Jika I’tikaf Sempurna Belum Mampu Diamalkan 

Nabi ﷺ mencari keutamaan lailatul-qadar dengan cara i’tikaf sempurna; 10 hari 10 malam tanpa terputus. Tetapi beliau juga menganjurkan orang yang tidak mampu i’tikaf sempurna untuk mencari lailatul-qadar sesuai kadar kemampuannya; boleh di tujuh malam, lima malam, dan minimalnya tiga malam. Boleh dengan terjaga di sepanjang malam dan boleh juga dengan tidur dahulu kemudian bangun di tengah malam sampai shubuh. 


 

Keterkaitan erat amal i’tikaf dengan mengejar keutamaan lailatul-qadar disabdakan Nabi saw sebagai berikut: 

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ  

“Sungguh aku i’tikaf dari 10 hari pertama untuk mencari malam itu (lailatul-qadar), lalu aku beri’tikaf lagi di 10 hari pertengahan. Kemudian aku diberitahu bahwasanya lailatul-qadar ada di 10 hari terakhir. Maka siapa di antara kalian yang ingin (melanjutkan) i’tikaf (sampai 10 hari terakhir), maka i’tikaflah.” Orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828). 

Hadits di atas momentumnya pada awal pensyari’atan, dimana Nabi saw belum diberi tahu kapan waktu lailatul-qadar sehingga Nabi saw i’tikaf dari awal Ramadlan. Setelah diberi tahu lailatul-qadar ada di 10 hari terakhir Ramadlan, maka Nabi saw pun i’tikaf di 10 hari terakhir dan merutinkannya serta mengajak kaum muslimin yang bersedia waktunya untuk i’tikaf bersama beliau. Sejak saat itu Nabi saw tidak pernah lepas dari i’tikaf di 10 hari terakhir Ramadlan hingga akhir hayatnya. ‘Aisyah ra menjelaskan: 

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ 

Nabi saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (Shahih al-Bukhari kitab al-i’tikaf bab al-i’tikaf fil-‘asyril-awakhir no. 1922). 

Hadits di atas sekaligus memberi tahu bahwa istri-istri Nabi saw tidak ada yang ikut i’tikaf bersama beliau. Dalam hadits-hadits tema i’tikaf diketahui bahwa Nabi saw tidak mengizinkan istri-istrinya untuk ikut i’tikaf bersama beliau. Meski demikian larangan itu bersifat sementara saja, bukan haram mutlak, buktinya istri-istri Nabi saw i’tikaf setelah kewafatan beliau. Fiqihnya karena ketika Nabi saw hidup ada kewajiban istri yang tidak boleh ditinggalkan yakni melayani segala kebutuhan suami dan keluarganya. Ketika Nabi saw wafat dan kewajiban itu sudah gugur, maka istri-istri Nabi saw leluasa untuk i’tikaf. 

Meskipun istri-istri Nabi saw tidak ada yang i’tikaf bukan berarti keutamaan lailatul-qadar boleh diabaikan begitu saja. Nabi saw menggerakkan semua istri dan keluarganya untuk bangun di waktu malam meski sudah tidur dahulu di awal malam. Yang idealnya tentu seperti yang Nabi saw contohkan; terjaga di sepanjang malam. ‘Aisyah ra menjelaskan: 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ 

Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan, mempererat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024 dan Shahih Muslim kitab al-i’tikaf bab al-ijtihad fil-‘asyril-awakhir min syahri Ramadlan no. 2844). 

Ini harus dijadikan dasar sunnah untuk pengamalan mencari keutamaan lailatul-qadar. I’tikaf dengan terjaga di sepanjang malam, itu adalah yang paling utama karena itulah yang Nabi saw teladankan dan anjurkan. Jika tidak mampu maka minimalnya bangun di tengah malam meski sudah tertidur dahulu di awal malamnya dan terus terjaga sampai terbit fajar guna meraih salamun hiya hatta mathla’il-fajr. 

Dari aspek jumlah malamnya, yang paling ideal tentu yang Nabi saw teladankan dan anjurkan yakni 10 hari (dan malam) terakhir Ramadlan. Tetapi jika tidak memungkinkan Nabi saw menganjurkannya untuk memilih antara tujuh malam, lima malam, dan minimalnya tiga malam. Anjuran untuk meraih keutamaan lailatul-qadar secara sempurna pada 10 malam terakhir Ramadlan disabdakan Nabi saw sebagai berikut: 

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ 

Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2020 dari hadits ‘Aisyah). 

