Pengakuan Jujur Ka’ab ibn Malik ra

Sungguh aneh memang jika shahabat sekelas Ka’ab ibn Malik sengaja tidak ikut perang Tabuk (9 H). Statusnya menjadi sama dengan orang-orang munafiq yang memang sering sengaja tidak ikut jihad bersama Rasulullah ﷺ. Meski demikian ternyata ada yang tetap membedakannya. Jika orang-orang munafiq memohon maaf kepada Nabi ﷺ tidak ikut jihad dengan mengajukan sejuta alasan, maka Ka’ab ibn Malik memohon maaf kepada Nabi ﷺ tanpa mengajukan alasan apa pun, selain hanya mengaku salah. Itu saja. Titik.
Sebagaimana diceritakan oleh ‘Abdullah, putra Ka’ab, dan diriwayatkan oleh al-Bukhari, ketika sampai berita bahwasanya Rasulullah saw telah bersiap-siap kembali dari perang Tabuk, maka Ka’ab betul-betul diliputi kesedihan. Kata Ka’ab: “Saya sempat berniat merancang alasan untuk berdusta: ‘Alasan apa yang dapat menyelamatkan diri saya dari amarah Rasulullah? ‘ Saya pun sampai meminta saran kepada keluarga. Akan tetapi ketika sampai kabar bahwasanya Rasulullah saw hampir tiba di kota Madinah, hilanglah alasan untuk berdusta dari benak saya. Akhirnya saya menyadari bahwasanya saya tidak dapat berbohong sedikit pun kepada Rasulullah saw. Oleh karena itu, saya pun harus berkata jujur kepada beliau.”
Setelah Rasulullah saw tiba di kota Madinah, Ka’ab datang menemui Rasulullah saw. Setelah Ka’ab memberi salam, Rasul saw tersenyum seperti senyuman orang yang marah. Kemudian beliau berkata: “Kemarilah!” Lalu Ka’ab berjalan mendekati beliau hingga duduk tepat di hadapan beliau. Rasulullah saw lalu bertanya: “Mengapa kamu tidak ikut serta bertempur bersama kami hai Ka’ab? Bukankah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu untuk Islam?” Ka’ab menjawab: “Ya Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di dekat orang selain diri engkau, niscaya saya yakin bahwasanya saya akan terbebaskan dari kemurkaannya karena alasan dan argumentasi yang saya sampaikan. Tetapi, demi Allah, saya tahu jika sekarang saya menyampaikan kepada engkau alasan yang penuh dusta hingga membuat engkau tidak marah, tentu Allahlah yang membuat engkau marah kepada saya. Apabila saya mengemukakan kepada engkau, ya Rasulullah, alasan saya yang benar dan jujur, lalu engkau akan memarahi saya dengan alasan tersebut, maka saya pun akan menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberi hukuman kepada saya dengan ucapan saya yang jujur tersebut. Demi Allah, sesungguhnya tidak ada udzur yang membuat saya tidak ikut serta berperang. Demi Allah, saya tidak berdaya sama sekali kala itu meskipun saya mempunyai peluang yang sangat longgar sekali untuk ikut berjuang bersama kaum muslimin.” Mendengar pengakuan yang tulus itu, Rasulullah pun berkata: “Orang ini telah berkata jujur dan benar. Oleh karena itu, berdirilah hingga Allah memberimu keputusan.” Kemudian Ka’ab pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau.
Tidak lama kemudian, ada beberapa orang dari Bani Salimah beramai-ramai mengikuti Ka’ab seraya menasihatinya untuk mengikuti langkah orang-orang yang mengajukan alasan kepada Rasulullah saw agar langsung diampuni oleh beliau. Mereka terus mendesak Ka’ab dengan dalih, bukankah Ka’ab sebelumnya tidak pernah berbuat kesalahan? Jadi jika sekali ini saja mengajukan alasan seperti orang-orang yang tidak ikut perang pada umumnya, maka tidak jadi soal. Desakan itu sempat membuat Ka’ab untuk berbalik lagi menemui Rasulullah saw dan mengajukan alasan sebagaimana yang disarankan mereka. Akan tetapi Ka’ab tetap bertekad untuk tetap dalam kejujurannya. Apalagi setelah diberitahu bahwasanya ada dua shahabat lain; Murarah ibn Rabi’ah Al-Amin dan Hilal ibn Ummayah Al-Waqifi, yang juga bersikap sama dengan Ka’ab.
Beberapa hari kemudian, Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan mereka bertiga yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai menjauhi dan berubah sikap, “Sehingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya, bumi ini bukanlah bumi yang pernah saya huni sebelumnya,” demikian Ka’ab menuturkan. “Dua orang teman saya yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk bersimpuh sedih di rumahnya sambil menangis, sedangkan saya, karena saya seorang anak muda, saya tetap bersikap wajar dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Saya tetap keluar dari rumah, pergi ke masjid untuk menghadiri shalat berjama’ah bersama kaum muslimin lainnya, dan berjalan-jalan di pasar meskipun tidak ada seorang pun yang sudi berbicara dengan saya. Hingga pada suatu ketika saya menghampiri Rasulullah saw sambil memberikan salam kepadanya, saya bertanya dalam hati: ‘Apakah Rasulullah saw akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam ataukah tidak?’ Tetapi rupanya tidak.”
