraq), maka itu tidak dirutinkan, sebab Nabi saw tidak merutinkan. Shalat Dluha di awal waktu (Isyraq) tersebut juga jika mau dilakukan harus dengan shalat Shubuh di masjid dan dzikir/ta’limnya sampai terbit matahari, sebab memang titik tekan pahala haji ‘umrahnya ada dalam rangkaian ibadah dari mulai shalat Shubuh, dzikir/ta’lim, sampai shalat Dluha/Isyraq. Bahkan saking lebih pentingnya shalat Shubuh dan dzikir/ta’lim sampai terbit mataharinya dibanding shalat Dluha/Isyraqnya, Nabi saw sendiri merutinkan shalat Shubuh dan dzikir/ta’lim sampai terbit matahari dengan tidak melaksanakan shalat Dluha di awal waktu (Isyraq). Wal-‘Llahu a’lam.