Mengapa Turut Memeriahkan Imlek?

Tidak dipungkiri, masih saja ada sebagian masyarakat muslim yang menilai Imlek sebagai perayaan kebudayaan saja. Padahal jelas, tidak ada kebudayaan yang tidak didasari oleh nilai-nilai aqidah dari satu kepercayaan. Ketika faktanya nilai-nilai tersebut bertentangan dengan aqidah Islam, masih pantaskah terus dibela atas nama kebudayaan?


Masurur Ahmad, seorang pengajar di Pesantren Al-Qodir, di Sleman, Yogyakarta, berkata bahwa keikutsertaan dalam Imlek tidak melanggar syari’ah.  “Imlek telah menjadi tradisi dan merupakan bagian dari budaya. Perayaan ini mirip dengan cara umat Muslim merayakan Tahun Baru Islam dan Maulid. Acara-acara ini juga merupakan budaya Indonesia, dan semua orang merayakannya. ”
Priyanta, anggota staf Kementerian Agama, berkata bahwa Imlek adalah bagian dari budaya Indonesia. “Imlek sudah menjadi salah satu hari raya nasional kita. Artinya, kita mengakui dan mengenalinya sebagai bagian dari kita,” katanya. “Tetapi, apakah umat Muslim diperbolehkan merayakan Imlek atau tidak, itu adalah pilihan pribadi. Masyarakat memiliki pendapat dan penafsiran berbeda mengenai hal yang mereka nilai sebagai keputusan bagus dan baik untuk dibuat,” katanya (khabarsoutheastasia.com).
Mohammad Dian Nafi dari Pesantren al-Muayyad Islam di Kartasura, kepada The Jakarta Post menyatakan, “Perayaan ini merupakan bagian dari cara orang China menyambut musim semi yang biasanya dianggap sebagai waktu terbaik tahun ini. Oleh karena itu, tidak ada hubungannya dengan agama dan tentu saja umat Islam dapat bergabung dalam perayaan itu untuk memperkuat hubungan sosial dengan saudara-saudara kita dari etnis Cina,” tegasnya (onislam.net).
Sebuah situs ormas Islam besar di Indonesia bahkan berani menerbitkan sebuah tulisan dengan judul “NU, Imlek, dan Indonesia”. Tulisan ini terang-terangan memuji salah seorang mantan Ketua Umumnya yang berjasa besar mengizinkan kembali perayaan Imlek di Indonesia. “Gus Dur paham betul bahwa masyarakat Indonesia di hadapan Negara adalah sama dan setara kedudukannya. Tak peduli ia beretnis dan beragama apa. Lebih daripada itu bahwa agama Islam dan lainnya adalah agama universal. Islam sendiri punya visi rahmatan lil’alamin, sebagai agama yang bercita-cita mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan beragama yang penuh kasih sayang dan harmoni,” terangnya.
“NU sebagai ormas terbesar di Indonesia, mengemban amanat dalam menjaga harmonisasi umat beragama. Komitmen itulah yang dipegang oleh Gus Dur, sebagai orang yang pernah menjadi pimpinan tertinggi NU dan presiden RI, untuk memenuhi hak beragama dan berkeyakinan bagi umat Kong Hu Cu dan umat-umat agama lain yang rentan mendapat perlakuan diskriminatif,” demikian tulisan tersebut melanjutkan pembelaannya.
 
