Qiyam Ramadlan Generasi Salaf

Generasi salaf (shahabat, tabi’in, dan atba’ tabi’in) dijamin oleh Rasulullah saw sebagai generasi terbaik sepeninggalnya. Mereka sudah semestinya dijadikan teladan oleh generasi berikutnya dalam seluruh aktivitas kehidupannya, khususnya ibadah. Dalam hal qiyam Ramadlan atau shalat tarawih, generasi salaf betul-betul meneladani Nabi saw dalam hal mengamalkannya tanpa cepat-cepat dan sebentar. Mereka justru merasa heran jika ada qiyam Ramadlan yang dilaksanakan sebentar. Lalu sebenarnya sejak kapan “bid’ah” qiyam Ramadlan harus sebentar mulai berlaku di tengah-tengah umat Islam!?
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ: أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ: وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ، حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari as-Sa’ib ibn Yazid, ia berkata: “‘Umar ibn al-Khaththab memerintah Ubay ibn Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami shalat tarawih orang-orang sebanyak 11 raka’at. Dan sungguh imam membaca surat yang ayatnya sekitar 100, sehingga kami bersandar pada tongkat saking lamanya berdiri. Dan kami tidak selesai shalat kecuali menjelang fajar.” (Muwaththa` Malik bab ma ja`a fi qiyam Ramadlan no. 4).
Dalam riwayat al-Hasan yang dituliskan oleh Muhammad ibn Nashr al-Marwazi dalam kitabnya, Qiyam Ramadlan, disebutkan bahwa itu dilaksanakan dari selepas ¼ malam:
الْحَسَنُ رَحِمَهُ اللَّهُ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَمَرَ أُبَيًّا فَأَمَّهُمْ فِي رَمَضَانَ , فَكَانُوا يَنَامُونَ رُبُعَ اللَّيْلِ وَيَقُومُونَ رُبُعَيْهِ وَيَنْصَرِفُونَ بِرُبُعٍ لِسُحُورِهِمْ وَحَوَائِجِهِمْ
Al-Hasan menjelaskan: “’Umar memerintahkan Ubay untuk menjadi imam pada bulan Ramadlan. Mereka tidur di ¼ malam, lalu shalat di ½ malamnya, dan selesai di ¼ malamnya untuk sahur dan keperluan lainnya.” (Qiyam Ramadlan bab miqdaril-qira`ah fi kulli rak’atin fi qiyam Ramadlan hlm. 22)
Artinya secara umum shalat Tarawih di zaman ‘Umar itu dilaksanakan sekitar ½ malam. Dimulai dari sejak selepas ¼ malam dan berakhir menjelang ¼ malam terakhir yakni pada waktu sahur. Atsar ini tidak perlu dipertentangkan dengan hadits ‘Umar yang diriwayatkan al-Bukhari dimana disebutkan bahwa shalat Tarawih pada zaman ‘Umar itu dilaksanakan awal malam. Setelah menetapkan agar shalat malam dilaksanakan berjama’ah di awal malam pada bulan Ramadlan, ‘Umar berkata:
وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
‘Umar berkata: “Orang-orang yang tidur itu lebih baik daripada orang yang shalat sekarang –karena hendak mengerjakannya akhir malam-.” (‘Abdurrahman, periwayat berkata:) “Tetapi waktu itu orang-orang shalat di awal malam.” (Shahih al-Bukhari kitab shalat tarawih bab fadlli man qama ramadlan no. 1906. Periwayat hadits ‘Umar ini adalah ‘Abdurrahman ibn ‘Abdil-Qari).
Letak komprominya berarti shalat awal malam di hadits riwayat al-Bukhari itu tidak langsung setelah ‘isya, melainkan sekitar selepas ¼ malam. Atau mungkin juga kadang di awal malam selepas isya, kadang juga menunggu sampai selepas ¼ malam. Wal-‘Llahu a’lam.
