Selain mendidik shalat untuk anak sejak usia dini, sunnah juga mengajarkan orangtua untuk mendidik shaum kepada anak sejak usia dini. Shaumnya bahkan mencakup shaum sunat, khususnya shaum ‘Asyura (10 Muharram) mengingat keutamaan besar yang ada dalam shaum ‘Asyura.
Nabi saw menjelaskan keutamaan shaum ‘Asyura dalam hadits sebagai berikut:
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Shaum ‘Asyura (10 Muharram) yang diniatkan mengharap ridla Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu (Shahih Muslim bab istihbab shiyam tsalatsah ayyam no. 2803).
Berdasarkan keutamaan besar dalam shaum ‘Asyura tersebut, Nabi saw mengajarkan para shahabat untuk mendidik anak-anak melaksanakan shaum ‘Asyura tersebut. Hadits ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari menginformasikan bahwa para shahabat mendidikkan shaum ‘Asyura kepada anak-anak mereka yang belum baligh sekalipun.
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَليَصُمْ قَالَتْ فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ia berkata: Nabi saw mengutus utusan pada pagi hari di hari ‘Asyura ke perkampungan-perkampungan Anshar. Beliau menyerukan: “Siapa yang di pagi hari sudah berbuka, maka sempurnakan shaum di sisa harinya. Siapa yang di pagi harinya sudah shaum, maka lanjutkan shaumnya.” Kata ar-Rubayyi’: Setelahnya kami shaum dan melatih anak-anak kami shaum. Kami buatkan untuk mereka mainan dari bulu/kapas. Jika salah seorang di antara mereka menangis ingin makan, kami memberinya mainan tersebut hingga datang waktu berbuka (Shahih al-Bukhari bab shaumis-shibyan no. 1960).
Dalam riwayat Muslim disebutkan juga bahwa anak-anak itu dibawa pergi ke masjid untuk memalingkan perhatian mereka dari ingin makan.
وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الإِفْطَارِ
Kami melatih shaum kepada anak-anak kami yang masih kecil sesuai kehendak Allah, kami bawa mereka ke masjid, dan kami buatkan untuk mereka mainan dari bulu kapas. Apabila salah seorang di antara mereka menangis ingin makan kami memberikan mainan tersebut hingga datang waktu buka (Shahih Muslim bab man akala fi ‘Asyura fal-yakuffa baqiyyata yaumihi no. 2725).
Dalam riwayat lain masih dari Shahih Muslim disebutkan:
فَإِذَا سَأَلُونَا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيهِمْ حَتَّى يُتِمُّوا صَوْمَهُمْ
Apabila mereka minta makan, maka kami berikan mainan tersebut untuk menghibur mereka sehingga mereka bisa menyempurnakan shaum mereka (Shahih Muslim bab man akala fi ‘Asyura fal-yakuffa baqiyyata yaumihi no. 2726).
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa yang belum shaum, maka ia harus shaum sebagai penghormatan terhadap ‘Asyura, tetapi tetap harus mengqadlanya. Artinya tidak dihitung sebagai amal shaum karena ia sudah makan di pagi harinya.
فَأَتِمُّوا بَقِيَّةَ يَوْمِكُمْ وَاقْضُوهُ
“Sempurnakan sisa hari kalian (dengan shaum) tetapi kemudian qadlalah.” (Sunan Abi Dawud bab fi fadlli yaumihi no. 2449).
Sebagian ulama menjelaskan bahwa hadits di atas berlaku di masa awal ketika shaum ‘Asyura statusnya wajib. Setelah disyari’atkan shaum Ramadlan pada tahun 2 Hijriyyah maka shaum ‘Asyura tidak wajib lagi. Akan tetapi mengingat bahwa ar-Rubayyi’ shahabiyyah (shahabat perempuan) junior, kemungkinan besar apa yang diceritakannya di atas sesusah diwajibkan shaum Ramadlan. Kebiasaan melatih shaum ‘Asyura di masa-masa awal terus berlangsung sampai masa ia hidup dan itu di masa Nabi saw sudah tinggal di Madinah. Ditambah lagi dengan adanya perintah Nabi saw di atas kepada yang belum makan untuk meniatkan shaum, padahal niat shaum harus sebelum fajar terbit jika shaumnya shaum wajib. Adanya perintah tersebut menunjukkan bahwa shaum ‘Asyura saat itu sudah sunnah muakkadah dan sudah tidak berstatus wajib lagi. Dalam riwayat Muslim lainnya redaksinya lebih jelas lagi:
مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ
Siapa yang belum shaum, hendaklah ia shaum (sekarang). Dan siapa yang sudah makan, maka sempurnakan shaum sampai malam (Shahih Muslim bab man akala fi ‘Asyura fal-yakuffa baqiyyata yaumihi no. 2724).
Pendidikan shaum ‘Asyura ini belum ditemukan keterangannya dimulai sejak usia berapa. Hanya jika dirujukkan pada dalil pendidikan agama secara umum, yakni hadits pendidikan shalat, berarti sudah bisa diberlakukan sejak usia 7 tahun. Para ulama madzhab Syafi’i sendiri menganjurkan demikian; antara 7-10 tahun sebagaimana hadits perintah mendidik shalat. Imam Ishaq ibn Rahawaih menganjurkan usia 12 tahun. Sementara Imam Ahmad menentukan usia 10 tahun (Fathul-Bari bab shaumis-shibyan). Hanya tentu bedanya, karena shalat 5 waktu hukumnya wajib sehingga menyuruhnya juga wajib, maka karena shaum ‘Asyura ini hukumnya sunat, mendidikkannya pun hukumnya sebatas sunat.
Para shahabat sebagaimana terbaca dalam hadits ar-Rubayyi’ di atas—tentunya berdasarkan arahan dari Nabi saw—berusaha sekuat tenaga untuk tidak kalah oleh anak. Jika perlu buatkan atau berikan mainan khusus untuk mereka agar mereka tetap shaum sampai tamat. Jika perlu juga bawa mereka keluar rumah untuk jalan-jalan atau ngabuburit. Hanya yang jelas ke tempat yang tidak rentan maksiat, seperti masjid atau tempat umum lainnya. Ini semua sudah dididikkan oleh para shahabat kepada anak-anak meski shaumnya sebatas shaum sunat. Tentunya dalam shaum yang wajib demikian juga sebagaimana diketahui dari atsar ‘Umar ibn al-Khaththab ra yang menghukum pemabuk di bulan Ramadlan dengan dicambuk 80 kali dan diusir ke Syam dengan mengatakan:
وَيْلَكَ وَصِبْيَانُنَا صِيَامٌ فَضَرَبَهُ
“Celaka kamu. Anak-anak kami saja shaum!?” Maka ‘Umar kemudian menghukumnya dengan memukulnya (Atsar riwayat Sa’id ibn Manshur dan al-Baghawi, dikutip oleh Imam al-Bukhari dalam pengantar bab shaumis-shibyan dalam Shahih al-Bukhari).
Atsar ini juga menunjukkan bahwa anak-anak sudah dididik shaum Ramadlan sejak usia dini.
Fiqih ini bisa diperluas ke shaum-shaum sunat lainnya yang Nabi saw rutinkan seperti ‘Arafah (9 Dzulhijjah), Senin, Kamis, dan tengah bulan (13-15 bulan Hijriyyah). Pendidikan shaum ini sangat penting untuk mendekatkan anak dengan ibadah, menanamkan kewibawaaan orangtua di hadapan anak, mengurangi jajan anak, dan menghadirkan kebersamaan keluarga pada saat sahur dan berbuka shaum.
Wal-‘Llahu a’lam