Budaya adalah Aqidah
Menyamakan Imlek dengan Tahun Baru Islam dan Maulid jelas keliru besar. Meski kedua perayaan terakhir juga tidak pernah direstui oleh Nabi saw, tetapi keduanya tidak didasari oleh aqidah dan kepercayaan yang syirik seperti halnya Imlek.
Meski Imlek hari raya nasional, tidak berarti umat Islam boleh merayakannya. Pengakuan hak keberagamaan orang lain tidak berarti harus atau boleh turut merayakannya. Jika logika ini mau dipakai, berarti harus dimeriahkan juga hari kelahiran Yesus Sang Anak Tuhan. Jika faktanya Allah swt murka dengan itu, maka pantaskah umat Islam turut berbahagia dengan memeriahkannya? Demikian halnya dengan hari raya Waisak, Nyepi dan Paskah. Imlek harus dirayakan dengan lampion dan yang serba berwarna merah untuk mengusir siluman bernama Nian. Imlek terkait dengan shio yang berupa ramalan dan keberuntungan alias perdukunan. Imlek dirayakan selama dua minggu dengan puncaknya Cap Go Meh adalah untuk memuja Dewa. Pantaskah semua itu turut dimeriahkah oleh umat Islam jika faktanya semuanya berupa pemujaan kepada Tuhan selain Allah swt?
Keharusan membina hubungan yang harmonis dengan pemeluk agama lain juga tidak berarti harus dengan turut memeriahkan hari raya mereka. Harmonisasi antar-pemeluk agama itu pelopornya adalah Islam, jadi jangan bersikap sok tahu dan menggurui Islam dalam hal ini. Jangan kemudian Islam dipaksa harus tunduk pada paradigma Barat dalam hal harmonisasi antar-pemeluk agama. Dari sejak Barat belum mengenal toleransi dan harmonisasi, Islam sudah dari sejak awal mengajarkannya. Dan ajaran harmonisasi tersebut wujudnya: Lakum dinukum wa liya din; bagimu agamamu (kami tidak akan berpartisipasi), dan bagiku agamaku (kalian jangan berpartisipasi). Maka dari itu keliru besar jika turut memeriahkan Imlek disebut sebagai harmonisasi, sedang yang tidak dituduh sebaliknya. Harmonisasi itu cirinya cukup dengan tidak saling mengganggu. Jika harus dengan saling memeriahkan, itu namanya iltibas; mencampurkan haq dengan bathil.
Penilaian baik dan jeleknya sesuatu, rujukannya bukan pendapat pribadi. Itu sama saja dengan merujukkan nilai kebenaran pada hawa nafsu masing-masing individu. Jika itu yang terjadi, maka alam semesta ini akan hancur, sebab tidak akan pernah ada yang namanya kebenaran. Semuanya akan selalu terjebak pada kebingungan, perdebatan, dan keraguan. Benar sekali firman Allah swt: “Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka (al-Qur`an) tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. al-Mu`minun [23] : 71). Ayat ini menegaskan bahwa rujukan kebenaran itu hanya al-Qur`an, bukan hawa nafsu. Sebab: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu (al-Qur`an), sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. al-Baqarah [2] : 147).
Nabi saw selalu kritis dengan budaya setempat dimana beliau berada. Jika budaya tersebut ada nilai-nilai kepercayaan non-Islamnya, Nabi saw tegas melarangnya. Sebuah pertanda yang jelas bahwa tidak setiap budaya bisa dinyatakan halal jika faktanya mengandung nilai-nilai kepercayaan yang tidak halal.
Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan (Nairuz dan Mihrajan). Tanya Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-‘idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-‘idain no. 1567).
Dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas—semoga Allah meridlai mereka berdua, ia menjelaskan: Ketika Rasulullah—semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—shaum pada hari ‘Asyura dan memerintahkan shaum tersebut, para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura itu hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani?” Rasulullah saw menjawab: “Jika datang tahun depan, insya Allah kita akan shaum dari sejak hari ke-9 (tasu’a).” Kata Ibn ‘Abbas: Belum juga tahun depan datang, Rasulullah saw sudah wafat terlebih dahulu (Shahih Muslim bab ayyi yaum yushamu fi ‘Asyura no. 2722).
Hadits yang terakhir mengajarkan bahwa Nabi saw sangat tidak ingin menyerupai penganut agama dan kepercayaan lain. Nabi saw juga sangat kritis dengan budaya setempat dimana beliau berada. Nabi saw tetap mengajarkan shaumnya, sebab dalam sabdanya yang lain Nabi saw menegaskan: “Kami lebih berhak dan lebih dekat kepada Musa daripada kalian (Yahudi).” Maka Rasulullah saw shaum ‘Asyura dan memerintahkan umatnya untuk shaum ‘Asyura.” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shaum yaum ‘Asyura no. 2714). Akan tetapi tetap tidak boleh sama dengan kaum lain, sebab: Siapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (Sunan Abi Dawud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah no. 4033. Al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Albani menilai hadits ini hasan).
Lalu apakah Imlek terkait peringatan salah satu Nabi dari Nabi-nabi Allah swt, ataukah terkait kepercayaan Jahiliyyah seputar dewa, siluman, dan ramalan syirik? Masihkah keukeuh berdalih bahwa Imlek hanya perayaan budaya saja?