Hal yang sama dikemukakan juga dalam atsar Abu Bakar. Tanpa menyebutkan apakah terjadi zaman Rasulullah saw atau zaman Abu Bakar pasca Rasulullah saw, yang jelas shalat tarawih itu dilaksanakan sampai waktu sahur.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: كُنَّا نَنْصَرِفُ فِي رَمَضَانَ فَنَسْتَعْجِلُ الْخَدَمَ بِالطَّعَامِ مَخَافَةَ الْفَجْرِ
Dari ‘Abdullah ibn Abi Bakar, ia berkata: Aku mendengar ayahku berkata: “Kami selesai (shalat malam) pada bulan Ramadlan, lalu kami bersegera menemui pembantu penyedia makanan karena takut datang fajar.” (Muwaththa` Malik bab ma ja`a fi qiyam Ramadlan no. 7)
Atsar as-Sa`ib ibn Yazid yang menyebutkan umumnya Imam shalat tarawih membaca surat-surat yang jumlah ayatnya 100, dibenarkan juga oleh atsar al-A’raj berikut ini:
قَالَ الْأَعْرَجُ: وَكَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فِي ثَمَانِ رَكَعَاتٍ فَإِذَا قَامَ بِهَا فِي اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً رَأَى النَّاسُ أَنَّهُ قَدْ خَفَّفَ
Al-A’raj berkata: “Imam shalat membaca surat al-Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia membaca al-Baqarah dalam 12 raka’at, orang-orang merasa lebih ringan.” (Muwaththa` Malik bab ma ja`a fi qiyam Ramadlan no. 6)
Surat al-Baqarah itu semuanya 286 ayat dibagi menjadi 2,5 juz. Sejumlah ayat itu dibaca dalam 8 raka’at tarawih, tidak termasuk witir. Atau jika ingin agak ringan dibaca dalam 12 raka’at. Kemungkinan yang 2 raka’atnya shalat iftitah. Jadi dalam setiap raka’atnya kurang lebih membaca 23-35 ayat surat al-Baqarah. Dalam kaitan ini atsar dari Abu Raja al-‘Atharidi seorang ulama tabi’in senior menjelaskan:
عَنْ أَبِي رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيِّ قَالَ يَأْتُونِي فَيَحْمِلُونِي كَأَنِّي قُفَّةٌ حَتَّى يَضَعُونِي فِي مَقَامِ الْإِمَامِ فَأَقْرَأُ بِهِمْ ثَلَاثِينَ آيَةً وَأَحْسَبُهُ قَدْ قَالَ: أَرْبَعِينَ آيَةً فِي كُلِّ رَكْعَةٍ يَعْنِي فِي رَمَضَانَ
Dari Abu Raja al-‘Atharidi ia berkata: “Mereka mendatangiku dan menilaiku orang lemah sehingga menunjukku sebagai imam. Maka aku membaca dalam mengimami mereka itu 30 ayat, dan terkadang 40 ayat dalam setiap raka’at, yakni pada bulan Ramadlan.” (Qiyam Ramadlan bab miqdaril-qira`ah fi kulli rak’atin fi qiyam Ramadlan hlm. 22)
Atsar-atsar lainnya juga menjelaskan hal yang sama:
عُمَرُ بْنُ الْمُنْذِرِ: كُنْتُ أَقُومُ لِلنَّاسِ فِي زَمَانِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ فَكُنَّا نَقْرَأُ بِخَمْسِينَ آيَةً فِي كُلِّ رَكْعَةٍ, وَأَمَرَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْقُرَّاءَ فِي رَمَضَانَ أَنْ … يَقْرَءُوا فِي كُلِّ رَكْعَةٍ عَشْرَ آيَاتٍ
‘Umar ibnul-Mundzir: “Aku jadi imam shalat berjama’ah pada zaman ‘Abdullah ibnuz-Zubair. Kami membaca 50 ayat dalam setiap raka’at. ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz memerintahkan para imam shalat di bulan Ramadlan untuk… membaca di setiap raka’atnya 10 ayat.” (Qiyam Ramadlan bab miqdaril-qira`ah fi kulli rak’atin fi qiyam Ramadlan hlm. 22)
عَلِيُّ بْنُ الْأَقْمَرِ رَحِمَهُ اللهُ: أَمَّنَا مَسْرُوقٌ فِي رَمَضَانَ فَقَرَأَ فِي رَكْعَةٍ بِسُورَةِ الْعَنْكَبُوتِ
