Ramadlan

Penentuan Hari ‘Idul-Fithri Yang Benar

Penentuan hari ‘Idul-Fithri 1444 H kemungkinan besar akan ada perbedaan antara yang menggunakan hisab astronomis pada hilal (cahaya tipis bulan sabit) yang belum terlihat yakni 21 April 2023 dan yang mendasarkan pada hilal yang sudah terlihat yakni 22 April 2023. Umat Islam harus teguh pada pendirian bahwa penentuan ‘Idul-Fithri harus berdasar pada hilal yang sudah terlihat, sebab semua hadits yang memberikan tuntunan penentuan awal bulan mengharuskan untuk mendasarkannya pada melihat hilal, bukan pada hitungan hilal yang tidak bisa dilihat. Termasuk bukan pada merujukkannya ke Makkah dengan dalih tanggal kalender Masehinya sama. Penentuan awal bulan—sekali lagi—harus berdasar rukyat hilal, bukan pada kalender Masehi.

Fase astronomis akhir Ramadlan 1444 H terjadi pada hari Kamis, 20 April 2023 M, jam 11:12:27 wib. Pada saat maghrib 20 April 2023 M tinggi bulan di wilayah Indonesia antara 0°44’26” s.d 2°31’38” dan jarak bulan-matahari antara 1°28’26” s.d 3°05’12”. Merujuk pada data astronomis bahwa hilal hanya bisa dilihat jika ketinggiannya minimal 3° dan jarak bulan-matahari 6°04’, maka kemungkinan besar pada malam 20 April 2023 hilal tidak akan terlihat. Sehingga malam tersebut dan esok harinya, 21 April 2023, ditetapkan sebagai tanggal 30 Ramadlan 1444 H. Baru kemudian esok lusanya, 22 April 2023 ditetapkan sebagai hari ‘Idul-Fithri. Penentuan pastinya tetap harus menunggu hasil rukyat lapangan pada tanggal 20 April 2023 M dan sidang penetapan (itsbat) yang dipimpin oleh Kementerian Agama RI. Sementara kelompok yang mendasarkan pada hilal yang tidak terlihat dari sejak jauh hari sudah mengumumkan bahwa mereka akan melaksanakan shalat ‘Idul-Fithri pada 21 April 2023 M tanpa menunggu hasil rukyat dan itsbat.

Perlu ditekankan kembali bahwa Nabi saw hanya memberikan satu tuntunan dalam penentuan awal bulan, yakni melihat hilal (rukyat), bukan cukup mendasarkan pada hitungan hilal yang tidak bisa terlihat. Maka dari itu bisa dipastikan keliru kaum muslimin yang menetapkan hari ‘Idul-Fithri mendahului rukyat hilal dengan mendasarkannya pada hitungan hilal yang tidak bisa dilihat. Nabi saw bersabda dalam berbagai haditsnya:

لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian shaum (menetapkan awal Ramadlan) hingga melihat hilal. Janganlah kalian fithri (berbuka/berlebaran/’Idul-Fithri) hingga melihat hilal. Jika terhalang dari penglihatan kalian, maka genapkanlah (Hadits Ibn ‘Umar dalam Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw idza ra`aitumul-hilal fa shumu no. 1906).

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

Satu bulan itu 29 malam/hari. Janganlah kalian shaum (Ramadlan) hingga melihat hilal. Jika terhalang dari penglihatan kalian maka sempurnakan bilangan bulan yang sedang berjalan menjadi 30 hari. (Hadits Ibn ‘Umar dalam Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw idza ra`aitumul-hilal fa shumu no. 1907).

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Shaumlah (Ramadlan) kalian karena melihat hilal. Dan ber-fithri (berbuka/berlebaran/’Idul-Fithri)-lah kalian karena melihat hilal. Jika terhalang dari penglihatan kalian maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (Hadits Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw idza ra`aitumul-hilal fa shumu no. 1909).

Hadits-hadits di atas jelas memerintahkan untuk merukyat (mengamati sampai terlihat) hilal pada akhir bulan berjalan yakni selepas tanggal 29. Untuk konteks ‘Idul-Fithri berarti pada tanggal 29 Ramadlan. Jika pada malam tersebut hilal terlihat, maka malam tersebut dan esok harinya harus ditetapkan awal Syawwal. Tetapi jika tidak terlihat maka malam tersebut dan esok harinya harus ditetapkan sebagai hari ke-30 dari bulan Ramadlan, dan awal Syawwal ditetapkan esok lusanya. Perintah dan larangan itu membawa konsekuensi hukum wajib dan haram. Artinya wajib menetapkan ‘Idul-Fithri berdasarkan rukyat, dan haram menetapkan ‘Idul-Fithri tidak berdasar rukyat. Kalaupun hisab (penghitungan astronomi) mau digunakan, diperbolehkan sebagai pemandu data saja. Penentuan akhirnya tetap harus berdasarkan rukyat di lapangan.

Hadits-hadits juga memberikan tuntunan bahwa dalam tataran teknisnya setiap perukyat tidak kemudian mengumumkan penetapan awal bulan secara mandiri, melainkan melaporkannya dahulu kepada Nabi saw. Setelah itu ia akan diminta bersumpah, dan setelah pasti bahwa ia telah merukyat berdasarkan sumpah, baru kemudian Nabi saw menetapkan penentuan awal bulan. Kedudukan Nabi saw dalam kaitan urusan keumatan hari ini adalah otoritas tunggal di satu wilayah atau Ulil-Amri. Dalam konteks wilayah Indonesia, Ulil-Amri tersebut tentunya Pemerintah RI yang dalam hal ini adalah sidang itsbat yang dipimpin oleh Kemenag RI dan MUI dengan melibatkan semua perwakilan umat Islam. Maka dari itu selain menuggu hasil rukyat, penentuan awal bulan untuk ‘Idul-Fithri juga harus menunggu itsbat dari Kemenag RI.

Shahabat Ibn ‘Umar ra pernah melaporkan:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal dan saling memberitahukannya. Aku lalu memberitahu Rasulullah saw bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau shaum dan memerintahkan orang-orang untuk shaum (Hadits Ibn ‘Umar dalam Sunan Abi Dawud bab fi syahadatil-wahid ‘ala ru`yatil-hilal no. 2344).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ ﷺ فَقَالَ إِنِّى رَأَيْتُ الْهِلاَلَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Ada seorang Arab dari pedusunan datang kepada Nabi saw dan berkata: “Sungguh aku melihat hilal.” Beliau bertanya: “Apakah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk shaum besok.” (Sunan Abi Dawud bab fi syahadatil-wahid ‘ala ru`yatil-hilal no. 2342).

Baik hadits Ibn ‘Umar atau Ibn ‘Abbas ra di atas sama-sama menginformasikan bahwa penetapan awal bulan tidak pada rukyatnya semata, melainkan pada penetapan dari Nabi saw. Meski dalam hadits Ibn ‘Abbas ra yang melihat hilalnya hanya seorang Arab dari pedusunan saja dan tidak diketahui ada orang lain yang melihatnya, maka laporan dari seseorang tersebut sah untuk dijadikan dasar penetapan awal bulan. Persyaratan yang diminta oleh Nabi saw juga adalah kepastian statusnya sebagai seorang muslim. Ketika jelas orang yang tidak dikenal tersebut seorang muslim, maka kesaksiannya melihat hilal sah untuk dijadikan dasar hukum penetapan awal bulan. Interogasi dari Nabi saw akan syahadat orang Arab tersebut berarti meminta sumpah dari orang tersebut bahwa ia benar-benar telah masuk Islam. Dalam konteks ini para ulama memahami bahwa interogasi dari Ulil-Amri kepada perukyat harus dilakukan dan itu berarti dengan sumpah.

Berdasarkan dalil-dalil di atas jelas diketahui bahwa penetapan awal bulan harus didasarkan pada rukyat dan itsbat. Dalam itsbat pun cukup berdasarkan pengakuan seseorang yang melihat hilal dengan sumpah, tidak perlu banyak apalagi semua orang melihat hilal. Maka dari itu umat Islam sudah seyogianya menunggu hasil rukyat dan itsbat pada Kamis maghrib, 20 April 2023 nanti.

Bagi yang sudah dari sejak awal menetapkan awal Syawwal 1444 H jatuh pada Jum’at, 21 April 2023 berdasarkan hisab astronomis hilal yang tidak bisa dilihat, maka sudah jelas kelirunya. Dalil-dalil mengharuskan penetapan awal bulan berdasarkan rukyat, bukan berdasarkan hisab astronomis tanpa rukyat apalagi yang pasti tidak akan terlihat. Meski tentunya umat Islam tetap dituntut untuk menjaga kerukunan di antara sesamanya, jangan sampai menjadi ajang saling menghina dan mencaci maki.

Dalam tataran praktiknya nanti, ketinggian bulan di Makkah dan Madinah kemungkinan besar sudah tinggi, karena semakin ke Barat hilal akan semakin tinggi ketika matahari terbenam. Sehingga kemungkinannya hari ‘Idul-Fithri di Tanah Suci akan ditetapkan pada hari Jum’at, 21 April 2023 M. Perlu ditekankan lagi di sini bahwa penentuan awal bulan itu harus berdasar pada rukyat hilal di lapangan, bukan pada kalender masehi. Maka dalih bahwa hari dan tanggal masehi antara Indonesia dan Saudi Arabia sama, sehingga ‘Idul-Fithrinya pun harus sama tidak bisa diterima sama sekali. Demikian juga dalih perbedaan waktu Indonesia dan Saudi Arabia 4 jam lebih dahulu Indonesia daripada Saudi Arabia tidak bisa diterima, karena ketika penentuan awal bulannya berbeda maka perbedaan waktu Indonesia dan Saudi Arabia bukan lagi 4 jam, melainkan 20 jam; Saudi Arabia terlebih dahulu baru kemudian Indonesia di keesokan harinya, sehingga otomatis ada perbedaan hari ‘Idul-Fithri antara Saudi Arabia dengan Indonesia. Secara kalender masehi pastinya akan berbeda; Saudi Arabia 21 April 2023 M sedangkan Indonesia 22 April 2023 M. Akan tetapi secara kalender Hijriah tetap sama, baik Saudi Arabia ataupun Indonesia, sama-sama ‘Idul-Fithri pada tanggal 1 Syawwal 1444 H. Ada perbedaan hari sangat logis karena perbedaan waktunya 20 jam, bukan 4 jam. Saudi Arabia dahulu, baru kemudian 20 jam berikutnya Indonesia.

Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button