Ketika Mengetahui Pasangan Selingkuh

Apa yang harus dilakukan oleh suami atau istri berdasarkan tuntunan syari’at ketika mengetahui pasangannya salingkuh?
Jika selingkuh yang dimaksud belum sampai hubungan sebadan atau zina yakni baru sampai nusyuz (tidak setia, melawan) maka al-Qur`an memberikan tuntunan sebagai berikut:
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS. an-Nisa` [4] : 34).
Nabi saw menjelaskan dalam hadits bahwa memisahkan tempat tidur itu masih satu rumah dan memukul yang dimaksud tidak sampai mencederakan (Tafsir Ibn Katsir). Ini jika kasus yang selingkuhnya dari pihak istri. Sementara jika dari pihak suami, Allah swt memberikan wewenang kepada pihak istri untuk memilih jalan perundingan yang terbaik:
وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. an-Nisa` [4] : 128).
Akan tetapi jika selingkuh yang dimaksud sudah sampai zina/hubungan sebadan, maka al-Qur`an menegaskan bahwa ia sudah haram menjadi suami/istri.
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (QS. an-Nur [24] : 3).
Konsekuensi hukum dari haram dalam pernikahan itu harus cerai, sebagaimana dalam kasus shahabat ‘Uqbah ibn al-Harits yang ternyata menikahi istri yang menjadi saudara sepersusuannya dan tentu itu haram dinikahi. Nabi saw menyatakan: “Kaifa wa qad qila; bagaimana lagi sudah demikian difirmankan-Nya?”. Maksudnya harus ditaati dan tidak boleh dilanjut pernikahannya. ‘Uqbah pun kemudian menceraikannya dan menikahi istri yang lainnya (Shahih al-Bukhari bab ar-rihlah fil-mas`alatin-nazilah no. 88).
Dikecualikan tentunya jika suami/istri itu siap bertaubat dengan sebenar-benarnya, maka statusnya sudah halal lagi (QS. al-Furqan [25] : 70-71). Meski demikian suami/istri pasangannya tetap berhak untuk memilih bercerai jika sudah yakin tidak akan mungkin lagi hidup rukun berumah tangga.
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا مِّن سَعَتِهِۦۚ وَكَانَ ٱللَّهُ وَٰسِعًا حَكِيمٗا
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana (QS. An-Nisa` [4] : 130).