‘Ali ibn al-Aqmar: “Masruq mengimami kami pada bulan Ramadlan. Ia membaca dalam satu raka’at surat al-‘Ankabut—surat ke-29 dan ayatnya 69 ayat.” (Qiyam Ramadlan bab miqdaril-qira`ah fi kulli rak’atin fi qiyam Ramadlan hlm. 22)
عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ رَحِمَهُ اللهُ: أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ بِهِمْ سُبُعَ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ
Dari Abu Mijlaz: “Ia mengimami shalat berjama’ah 1/7 al-Qur`an (sekitar 4-5 juz) di setiap malam.” (Qiyam Ramadlan bab miqdaril-qira`ah fi kulli rak’atin fi qiyam Ramadlan hlm. 22)
Atsar-atsar di atas menunjukkan bahwa minimalnya yang dibaca dalam satu raka’at itu 10 ayat. Maksimalnya ada yang sampai 4-5 juz dalam satu kali shalat Tarawih. Maka dari itu, Maimun ibn Mihran kecewa berat ketika mengetahui ada seorang imam shalat Tarawih yang membaca satu ayat dalam setiap raka’atnya:
مَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ رَحِمَهُ اللَّهُ: أَدْرَكْتُ الْقَارِئَ إِذَا قَرَأَ خَمْسِينَ آيَةً قَالُوا: إِنَّهُ لَيُخَفِّفُ وَأَدْرَكْتُ الْقُرَّاءَ فِي رَمَضَانَ يَقْرَءُونَ الْقِصَّةَ كُلَّهَا قَصُرَتْ أَوْ طَالَتْ. فَأَمَّا الْيَوْمَ فَإِنِّي أَقْشَعِرُّ مِنْ قِرَاءَةِ أَحَدِهِمْ، يَقْرَأُ: {وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ} [البقرة: 11] ثُمَّ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} {أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ
Maimun ibn Mihran: “Aku mendapatkan seorang imam apabila ia mengimami membaca 50 ayat. Kata mereka itu termasuk ringan. Aku mendapatkan imam-imam lainnya di bulan Ramadlan membaca ayat-ayat tentang satu kisah sampai tuntas, baik itu yang pendek atau panjang. Adapun hari ini sungguh aku merinding ada seorang imam membaca ayat 11 surat al-Baqarah, kemudian ia membaca di raka’at berikutnya sesudah al-Fatihah ayat 12 nya.” (Qiyam Ramadlan bab miqdaril-qira`ah fi kulli rak’atin fi qiyam Ramadlan hlm. 22)
Bukan berarti tidak ada perhatian dari para ulama salaf terhadap jama’ah yang diduga tidak akan kuat shalat terlalu lama. Tentu saja ada, hanya standarnya tetap tidak terlalu rendah . Seperti dikemukakan dalam atsar-atsar di atas, minimal satu raka’atnya membaca seukuran 10 ayat. Atsar ‘Utsman ibn an-Nahdi berikut ini menguatkannya:
عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ قَالَ: دَعَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِثَلَاثِ قُرَّاءٍ فَاسْتَقْرَأَهُمْ، فَأَمَرَ أَسْرَعَهُمْ قِرَاءَةً أَنْ يَقْرَأَ لِلنَّاسَ ثَلَاثِينَ آيَةً، وَأَمَرَ أَوْسَطَهُمْ أَنْ يَقْرَأَ خَمْسًا وَعِشْرِينَ، وَأَمَرَ أَبْطَأَهُمْ أَنْ يَقْرَأَ لِلنَّاسِ عِشْرِينَ آيَةً
Dari Abu ‘Utsman an-Nahdi, ia berkata: “‘Umar ibn al-Khaththab memanggil tiga orang imam shalat dan meminta mereka membaca. Maka beliau memerintah yang paling cepat bacaannya untuk membaca dalam shalat 30 ayat, yang pertengahan bacaanya untuk membaca 25 ayat, dan yang paling lambat bacaannya untuk membaca 20 ayat.” (as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab qadru qira`atihim fi qiyam syahri Ramadlan no. 4295. Imam an-Nawawi menilainya shahih dalam Khulashatul-Ahkam no. 1970).