Selang beberapa hari, ketika Ka’ab berjalan di pasar Madinah, ada seorang laki-laki dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah bertanya: “Siapakah yang dapat menunjukkan kepada saya di mana Ka’ab ibn Malik?” Lalu orang-orang pun menunjukkannya kepada Ka’ab, hingga orang tersebut datang sambil menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Ternyata isi surat tersebut sebagai berikut: “Kami mendengar bahwasanya temanmu (maksudnya Rasulullah saw) telah mengisolirmu dari pergaulan umum, sementara Tuhanmu sendiri tidaklah menyia-nyiakanmu seperti itu. Oleh karena itu, bergabunglah dengan kami, niscaya kami akan menolongmu.” Selesai membaca surat itu, Ka’ab berkata kepada dirinya, “Surat ini merupakan sebuah bencana bagi saya.” Lalu Ka’ab membakarnya hingga musnah.
Setelah empat puluh hari lamanya dari pengucilan masyarakat umum, wahyu Allah tidak juga turun. Hingga pada suatu ketika, seorang utusan Rasulullah saw mendatangi Ka’ab sambil menyampaikan pesan: “Hai Ka’ab, sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkanmu untuk menghindari istrimu.” Saya bertanya: “Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?” Utusan tersebut menjawab: “Tidak usah, cukup kamu menghindarinya saja dan jangan mendekatinya.” Maka Ka’ab pun menyuruh istrinya pulang kepada orang tuanya. Waktu itu istri Hilal ibn Umayyah memohon kepada Rasulullah saw untuk tetap bisa menyertai Hilal, karena ia sudah tua dan tidak ada yang mengurus. Ketika keluarga Ka’ab mengetahui hal tersebut, mereka juga menyarankannya untuk memohon izin pengecualian kepada Rasul saw. Akan tetapi Ka’ab enggan seraya berkata: “Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw dalam persoalan ini. Karena bagaimanapun, saya tidak akan tahu bagaimana jawaban Rasulullah saw nanti jika saya meminta izin kepada beliau padahal saya masih muda.” Hal seperti itu berlangsung 10 malam, hingga genaplah 50 malam kaum muslimin dilarang berbicara kepada mereka bertiga.
Keesokan harinya, setelah Ka’ab bin Malik shalat shubuh, ketika bumi yang luas ini sudah betul-betul terasa sempit olehnya, tiba-tiba ada seseorang berteriak: “Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!” Maka Ka’ab pun tersungkur sujud karena yakin bahwasanya ia telah mendapatkan pengampunan. Pada waktu itu memang, usai shalat Shubuh, Rasulullah saw mengumumkan kepada kaum muslimin bahwasanya Allah swt telah mengampuni mereka bertiga, dengan turunnya firman Allah swt: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9] : 118).
Ka’ab menjelaskan, sungguh keberaniannya untuk jujur waktu itu merupakan sebuah anugerah yang tak terhingga sehingga ia kemudian tidak disatukelompokkan oleh Allah swt dengan orang-orang munafiq; orang-orang yang mengajukan alasan kepada Rasul saw dan Rasul saw pun membiarkan mereka seraya menyerahkannya kepada Allah swt. Karena, kata Ka’ab, waktu itu Allah swt membongkar kebohongan mereka dan menjelaskan kemunafiqan mereka secara nyata melalui firman-Nya dalam QS. At-Taubah [9] : 95-96. Ka’ab menegaskan:
إِنَّ اللَّهَ إِنَّمَا نَجَّانِي بِالصِّدْقِ وَإِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ لَا أُحَدِّثَ إِلَّا صِدْقًا مَا بَقِيتُ فَوَاللَّهِ مَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ أَبْلَاهُ اللَّهُ فِي صِدْقِ الْحَدِيثِ مُنْذُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحْسَنَ مِمَّا أَبْلَانِي مَا تَعَمَّدْتُ مُنْذُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِلَى يَوْمِي هَذَا كَذِبًا وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ يَحْفَظَنِي اللَّهُ فِيمَا بَقِيتُ
“Allah telah menyelamatkanku dengan kejujuran. Dan sungguh di antara taubatku adalah aku tidak akan berkata kecuali yang jujur selama aku hidup. Demi Allah, aku tidak pernah tahu ada orang lain dari kaum muslimin yang diuji Allah dalam kejujuran perkataan semenjak aku menyatakannya kepada Rasulullah saw, yang lebih baik dariku dalam hal ketahanan untuk jujur seperti yang telah aku kemukakan kepada Rasulullah, sampai hari ini. Dan sungguh aku berharap semoga Allah senantiasa menjagaku untuk tetap seperti ini selama aku hidup.” (Shahih al-Bukhari kitab manaqib al-Anshar bab hadits Ka’ab ibn Malik no. 4418).
Inilah syarat utama dari taubat; mengaku jujur salah tanpa memakai alasan. Di samping itu juga siap menerima semua keputusan Allah dan Rasul-Nya demi menggugurkan kesalahannya. Jika seseorang mengaku bertaubat, tetapi masih saja memakai alasan “tetapi”, “karena”, dan semacamnya, maka taubatnya palsu. Statusnya tidak jauh beda dengan orang-orang munafiq. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.