Menjauh dari Riba

Kriteria Taqwa Yang Sering Diabaikan – Menjauh dari Riba

Hampir di setiap ayat yang melarang riba, Allah swt menyeru umat manusia untuk taqwa kepada-Nya. Artinya salah satu bukti ketaqwaan itu harus diwujudkan dengan menjauh dari riba. Shaum Ramadlan yang diperuntukkan membina taqwa pun salah satunya bisa terlihat pada sikap seseorang apakah sudah berani berlepas diri dari riba. Jika malah semakin besar nafsu untuk mengajukan kredit riba seiring bertambah besar nafsu kebutuhannya, maka semakin jelas juga jauh dari taqwanya.


Ayat pertama yang jelas mengaitkan kriteria taqwa dengan menjauhi riba adalah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. al-Baqarah [2] : 278-279).
Imam at-Thabari menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada beberapa shahabat yang sudah masuk Islam dan masih punya tagihan riba di atas utang pokok dari shahabat lainnya. Maka Allah swt memaafkan riba yang sudah diambil (QS. al-Baqarah [2] : 275) dan mengharamkan riba sisanya yang belum ditagih. Selanjutnya cukup menagih utang pokoknya saja tanpa ada riba apapun (Tafsir at-Thabari).
Imam at-Thabari menjelaskan maksud ayat di atas: “Hai orang-orang yang meyakini kebenaran Allah dan Rasul-Nya, takutlah kepada Allah atas diri kalian sendiri, takutlah kepada-Nya dengan menaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, tinggalkanlah tagihan riba yang lebih dari utang pokok yang kalian bebankan kepada peminjam, jika kalian benar-benar beriman dan terwujudkan dalam lisan dan perbuatan.”
Meski ayat di atas tertuju secara khusus kepada pihak rentenir, tetapi maksudnya tentu mencakup juga peminjam, pencatat, dan saksi-saksinya, sebagaimana diancam sama dalam hadits:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw melaknat pemakan riba, orang yang memberinya (kreditur), pencatatnya, dan kedua pihak saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih Muslim bab la’ni akilir-riba wa mu`kilahu no. 2995)
Sementara ayat kedua yang memerintahkan taqwa dengan menajuhi riba adalah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ  ١٣٠

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. Ali ‘Imran [3] : 130).
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini jelas mengharamkan praktik riba yang biasa terjadi di kalangan jahiliyyah dalam bentuk yang berlipat-lipat. Jika tempo yang pertama tidak terpenuhi maka memasuki tempo berikutnya ribanya otomatis berlipat lagi. Inilah memang sifat pokok dari riba. Kalaupun ada riba yang tidak sampai berlipat-lipat karena selesai pada tempo yang pertama, tetap saja hukumnya haram berdasarkan ayat dan hadits yang ditulis di atas.
Maka di sini, tegas Ibn Katsir, Allah swt menitahkan hamba-hamba-Nya untuk bertaqwa agar bahagia di dunia dan akhirat, dengan meninggalkan riba tersebut. Bahkan tidak cukup dengan itu, Allah swt juga mengancam dengan neraka pada ayat berikutnya.
Untuk ayat kedua ini seruan dari Allah swt untuk bertaqwanya memang ditambah lagi dengan ayat-ayat berikutnya guna menguatkan pilihan taqwa dalam menjauhi riba.

وَٱتَّقُواْ ٱلنَّارَ ٱلَّتِيٓ أُعِدَّتۡ لِلۡكَٰفِرِينَ  ١٣١ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ  ١٣٢ ۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ  ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  ١٣٤ وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ  ١٣٥ أُوْلَٰٓئِكَ جَزَآؤُهُم مَّغۡفِرَةٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَجَنَّٰتٞ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَنِعۡمَ أَجۡرُ ٱلۡعَٰمِلِينَ  ١٣٦

Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal (QS. Ali ‘Imran [3] : 131-136).
Artinya perwujudan taqwa menjauhi riba itu harus dikuatkan dengan ketakutan dari neraka. Ditambah kesiapan taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara total. Selanjutnya memilih jalan infaq daripada jalan riba. Untuk yang satu ini, Allah swt sendiri sudah menjelaskan: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah (QS. al-Baqarah [2] : 276). Nabi saw sendiri sudah mengancam:

إِنَّ الرِّبَا وَإِنْ كَثُرَ فَإِنَّ عَاقِبَتَهُ تَصِيرُ إِلَى قُلٍّ

“Riba itu meskipun banyak, ujung-ujungnya akan menjadi sedikit.” (HR. Ahmad dan al-Hakim. Hadits shahih).
Sementara shadaqah, Nabi saw mengingatkan:

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ

“Siapa yang bershadaqah sebesar satu biji kurma dari usaha yang baik, dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanannya kemudian merawatnya untuk pemiliknya, sebagaimana salah seorang di antara kalian merawat anak kudanya sampai banyak sepenuh gunung.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab as-shadaqah min kasbin thayyib no. 1410).
Maka dari itu, ia akan “bersegera (wa sari’u)” hijrah dari dunia riba menuju dunia infaq dan shadaqah yang jelas menjanjikan surga dan ampunan bagi mereka yang bertaqwa. Daripada menumpuk uang pada lembaga-lembaga riba maka ia akan memilih menyalurkannya pada lembaga-lembaga keuangan dengan sistem shadaqah.
Orang yang bertaqwa sebagaimana dimaksud dalam ayat-ayat ini menyadari bahwa riba itu di antara salah satu bentuk fahisyah (dosa yang nista) dan salah satu perbuatan zhalim. Maka mereka segera berdzikir dan beristighfar, karena menyadari tidak ada lagi yang bisa mengampuni dosa fahisyah dan zhalimnya selain Allah swt. Mereka pun bertekad sepenuh hati untuk tidak terjerumus kembali ke dalam dunia riba.
Wal-‘Llahu a’lam.