Dalam hal ini, Imam Ishaq ibn Rahawaih (166-238 H) yang merupakan salah seorang guru Imam al-Bukhari, pernah ditanya:
قَالَ ابْنُ مَنْصُوْرٍ: سُئِلَ إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْه كَمْ يُقْرَأُ فِي قِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ؟ فَلَمْ يُرَخِّصْ فِي دُوْنِ عَشْرِ آيَاتٍ فَقِيْلُ لَهُ: إِنَّهُمْ لاَ يَرْضَوْنَ؟ فَقَالَ: لاَ رَضُوْا فَلاَ تَؤُمَّنَّهُمْ إِذَا لَمْ يَرْضَوْا بِعَشْرِ آيَاَتٍ مِنَ الْبَقَرَةِ. ثُمَّ إِذَا صِرْتَ إِلَى الْآيَاتِ الْخِفَافِ فَبِقَدْرِ عَشْرِ آيَاتٍ مِنَ الْبَقَرَةِ يَعْنِي فِي كُلِّ رَكْعَةٍ
Ibn Manshur menjelaskan: Ishaq ibn Rahawaih pernah ditanya: “Berapa banyak ayat yang dibaca dalam shalat malam bulan Ramadlan?” Ternyata ia tidak memberi rukhshah di bawah 10 ayat. Ditanyakan kepadanya perihal jama’ah yang tidak ridla. Ia menjawab, jika jama’ah tidak ridla maka jangan menjadi imam mereka jika tidak ridla dengan 10 ayat al-Baqarah. Kemudian jika membaca ayat-ayat yang pendek maka seukuran 10 ayat al-Baqarah, yakni di setiap raka’atnya.” (Latha`iful-Ma’arif 1 : 170).
Muhammad ibn Nashr al-Marwazi dalam kitabnya, Qiyam Ramadlan, juga menjelaskan fatwa Imam Malik sebagai berikut:
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْقَاسِمِ رَحِمَهُ اللَّهُ: سُئِلَ مَالِكٌ عَنْ قِيَامِ رَمَضَانَ , بِكُمْ يَقْرَأُ الْقَارِئُ؟ قَالَ: ” بِعَشْرٍ عَشْرٍ , فَإِذَا جَاءَتِ السُّوَرُ الْخَفِيفَةُ فَلْيَزْدَدْ مِثْلُ الصَّافَّاتِ وَطسم فَقِيلَ لَهُ: خَمْسٌ؟ قَالَ: بَلْ عَشْرُ آيَاتٍ
‘Abdurrahman ibn al-Qasim: Imam Malik ditanya tentang shalat Tarawih berapa banyak ayat yang dibacanya? Ia menjawab: “10 ayat. Jika suratnya ayat-ayatnya pendek maka tambah lagi, seperti surat as-shaffat, tha sin mim.” Ditanyakan kepada beliau: “Bagaimana kalau 5 ayat?” Ia menjawab: “Tidak, minimal 10 ayat.” (Qiyam Ramadlan bab miqdaril-qira`ah fi kulli rak’atin fi qiyam Ramadlan hlm. 22).
Dalam hal ini maka Syaikh al-Albani menjelaskan dalam salah satu kitab kecilnya, Shalatut-Tarawih sebagai berikut:
فَهَذَا يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ حَافِزًا لَنَا جَمِيْعًا عَلَى أَنْ نَقْتَرِبَ فِي صَلاَتِنَا لِلتَّرَاوِيْحِ مِنْ صَلاَتِهِمْ لَهَا قَدْرَ الطَّاقَةِ, فَلْنُطِلِ الْقِرَاءَةَ فِيْهَا وَنُكْثِرْ مِنَ التَّسْبِيْحِ وَالذِّكْرِ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ حَتَّى نَشْعُرَ وَلَوْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخُشُوْعِ الَّذِي هُوَ رُوْحُ الصَّلاَةِ وَلُبُّهَا.
Maka ini wajib menjadi perhatian kita semua. Shalat tarawih kita minimalnya mendekati shalat tarawih mereka seukuran kemampuan. Hendaklah kita panjangkan bacaannya, perbanyak tasbih dan dzikir pada waktu ruku’, sujud, dan di antara keduanya, sehingga kita merasakan sedikit kekhusyuan yang itu merupakan ruh dan intisari shalat (Shalatut-Tarawih, hlm. 114).
Jadi intinya meskipun qiyam Ramadlan seperti Nabi saw dan generasi salaf belum mampu diamalkan, minimalnya jangan ada paksaan kepada para imam agar mengimami qiyam Ramadlan dengan cepat, dan jika tidak cepat maka makmum akan serentak menggerutu. Atau mungkin imam merasa terpaksa oleh keinginan mayoritas makmum untuk mengimami secepat mungkin. Amalkanlah qiyam Ramadlan sedikit lebih lama daripada shalat-shalat biasa, meski belum selama shalatnya Nabi saw dan generasi salaf. Panjangkan sedikit bacaan surat-suratnya, ruku’nya, i’tidalnya, sujudnya, duduk di antara dua sujudnya, dan duduk tahiyyatnya. Sebab di sanalah ruh dari shalat malam, apalagi di bulan mulia sekelas Ramadlan. Wal-‘Llahu a’lam.