Anjuran untuk mencari keutamaan lailatul-qadar pada tujuh hari terakhir disabdakan Nabi saw sebagai berikut: 

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى 

Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir. Jika salah seorang di antaramu lemah atau payah, maka jangan sampai terlewatkan pada yang tujuh hari tersisanya (Shahih Muslim bab fadlli lailatil-qadr wal-hats ‘ala thalabiha no. 2822 dari hadits Ibn ‘Umar). 

Anjuran untuk mencari keutamaan lailatul-qadar pada lima hari terakhir disabdakan Nabi saw sebagai berikut: 

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ 

Carilah lailatul-qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489). 

Sementara anjuran untuk mencari keutamaan lailatul-qadar minimalnya pada tiga hari terakhir Ramadlan disabdakan Nabi saw sebagai berikut: 

فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ 

Maka carilah ia pada hari ke-9, ke-7, ke-5 [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023 dari hadits ‘Ubadah ibn as-Shamit). 

Maksud hari/malam ke-9, 7, dan 5 itu, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang paling tepat adalah malam ke-29, 27, dan 25. Bisa juga maksudnya sebagaimana dijelaskan di hadits berikutnya yakni malam ke-9 dari yang tersisa, maksudnya malam 21, malam ke-7 berarti malam 23, dan malam ke-5 berarti malam 25. 

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى 

Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir Ramadlan, yakni pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 dari yang tersisa (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2021 dari hadits Ibn ‘Abbas). 

Pilihan lainnya selain 21-23-25 dan 25-27-29 adalah 23-25-27 sebagaimana diinformasikan oleh Abu Dzar ra sebagai berikut: 

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ. قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ 

Dari Abu Dzar, ia berkata: Kami shaum Ramadlan bersama Rasulullah saw. Beliau tidak shalat malam bersama kami pada satu malam pun sehingga tersisa tujuh hari lagi (malam ke-23), lalu beliau shalat malam bersama kami sampai lewat sepertiga malam. Lalu pada malam keenam (dari yang tersisa, yakni malam ke-24), beliau tidak shalat malam bersama kami. Pada malam kelima (dari yang tersisa, yakni malam ke-25) beliau shalat malam bersama kami sampai lewat tengah malam. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya saja anda sunatkan untuk kami shalat pada malam ini semalaman (tidak hanya setengah malam).” Beliau menjawab: “Sungguh seseorang itu jika shalat (‘isya, shubuh, atau shalat malam) bersama imam sampai selesai, itu sudah dihitung shalat malam semalaman.” Kemudian pada malam keempat (dari yang tersisa, yakni malam ke-26) beliau tidak shalat malam (bersama jama’ah). Kemudian pada malam ketiga (dari yang tersisa, yakni malam ke-27) beliau mengumpulkan keluarga, istri-istrinya, dan semua orang yang ada. Beliau shalat malam bersama kami sampai kami takut ketinggalan falah. Aku (Jubair ibn Nufair) bertanya: “Apa falah itu?” Abu Dzar menjawab: “Sahur.” Kemudian beliau tidak shalat malam lagi di sisa bulan Ramadlan tersebut (Sunan Abi Dawud bab fi qiyam syahri Ramadlan no. 1377; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi qiyam syahri Ramadlan no. 806. al-Albani: Hadits shahih). 

Dari kesemua hadits yang memerintahkan mencari keutamaan lailatul-qadar yang paling sedikitnya menyebutkan tiga malam. Tidak ditemukan yang minimal satu atau dua malam. Maka dari itu harus diupayakan minimal tiga malam. Tentunya sebagaimana Nabi saw sabdakan di atas terkait pilihan malam ganjil untuk lailatul-qadar, berarti yang tiga malam itu bisa dipilih yang mana saja asalkan pada malam-malam yang ganjil antara 21, 23, 25, 27, atau 29. Ini sekali lagi berlaku bagi mereka yang tidak mampu i’tikaf sempurna. Bagi yang mampu i’tikaf sempurna, pastinya yang dipilih oleh Nabi saw itulah yang paling ideal dan sempurna. Wal-‘Llahu a’lam. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *