Menyambut Sya’ban
Banyak sekali hadits yang menganjurkan amal-amal ibadah sunat pada bulan Sya’ban secara umum. Hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan Nishfu Sya’ban secara khusus pun memang ada. Tetapi tidak kemudian harus menyambutnya dengan membuat syari’at shalat dan shaum baru di luar yang sudah disyari’atkan.
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Siapa yang tidak mencintai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab at-targhib fin-nikah no. 5063).
Tentunya setiap pengkaji ilmu mempunyai tanggung jawab khusus dalam hal keilmuan, untuk tetap mengajarkannya sebagai ilmu, terlepas dari keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing individunya yang dapat ditoleransi berdasarkan firman Allah swt: la yukalliful-‘Llah nafsan illa wus’aha.
Nishfu Sya’ban
Perhatian umat Islam mayoritas yang lebih tertuju pada nishfu Sya’ban/pertengahan Sya’ban, dan itu biasanya diberlakukan pada tanggal 15 Sya’ban, memang tidak terlepas dari hadits-hadits yang menjelaskan fadlilah/keutamaannya secara khusus. Dua muhaddits kontemporer, Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan al-Albani, menilai hadits-hadits tersebut shahih atau hasan bi syawahidihi; shahih atau hasan karena banyak sanad yang menguatkannya. Penilaian seperti itu dalam istilah lainnya adalah shahih/hasan li ghairihi; shahih/hasan bukan karena sanad-sanadnya memang shahih/hasan secara sendirinya, melainkan justru sanad-sanad yang dimaksud tidak terlepas dari kedla’ifan. Akan tetapi karena dla’if-nya tidak ada yang sampai munkar atau terindikasi/terbukti sebagai pemalsuan hadits, maka secara otomatis kesemua sanadnya saling menguatkan, berdasarkan satu kaidah yang sudah disepakati oleh para ulama:
اَلْأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّيْ بَعْضُهَا بَعْضًا
Artinya: Hadits-hadits dla’if satu sama lain saling menguatkan
Dengan catatan apabila dla’if tersebut dari segi dlabth (hafalan) dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an atau hadits lain yang shahih. Adapun jika dla’ifnya itu dari segi ‘adalah seperti kadzdzab (pendusta), yadla’ul-hadits (memalsukan hadits), fisqur-rawi atau “tertuduh dusta” maka kaidah tersebut tidak dipakai (Thuruqul-Istinbath Dewan Hisbah bagian Beristidlal dengan Hadits no. 2).
Syaikh Syu’aib al-Arnauth diketahui menilai hadits ini shahih bi syawahidihi dalam takhrijnya terhadap beberapa kitab hadits seperti Shahih Ibn Hibban, Musnad Ahmad, Sunan Ibn Majah, dan Sunan at-Tirmidzi. Berikut disajikan analisa beliau terhadap hadits fadlilah nishfu Sya’ban yang diriwayatkan dalam Shahih Ibn Hibban:
ذِكْرُ مَغْفِرَةِ اللَّهِ جَلَّ وَعَلَا فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لِمَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ إِلَّا مَنْ أَشْرَكَ بِهِ أَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ
5665 –
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَافَى الْعَابِدُ بِصَيْدَا وَابْنُ قُتَيْبَةَ وَغَيْرُهُ قَالُوا: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْرَقُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو خُلَيْدٍ عُتْبَةُ بْنُ حَمَّادٍ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، وَابْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ يُخَامِرَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: يَطْلُعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Bab: Riwayat tentang Ampunan Allah jalla wa ‘ala pada Malam Nishfu Sya’ban bagi Orang Yang Dikehendaki oleh-Nya selain Orang Yang Musyrik kepada-Nya atau Orang Yang Memiliki Dendam Permusuhan dengan Saudaranya.
5665 – (Ibn Hibban berkata) Muhammad ibn al-Mu’afa seorang ahli ibadah di Shaida, Ibn Qutaibah, dan yang lainnya mengajarkan hadits kepada kami, mereka berkata: Hisyam ibn Khalid al-Azraq mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: Abu Khulaid ‘Utaibah ibn Hammad mengajarkan hadits kepada kami, dari al-Auza’i, dari Ibn Tsauban, dari bapaknya, dari Makhul, dari Malik ibn Yukhamir, dari Mu’adz ibn Jabal, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Allah turun kepada makhluqnya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni semua makhluqnya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi.” (Shahih Ibn Hibban kitab al-hazhr wal-ibahah)
Syu’aib al-Arnauth menjelaskan:
حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ بِشَوَاهِدِهِ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ إِلاَّ أَنَّ فِيْهِ انْقِطَاعاً، مَكْحُوْلٌ لَمْ يَلْقَ مَالِكَ بْنَ يُخَامِرَ. وأخرجه ابن أبي عاصم في “السنة” (512) والطبراني في “الكبير” 20/ (215) عن هشام بن خالد بهذا الإسناد. وذكره الهيثمي في “المجمع” 8/65 وقال: رواه الطبراني في “الكبير” و”الأوسط” ورجالهما ثقات. وأخرجه أبو نعيم في “الحلية” 5/191 من طريق أزهر بن المرزبان، عن عتبة بن حماد، به.
Hadits shahih berkat syawahidnya. Rawi-rawinya tsiqat kecuali ada keterputusan sanad. Makhul tidak pernah bertemu Malik ibn Yukhamir. Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkannya dalam kitab as-Sunnah (512) dan at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jamul-Kabir 20/215 dari Hisyam ibn Khalid dengan sanad seperti ini. al-Haitsami menyebutkannya dalam kitab Majma’uz-Zawa`id 8/65 dan berkata: “at-Thabrani meriwayatkannya dalam al-Mu’jamul-Kabir dan al-Mu’jamul-Ausath, rawi-rawinya tsiqat.” Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam Hilyatul-Auliya` 5/191 dari sanad Azhar ibn al-Marzaban, dari ‘Utbah ibn Hammad, dengan sanad yang sama (dari al-Auza’i, dari Ibn Tsauban, dari bapaknya, dari Makhul, dari Malik ibn Yukhamir, dari Mu’adz ibn Jabal, dari Nabi saw)
وفي الباب عن أبي موسى الأشعري عند ابن ماجة (1390) وابن أبي عاصم (510) واللالكائي (763). وعن أبي هريرة عند البزار (2046). وعن أبي ثعلبة عند ابن أبي عاصم (511) واللالكائي (760). وعن أبي بكر عند البزار (2045) وابن خزيمة في “الوحيد” ص 90 وابن أبي عاصم (509) واللالكائي في ” السنة ” (750). وعن عوف بن مالك عند البزار (2048). وعن عبد الله بن عمرو عند أحمد 176/2. وعن عائشة عند الترمذي (739) وأحمد 238/6 وابن ماجه (1389) واللالكائي (764). وَهَذِهِ الشَّوَاهِدُ وَإِنْ كَانَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَقَالٌ تُقَوِّي حَدِيْثَ الْبَابِ.
Dalam bab ini ada juga hadits dari: Abu Musa al-Asy’ari riwayat Ibn Majah (1390), Ibn ‘Ashim (510) dan al-Lalika`i (763); hadits Abu Hurairah riwayat al-Bazzar (2046); hadits Abu Tsa’labah riwayat Ibn Abi ‘Ashim (511) dan al-Lalika`i (760); hadits Abu Bakar riwayat al-Bazzar (2045), Ibn Khuzaimah dalam kitab al-Wahid hlm. 90, Ibn Abi ‘Ashim (509) dan al-Lalika`i dalam kitab as-Sunnah (750); hadits ‘Auf ibn Malik riwayat al-Bazzar (2048); hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr riwayat Ahmad 2/176; hadits ‘Aisyah riwayat at-Tirmidzi (739), Ahmad 6 : 238, Ibn Majah (1389) dan al-Lalika`i (764). Hadits-hadits penguat (syawahid) ini meskipun masing-masingnya ada masalah tetapi menguatkan hadits (Mu’adz) bab ini.
Uraian di atas menginformasikan bahwa hadits fadlilah nishfu Sya’ban tersebut diriwayatkan dari delapan shahabat; Mu’adz ibn Jabal, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Tsa’labah, Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Auf ibn Malik, ‘Abdullah ibn ‘Amr, dan ‘Aisyah. Kedelapan sanad tersebut tidak ada satu pun yang luput dari cacat. Tetapi cacat tersebut bukan cacat yang parah, sehingga bisa saling menguatkan dan menjadi shahih.
Lebih detailnya, dijelaskan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab as-Silsilah as-Shahihah, aspek-aspek dla’if dari sanad-sanad di atas, sebagai berikut:
Pertama, hadits Mu’adz ibn Jabal, sebagaimana dijelaskan di atas, dla’if karena sanadnya terputus; Makhul tidak pernah bertemu Malik ibn Yukhamir. Semua rawinya, termasuk Makhul dan Malik ibn Yukhamir, berstatus tsiqat (terpercaya akhlaq dan hafalannya).
Kedua, hadits Abu Tsa’labah. Ada dua sanad yang menyampaikan darinya: (1) al-Ahwash ibn Hakim, dari Muhashir ibn Habib, dari Abu Tsa’labah. Al-Ahwash ibn Hakim seorang rawi yang dla’if. (2) Makhul, dari Abu Tsa’labah. Al-Baihaqi berkata: Makhul dari Abu Tsa’labah ini mursal yang bagus. Maksudnya mursal (terputus), tetapi tidak mengurangi keakuratan berita yang disampaikan. Hadits yang dimaksud adalah:
ثنا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ عَنِ الْأَحْوَصِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ مُهَاصِرِ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَتْرُكُ أَهْلَ الضَّغَائِنِ وَأَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ
511- (Ibn Abi ‘Ashim berkata) ‘Amr ibn ‘Utsman mengajarkan hadits kepada kami, Muhammad ibn Harb mengajarkan hadits kepada kami, dari al-Ahwash ibn Hakim, dari Muhashir ibn Habib, dari Abu Tsa’labah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Apabila datang malam pertengahan Sya’ban, Allah ‘azza wa jalla turun kepada makhluqnya, lalu Dia mengampuni orang-orang beriman dan membiarkan (tidak mengampuni) orang-orang yang kotor hati dan dengki dengan (sebab) kedengkian mereka.” (as-Sunnah Ibn Abi ‘Ashim bab dzikr nuzul Rabbina tabaraka wa ta’ala ilas-sama`id-dunya lailatan-nishfi min Sya’ban).
Ketiga, hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr, dalam sanadnya ada Ibn Lahi’ah. Al-Haitsami dan al-Mundziri menilainya layyin (artinya ‘lembek’, karena meriwayatkan dari beberapa orang rawi tetapi tidak ada yang menilainya tsiqah). Rawi yang seperti ini bisa dirujuk jika ada mutabi’/penguat. Dan ternyata ada yaitu Risydin ibn Sa’ad ibn Huyay, yang sama dengan Ibn Lahi’ah meriwayatkan dari Huyay. Sanad Risydin diriwayatkan oleh Ibn Haiwaih (3/10).
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا حُيَيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ: مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
6642- (Imam Ahmad berkata) Hasan mengajarkan hadits kepada kami, Ibn Lahi’ah mengajarkan hadits kepada kami, Huyay ibn ‘Abdillah mengajarkan hadits kepada kami, dari ‘Abdurrahman al-Hubuli, dari ‘Abdullah ibn ‘Amr, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Allah ‘azza wa jalla turun kepada makhluqnya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni hamba-hamba-Nya, kecuali dua: Orang yang memusuhi dan yang membunuh orang.” (Musnad Ahmad, musnad ‘Abdillah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash).
Keempat, hadits Abu Musa, dla’if karena ada Ibn Lahi’ah dan ‘Abdurrahman ibn ‘Arzab, ayah dari ad-Dlahhak, yang majhul (tidak dikenal).
حَدَّثَنَا رَاشِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ رَاشِدٍ الرَّمْلِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ عَنْ الضَّحَّاكِ بْنِ أَيْمَنَ عَنْ الضَّحَّاكِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَرْزَبٍ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَسْوَدِ النَّضْرُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ الضَّحَّاكِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ نَحْوَهُ
1390- (Ibn Majah berkata) Rasyid ibn Sa’id ibn Rasyid ar-Ramli mengajarkan hadits kepada kami, al-Walid mengajarkan hadits kepada kami, dari Ibn Lahi’ah, dari ad-Dlahhak ibn Aiman, dari ad-Dlahhak ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Arzab, dari Abu Musa al-Asy’ari, dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Sungguh Allah turun pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni semua makhluqnya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi.”
(Ibn Majah berkata) Muhammad ibn Ishaq mengajarkan hadits kepada kami, Abul-Aswad an-Nadlr ibn ‘Abdil-Jabbar mengajarkan hadits kepada kami, Ibn Lahi’ah mengajarkan hadits kepada kami, dari az-Zubair ibn Sulaim, dari ad-Dlahhak ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Arzab, dari ayahnya, dari Abu Musa, dari Nabi saw, seperti yang sebelumnya (Sunan Ibn Majah abwab iqamatis-shalawat was-sunnah fiha bab ma ja`a fi lailatin-nishf min Sya’ban).
Beda sanad yang pertama dan kedua, di sanad yang kedua disebutkan bahwa ad-Dlahhak ibn ‘Abdirrahman ibn ‘Arzab menerima dari ayahnya, sementara di sanad pertama tidak disebutkan ayahnya, melainkan ad-Dlahhak menerima langsung dari Abu Musa.
Kelima, hadits Abu Hurairah, dalam sanadnya ada rawi bernama Hisyam ibn ‘Abdirrahman. Al-Haitsami berkata: “Aku tidak mengenalnya, tetapi rawi lainnya tsiqah.”
حدثنا أبو غسان روح بن حاتم حدثنا عَبْد الله بن غالب حدثنا هشام بن عَبْد الرَّحْمن عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صالحٍ عَنْ أَبِي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا كَانَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْباَنَ يَغْفِرُ اللهُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
9268- (al-Bazzar berkata) Abu Ghassan Rauh ibn Hatim mengajarkan hadits kepada kami, ‘Abdullah ibn Ghalib mengajarkan hadits kepada kami, Hisyam ibn ‘Abdurrahman mengajarkan hadits kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila datang malam pertengahan Sya’ban, Allah mengampuni semua hamba-Nya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi.” (Musnad al-Bazzar)
Keenam, hadits Abu Bakar as-Shiddiq, dalam sanadnya ada ‘Abdul-Malik ibn ‘Abdil-Malik. Al-Bukhari berkata: “fi haditsihi nazhar; dalam haditsnya ada yang harus ditinjau ulang.” Al-Baihaqi berkata: Sanadnya tidak ada masalah. Al-Haitsami berkata: Ibn Abi Hatim tidak mendla’ifkannya, dan rawi-rawi lainnya tsiqat.
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ قَالَ: نا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ: نا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ أَوْ عَمِّهِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَنْزِلُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا مَا كَانَ مِنْ مُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ لِأَخِيهِ.
وَهَذَا الْحَدِيثُ لَا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَنْ أَبِي بَكْرٍ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ أَبِي بَكْرٍ، وَأَعْلَى مَنْ رَوَاهُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَبُو بَكْرٍ وَإِنْ كَانَ فِي إِسْنَادِهِ شَيْءٌ فَجَلَالَةُ أَبِي بَكْرٍ تُحَسِّنُهُ، وَعَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ لَيْسَ بِمَعْرُوفٍ، وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَنَقَلُوهُ وَاحْتَمَلُوهُ فَذَكَرْنَاهُ لِذَلِكَ
(al-Bazzar berkata) ‘Amr ibn Malik mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: ‘Abdullah ibn Wahb mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: ‘Amr ibn al-Harits mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: ‘Abdul-Malik ibn ‘Abdil-Malik mengajarkan hadits kepadaku, dari Mush’ab ibn Abi Dzi`b , dari al-Qasim ibn Muhammad, dari ayahnya atau pamannya, dari Abu Bakar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila datang malam pertengahan Sya’ban, Allah tabaraka wa ta’ala turun ke langit palling bawah, lalu Dia mengampuni semua hamba-Nya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi saudaranya.”
(Al-Bazzar berkata) Hadits ini tidak kami ketahui diriwayatkan dari Abu Bakar selain dengan sanad ini. Sungguh telah diriwayatkan juga dari selain Abu Bakar. Tetapi yang paling tinggi meriwayatkan kepada Nabi saw adalah Abu Bakar. Meskipun dalam sanadnya ada sesuatu, tetapi kemuliaan Abu Bakar telah memperbagusnya. ‘Abdul-Malik ibn ‘Abdul-Malik tidak dikenal. Para ulama telah meriwayatkan hadits ini, menukilnya, dan menggunakannya. Oleh karena hal itu kami pun menyebutkannya (Musnad al-Bazzar).
Ketujuh, hadits ‘Auf ibn Malik, dalam sanadnya ada Ibn Lahi’ah yang meriwayatkan dari ‘Abdurrahman ibn Ziyad ibn An’am. Al-Haitsami berkata: ‘Abdurrahman dinilai tsiqah oleh Ahmad ibn Shalih, tetapi dinilai dla’if oleh mayoritas ulama.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو صَالِحٍ الْحَرَّانِيُّ يَعْنِي عَبْدَ الْغَفَّارِ بْنَ دَاوُدَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادِ بْنِ أَنْعَمَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : يَطَّلِعُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لَهُمْ كُلِّهِمْ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
2754- (al-Bazzar berkata) Ahmad ibn Manshur mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: Abu Shalih al-Harrani, yakni ‘Abdul-Ghaffar ibn Dawud mengabarkan hadits kepada kami, ia berkata: ‘Abdullah ibn Lahi’ah mengabarkan hadits kepada kami, dari ‘Abdurrahman ibn Ziyad ibn An’am, dari ‘Ubadah ibn Nusay, dari Katsir ibn Murrah, dari ‘Auf (ibn Malik) ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Allah tabaraka wa ta’ala turun kepada makhluqnya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni semua makhluqnya kecuali orang musyrik atau yang memusuhi.” (Musnad al-Bazzar).
Kedelapan, hadits ‘Aisyah, dalam sanadnya ada Hajjaj ibn Arthah yang meriwayatkan secara tadlis (plagiat).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ: أَخْبَرَنَا الحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ لَيْلَةً فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالبَقِيعِ، فَقَالَ: أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ. وَفِي البَابِ عَنْ أَبِي بَكرٍ الصِّدِّيقِ. حَدِيثُ عَائِشَةَ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ الحَجَّاجِ، وَسَمِعْتُ مُحَمَّدًا يُضَعِّفُ هَذَا الحَدِيثَ وقَالَ: يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ، وَالحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ
739- (at-Tirmidzi berkata) Ahmad ibn Mani’ mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: Yazid ibn Harun mengajarkan hadits kepada kami, ia berkata: al-Hajjaj ibn Arthah mengabarkan hadits kepada kami, dari Yahya ibn Katsir, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku kehilangan Rasulullah saw pada satu malam, lalu aku keluar dan ternyata beliau sedang ada di Baqi’ (pemakaman). Beliau bersabda: “Apakah kamu takut Allah dan Rasul-Nya mencelakakanmu?” Aku jawab: “Wahai Rasulullah, aku kira anda pergi ke istri yang lain.” Beliau bersabda: “Sungguh Allah ‘azza wa jalla turun pada malam pertengahan Sya’ban ke langit paling bawah, lalu Dia mengampuni dosa yang lebih banyak daripada jumlah bulu domba bani Kalb.”
Dalam bab ini ada juga hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq. Hadits ‘Aisyah tidak kami ketahui kecuali dari sanad ini, dari hadits al-Hajjaj. Abu mendengar Muhammad (al-Bukhari) mendla’ifkan hadits ini. Ia berkata: Yahya ibn Katsir tidak mendengar dari ‘Urwah, dan al-Hajjaj ibn Arthah tidak mendengar dari Yahya ibn Katsir (Sunan at-Tirmidzi abwab as-shaum bab ma ja`a fi lailatin-nishf min Sya’ban).
Dari kedelapan sanad di atas, Syaikh al-Albani menyimpulkan sebagai berikut:
وَجُمْلَةُ الْقَوْلِ أَنَّ الْحَدِيْثَ بِمَجْمُوْعِ هَذِهِ الطُّرُقِ صَحِيْحٌ بِلاَ رَيْبٍ وَالصِّحَّةُ تَثْبُتُ بِأَقَلَّ مِنْهَا عَدَدًا مَا دَامَتْ سَالِمَةً مِنَ الضَّعْفِ الشَّدِيْدِ كَمَا هُوَ الشَّأْنُ فِي هَذَا الْحَدِيْثِ. فَمَا نَقَلَهُ الشَّيْخُ الْقَاسِمِي رحمه الله تعالى فِي “إِصْلاَحِ الْمَسَاجِدِ” (ص 107) عَنْ أَهْلِ التَّعْدِيْلِ وَالتَّجْرِيْحِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي فَضْلِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ، فَلَيْسَ مِمَّا يَنْبَغِي الْاِعْتِمَادُ عَلَيْهِ، وَلَئِنْ كَانَ أَحَدٌ مِنْهُمْ أَطْلَقَ مِثْلَ هَذَا الْقَوْلَ فَإِنَّمَا أُوْتِيَ مِنْ قِبَلِ التَّسَرُّعِ وَعَدَمِ وُسْعِ الْجُهْدِ لِتَتَبُّعِ الطُّرُقِ عَلَى هَذَا النَّحْوِ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْكَ. واللهُ تعالى هُوَ الْمُوَفِّقُ.
Kesimpulannya, hadits ini dengan mengumpulkan kesemua sanadnya shahih tanpa diragukan lagi. Keshahihan tersebut telah kuat dengan sanad yang lebih sedikit darinya sekalipun selama selamat dari dla’if parah sebagaimana yang ada dalam hadits ini. Maka apa yang dikutip oleh Syaikh al-Qasimi rahimahullah ta’ala dalam kitab ‘Ishlahul-Masajid’ dari ulama ahli jarh dan ta’dil bahwasanya tidak ada hadits shahih yang menjelaskan keutamaan pertengahan Sya’ban, itu termasuk pendapat yang tidak bisa dijadikan rujukan. Jika ada seorang ulama ahli jarh dan ta’dil mengungkapkan secara gamblang seperti pernyataan tersebut, maka itu disebabkan terlalu cepat menyimpulkan tanpa mencurahkan terlebih dahulu pikiran untuk menelusuri jalan-jalannya seperti yang sudah disajikan di hadapan anda ini. Hanya Allah ta’ala yang memberikan taufiq (Silsilah Ahaditsis-Shahihah no. 1144).
Hemat penulis, pernyataan Syaikh al-Qasimi di atas sebenarnya tidak salah juga, sebab memang semua sanad yang diuraikan al-Albani pun tidak ada yang shahih. Hanya mungkin Syaikh al-Qasimi belum mempraktikkan kaidah al-ahaditsud-dla’ifah yuqawwi ba’dluha ba’dlan.
Meski demikian, keshahihan hadits di atas tidak berarti pula menshahihkan hadits-hadits dla’if tentang amal-amal khusus di pertengahan Sya’ban, seperti hadits berikut ini:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ: أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ, أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ, أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ, أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Apabila masuk malam pertengahan Sya’ban, maka shalat tahajjudlah di waktu malamnya dan shaumlah di siang harinya, karena sungguh Allah turun padanya ke langit paling bawah dari mulai terbenamnya matahari sampai terbit fajar, lalu berfirman: Adakah yang akan meminta ampunan, pasti Aku akan mengampuni!? Adakah yang akan meminta rizki, Aku pasti akan memberinya rizki!? Adakah orang yang diuji, Aku akan memaafkannya!? Adakah yang begini, begini!? Sampai terbit fajar (Sunan Ibn Majah kitab iqamatis-shalat bab ma ja`a fi lailatin-nishfi min Sya’ban no. 1388).
Hadits ini maudlu’ disebabkan seorang rawi bernama Abu Bakar ibn Abi Sabrah seorang pemalsu hadits. Lihat as-Silsilah ad-Da’ifah al-Albani 5 : 131 no. 2132.
Maka dari itu Imam an-Nawawi sendiri, sebagai imam yang jadi rujukan utama dalam madzhab Syafi’i mengatakan:
فَصَلاَةُ الرَّغَائِبِ ثِنْتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي لَيْلَةِ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَب وَصَلاَةُ النِّصْفِ مِئَةَ رَكْعَةٍ، لَيْلَةَ نِصْفِ شَعْبَانَ وَهُمَا بِدْعَتَانِ مَذْمُوْمَتَانِ مُنْكَرَتَانِ، وَأَشَدُّهُمَا ذَمّاً الرَّغَائِبُ لِمَا فِيهَا من التَّغْيِيْرِ لِصِفَاتِ الصَّلاَةِ، وَلِتَخْصِيْصِ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ… وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ : “إيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةً. وَقَالَ ﷺ : “مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ”. وَهَاتَانِ مُحْدَثَتَانِ لَا أَصْلَ لَهُمَا. وَالْحَدِيْثُ الْوَارِدُ فِي سُنَنِ ابْنِ مَاجَهْ وَغَيره فِي صَلَاة النِّصْفِ ضَعِيفٌ
Shalat Ragha`ib 12 raka’at pada malam Jum’at pertama Rajab dan Shalat Nishf 100 raka’at pada malam nishfu Sya’ban, keduanya bid’ah tercela dan munkar. Yang paling tercela adalah shalat Ragha`ib karena mengubah praktik shalat dan mengkhususkan malam Jum’at… Sungguh Nabi saw bersabda: “Jauhilah oleh kalian urusan agama yang dibuat-buat, sebab setiap yang dibuat-buat baru adalah sesat.” Beliau juga bersabda: “Siapa yang mengamalkan amal yang tidak ada padanya perintah kami, maka tertolak.” Kedua shalat ini dibuat-buat dan tidak ada dasarnya. Hadits yang ada dalam Sunan Ibn Majah dan lainnya tentang shalat Nishf juga dla’if. (Khulashatul-Ahkam bab bayan hukmis-shalatain al-musammatain bi shalatain-nishf war-ragha`ib).
Demikian halnya dengan Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang shalat khusus malam nishfu Sya’ban:
وَسُئِلَ: عَنْ صَلَاةِ نِصْفِ شَعْبَانَ؟ فَأَجَابَ: إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَنُ. وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلَاةٍ مُقَدَّرَةٍ. كَالِاجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} دَائِمًا. فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Beliau ditanya tentang shalat nishfu Sya’ban. Beliau menjawab: “Apabila seseorang shalat (malam –pen) pada malam nishfu (Sya’ban) sendirian, atau pada satu jama’ah khusus sebagaimana dilakukan beberapa kelompok salaf, maka itu baik. Adapun berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan shalat tertentu, seperti berjama’ah shalat 100 raka’at membaca 1000 kali qul huwal-‘Llah ahad berulang-ulang, maka ini bid’ah yang tidak disukai oleh seorang imam pun. Wal-‘Llahu a’lam.”
Itu artinya janji ampunan khusus pada malam nishfu Sya’ban cukup disambut dengan menggiatkan shalat malam/tahajjud, lalu memperbanyak do’a. Meski sebenarnya ini seharusnya dilakukan di setiap malam, karena di setiap malam juga Allah swt turun ke langit yang paling bawah (Shahih al-Bukhari kitab at-tahajjud bab ad-du’a fis-shalat min akhiril-lail no. 1145; Shahih Muslim kitab shalat al-musafirin bab at-targhib fid-du’a wadz-dzikri fi akhiril-lail wal-ijabah fih no. 1808), tetapi mengingat ada penekanan khusus untuk malam nishfu Sya’ban ini, maka khusus untuk malam ini shalat malam plus istighfarnya jangan sampai terlewatkan.
Adapun shaum nishfu Sya’ban, maka yang ada dalam syari’at adalah shaum pertengahan bulan (ayyamul-bidl/tanggal 13, 14, 15) sebagaimana bulan lainnya. Atau itu adalah shaum Sya’ban secara keseluruhan di sepanjang bulan Sya’ban, termasuk pertengahan Sya’bannya.
Shaum Sya’ban
Shaum Sya’ban adalah shaum sunat di sepanjang bulan Sya’ban. Imam al-Bukhari mencantumkan dua hadits terkait shaum Sya’ban ini, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Rasulullah saw shaum sampai kami berkata ‘Beliau tidak buka’, dan berbuka sampai kami berkata ‘Beliau tidak shaum’. Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw shaum satu bulan sempurna kecuali Ramadlan. Dan aku tidak pernah melihat beliau banyak shaum dalam satu bulan melebihi bulan Sya’ban.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban no. 1969).
قَالَتْ عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ ﷺ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً دَاوَمَ عَلَيْهَا
‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—berkata: “Nabi saw tidak pernah shaum dalam satu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Sungguh beliau shaum Sya’ban keseluruhannya.” Beliau juga bersabda: “Beramallah semampu kalian, sebab Allah tidak akan bosan sehingga kalian bosan.” ‘Aisyah melanjutkan: “Shalat yang paling disukai Nabi saw adalah yang dawam (dilaksanakan terus menerus/rutin) meskipun sedikit (raka’atnya). Dan beliau apabila shalat satu shalat, beliau selalu merutinkannya.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban no. 1970. Diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shiyamin-Nabi fi ghairi Ramadlan no. 2778).
Maksud dua hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, Nabi saw selalu shaum sunat dalam bulan Sya’ban dan selainnya. Tetapi shaum sunat dalam bulan Sya’ban lebih banyak dibanding bulan-bulan lainnya, tentunya selain bulan Ramadlan yang wajib sebulan penuh (Fathul-Bari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban). Penjelasan dari ‘Aisyah dalam hadits yang kedua juga menegaskan bahwa maksud Nabi saw shaum Sya’ban kullahu (keseluruhannya), bukan berarti sebulan penuh, melainkan mu’zhamahu (kebanyakannya). Sebab hanya bulan Ramadlan saja Nabi saw shaum satu bulan penuh, dan ungkapan kullahu dalam makna mu’zhamahu dibenarkan oleh kaidah bahasa Arab. Dalam riwayat Muslim, ‘Aisyah menerangkan lebih jelas lagi apa maksud Nabi saw shaum Sya’ban kullahu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ … وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “…Aku tidak pernah melihat beliau shaum satu bulan pun yang lebih banyak daripada Sya’ban. Beliau shaum Sya’ban hampir keseluruhannya, hanya sedikit hari saja beliau tidak shaum.” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shiyamin-Nabiy fi ghairi Ramadlan no. 2778).
Fadlilah dari shaum Sya’ban dijelaskan oleh hadits riwayat an-Nasa`i berikut ini:
قال أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وهو شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Usamah ibn Zaid bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa aku tidak melihat anda shaum pada satu bulan sebagaimana shaum anda pada bulan Sya’ban?” Nabi saw menjawab: “Itu adalah bulan yang dilupakan oleh orang-orang, ada di antara Rajab dan Ramadlan, padahal pada bulan itu amal-amal diangkat kepada Rabbul-‘alamin, maka aku sangat ingin ketika amalku diangkat aku sedang dalam keadaan shaum.” (Sunan an-Nasa`i kitab as-shiyam bab shaumin-Nabiy bi abi huwa wa ummi no. 2357. Imam al-Albani menilainya hasan, disebabkan seorang rawi, Tsabit ibn Qais, yang shaduq yahim [jujur, tetapi kadang keliru]. Adapun rijal lainnya tsiqat [terpercaya]. Dalam Musnad Ahmad bab hadits Usamah ibn Zaid no. 20758; Sunan Abi Dawud no. 2436, Sunan at-Tirmidzi no. 747, dan Sunan an-Nasa`i 4 : 201-204, dijelaskan oleh Nabi saw bahwa Sya’ban ini sama halnya dengan Senin dan Kamis, dimana pada waktu itu amal-amal hamba diangkat dan Nabi saw ingin sedang dalam keadaan shaum).
Shaum Surar Sya’ban
Di bulan Sya’ban, shaum sunat lebih ditekankan lagi untuk diamalkan pada surar Sya’ban. Imam Muslim menulis tarjamah demikian dalam kitab Shahihnya. Hadits yang dijadikan rujukannya adalah:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ لَهُ أَوْ لآخَرَ أَصُمْتَ مِنْ سُرَرِ شَعْبَانَ. قَالَ لاَ. قَالَ فَإِذَا أَفْطَرْتَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ
Dari ‘Imran ibn Hushain—semoga Allah meridlai mereka berdua—bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya atau kepada orang lain (keraguan muncul dari perawi hadits. Dalam sanad lain disebut dengan tegas: kepada orang lain dan ‘Imran mendengarnya): “Apakah kamu shaum pada surar Sya’ban?” Ia menjawab: “Tidak.” Sabda Nabi saw: “Jika kamu sudah selesai (dari shaum Ramadlan), maka shaumlah dua hari (dalam sanad lain disebutkan dengan tegas ‘sebagai gantinya’).” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shaum surar Sya’ban no. 2808-2810).
Terkait makna surar (bisa juga dibaca sarar/sirar), terdapat ikhtilaf di kalangan para ulama. Imam an-Nawawi berpendapat bahwa yang dimaksud surar (dari kata surrah/pusat) adalah tengah bulan, dan itu adalah tanggal 13, 14, dan 15 (ayyamul-bidl). Sementara jumhur ulama, termasuk al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Qurthubi, berpendapat bahwa yang dimaksud surar adalah akhir bulan. Diambil dari kata sirr/rahasia, maksudnya malam ketika bulan menghilang, yakni tanggal 28, 29, 30. Jadi artinya surar Sya’ban itu dari mulai pertengahan sampai akhir Sya’ban.
Meskipun demikian, baik Imam an-Nawawi ataupun Ibn Hajar, sama-sama berpendapat bahwa sabda Nabi saw di atas ditujukan kepada seseorang yang sudah terbiasa shaum sunat tetapi tidak melaksanakannya di pertengahan-akhir bulan Sya’ban karena takut terkena larangan (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shaum surar Sya’ban; Fathul-Bari kitab as-shaum bab as-shaum fi akhirs-syahr). Larangan yang dimaksud ada dua, yang pertama adalah:
إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْهُ
Apabila tersisa setengah bulan Sya’ban maka janganlah kalian shaum (Sunan at-Tirmidzi kitab as-shaum bab karahiyatis-shaum fin-nishfits-tsani min Sya’ban no. 738; Sunan Abi Dawud kitab as-shaum bab karahiyati dzalika [washl Sya’ban bi Ramadlan] no. 2339)
Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam takhrij Sunan at-Tirmidzi dan Abu Dawud. Tetapi Imam Ahmad dan Ibn Ma’in menilainya munkar. Al-Baihaqi pun menilainya dla’if. Bagi yang menilainya shahih, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang dimaksud hadits ini adalah anjuran bagi mereka yang tidak terbiasa shaum untuk tidak shaum di 15 hari terakhir Sya’ban, agar nanti pas masuk bulan Ramadlan kondisi fisik mereka ada dalam keadaan prima. Larangan ini tentu tidak haram, sebab Nabi saw sendiri memperbanyak shaum di bulan Sya’ban, termasuk menganjurkan tetap shaum pada surar Sya’ban bagi yang biasa shaum, sebagaimana dinyatakannya pada hadits shuam surar Sya’ban di atas (Fathul-Bari kitab as-shaum bab la yataqaddam Ramadlan bi shaum yaum wa la yaumain).
Sementara larangan yang kedua adalah:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
Janganlah salah seorang di antara kalian sengaja mendahului Ramadlan dengan shaum satu hari atau dua hari, kecuali seseorang yang sedang shaum satu shaum (yang biasa/harus dilakukannya), hendaklah ia tetap shaum pada hari itu (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab la yataqaddam Ramadlan bi shaum yaum wa la yaumain no. 1914).
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, tidak mustahil ada orang yang terlalu ihtiyath (berhati-hati) karena takut sudah masuk Ramadlan, maka ia shaum sehari atau dua hari sebelumnya. Artinya ia sengaja untuk shaum di waktu itu dengan motif seperti itu. Inilah yang dilarang Nabi saw dalam hadits di atas. Sementara shaum yang biasa dilakukan (termasuk shaum surar Sya’ban ini) atau shaum yang harus dilakukan (seperti shaum qadla Ramadlan), tidak menjadi soal dilakukan pada dua hari menjelang Ramadlan, sebab Nabi saw sendiri memberikan pengecualian untuk itu (Fathul-Bari kitab as-shaum bab la yataqaddam Ramadlan bi shaum yaum wa la yaumain).
Berkaitan dengan dua larangan inilah, Nabi saw memberitahu kepada seorang shahabat yang biasa shaum sunat lalu tidak melaksanakannya di fase akhir Sya’ban karena berasumsi dilarang, untuk menggantinya sesudah bulan Ramadlan. Sebab jelas, di bulan Sya’ban sudah semestinya shaum sunat ditingkatkan, bukan malah berkurang. Ini menurut Ibn Hajar sebagai sebuah pendidikan dari Nabi saw agar setiap muslim mampu dawam terhadap setiap amal dan menjaga ke-dawam-an tersebut. Kalau perlu dengan meng-qadla (mengganti) shaum sunat yang terlewatkan dan memang sudah biasa diamalkan tersebut. Ini juga menurut Ibn Hajar merupakan dalil yang jelas dari adanya qadla dalam hal shaum sunat (Fathul-Bari kitab as-shaum bab as-shaum fi akhirs-syahr).
Wal-‘Llahu a’lam