Memakmurkan Masjid Bukti Keimanan

Ada banyak hal yang harus diwujudkan guna membuktikan keimanan dalam hati. Salah satunya adalah memakmurkan masjid. Jika seseorang sudah terlibat aktif memakmurkan masjid, maka ia pasti beriman. Jika tidak atau belum mau terlibat aktif memakmurkan masjid, maka keimanannya masih diragukan.
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَٰٓئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٨
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. at-Taubah [9] : 18).
Ayat ini menurut al-Hafizh Ibn Katsir merupakan persaksian dari Allah swt atas keshahihan iman para pemakmur masjid (Tafsir Ibn Katsir). Artinya, jika seseorang sudah mampu terlibat dalam memakmurkan masjid, berarti ia benar imannya. Jika tidak, berarti imannya masih diragukan.
Terkait hal ini ada sebuah hadits yang menginformasikan:
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا عَلَيْهِ بِالْإِيْمَانِ قَالَ اللهُ: إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ
Jika kalian melihat ada seseorang yang rutin ke masjid, maka saksikanlah oleh kalian orang itu beriman. Nabi saw lalu membacakan firman Allah swt: Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah [QS. at-Taubah [9] : 18]. (Shahih Ibn Khuzaimah no. 1502).
Istilah “memakmurkan” masjid yang digunakan dalam tulisan ini adalah terjemahan dari ya’muru-’imarah dalam ayat di atas. Ar-Raghib al-Ashfahani dalam Mu’jamnya menjelaskan:
اَلْعِمَارَةُ نَقِيْضُ الْخَرَابِ… وَالْاِعْتِمَارُ وَالْعُمْرَةُ: اَلزِّيَارَةُ الَّتِي فِيْهَا عِمَارَةُ الْوُدِّ وَجُعِلَ فِي الشَّرِيْعَةِ لِلْقَصْدِ الْمَخْصُوْصِ. وَقَوْلُهُ: {إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ} [التوبة/18] إِمَّا مِنَ الْعِمَارَةِ الَّتِي هِيَ حِفْظُ الْبِنَاءِ أَوْ مِنَ الْعُمْرَةِ الَّتِي هِيَ الزِّيَارَةُ
‘Imarah itu adalah kebalikan dari merobohkan (yakni mengurus, memelihara, merawat—pen)… Sementara i’timar dan ‘umrah adalah berkunjung yang di sana ada pemeliharaan cinta. Dalam konteks syari’at maknanya berkunjung dengan niat khusus (yakni ‘umrah yang satu paket dengan haji—pen). Dan firman-Nya: “Hanyasanya yang layak memakmurkan masjid-masjid Allah” [QS. at-Taubah/9: 18] bisa jadi dari kata ‘imarah yang artinya memelihara bangunan, atau bisa juga dari ‘umrah yang artinya berkunjung.
Artinya yang dimaksud “memakmurkan” masjid adalah menjaga, memelihara, merawat dan mengurus masjid, serta sering mengunjunginya untuk berbagai aktivitas ibadah, shalat berjama’ah khususnya. Ini semua harus diamalkan untuk membuktikan keimanan.
Memakmurkan masjid yang paling utama tentunya adalah dengan mengistimewakan pembangunan dan bangunannya. Masjid dibangun seindah dan seistimewa mungkin, kemudian juga dijaga dan dirawat semaksimal mungkin. Ini berdasarkan firman Allah swt:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرۡفَعَ وَيُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهُۥ
Di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya (QS. an-Nur [24] : 36).
Maksud buyut dalam ayat di atas adalah masjid. Maksud dari an turfa’a/dimuliakan adalah “membersihkannya dari kotoran, hiburan duniawi, dan perkataan atau perbuatan lainnya yang tidak layak di masjid,” demikian para ulama salaf menjelaskannya sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya. Qatadah secara khusus menyatakan: “Yang dimaksud ayat ini adalah masjid. Allah memerintahkan membangun masjid, memperindahnya, memeliharanya dan membersihkannya.”
Dalam hadits, Nabi saw menekankan khusus memakmurkan fisik masjid melalui membersihkan dan mewangikannya sehingga tidak berbau busuk.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَمَرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِي الدُّورِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ.
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Rasulullah—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—memerintahkan membangun masjid di berbagai daerah, membersihkannya dan mewangikannya.” (Sunan at-Tirmidzi bab ma dzukira fi tathyibil-masajid no. 594. Al-Hafizh Ibn Hajar menilainya shahih dalam Fathul-Bari kitab al-wudlu bab abwalil-ibil wad-dawab wal-ghanam no. 227. Demikian juga Syaikh al-Albani dalam ta’liq Sunan at-Tirmidzi).
Saat ini hampir bisa dikatakan susah sekali mencari masjid yang senantiasa bersih dan wangi. Selalu saja ada bau apek akibat masjid sering tidak digunakan, atau akibat toilet dan gudang yang jarang dibersihkan sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Mudah sekali menemukan masjid yang bocor di saat hujan; toilet masjid yang kotor dan bau atau bahkan tidak ada airnya; lampu penerangan masjid yang padam; sound system yang tidak ideal; karpet masjid yang bau dan kotor saking lama tidak dicuci; dan sebagainya.
Demikian halnya, masjid selalu tidak bisa bebas dari bau-bau tidak sedap yang dibawa orang-orang, seperti bau rokok, bawang mentah, jengkol, dan semacamnya. Padahal Nabi saw sudah mengingatkan:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ-وَقَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ-فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
“Siapa yang makan sayur bawang putih ini—dan pada kesempatan lain beliau bersabda: “Siapa makan bawang merah dan putih serta bawang bakung- janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga manusia merasa tersakiti.” (Shahih Muslim kitab al-masajid bab nahyi man akala tsauman au bashalan au kurratsan no. 1282)
Maka dari itu, untuk membuktikan keimanan, kita harus mau melibatkan diri dalam pengurusan fisik masjid ini. Jangan biarkan hati ini abai ketika melihat banyak keganjilan di masjid. Atau yang terjadi justru hanya bisa berkomentar dan menyalahkan sembari tidak terjun langsung mencari solusi.
Di samping itu tentu saja memakmurkan ruh masjidnya juga tidak diabaikan. Ini bagian dari ‘imarah yang berbentuk ‘umrah sebagaimana ar-Raghib jelaskan di atas. Maksudnya memakmurkan masjid dengan sering mengunjunginya.
Hal yang paling utama adalah dengan pada adzan dan shalat berjama’ahnya. Ini adalah standar utama dari makmur tidaknya masjid. Jika suatu masjid tidak atau jarang dikumandangkan adzan atau diselenggarakan shalat berjama’ah, sebuah pertanda yang jelas bahwa masjid yang dimaksud tidak makmur. Maka dari itu banyak sekali anjuran dari Nabi saw untuk berlomba-lomba dalam adzan dan shalat berjama’ah ini.
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Seandainya orang-orang tahu apa yang ada dalam adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya selain harus ikut undian, maka pasrti mereka ikut undian. Dan seandainya mereka tahu apa yang ada dalam tahjir (bersegera shalat), pasti mereka berlomba-lomba. Dan seandainya mereka tahu apa yang ada dalam shalat ‘Isya dan Shubuh, pasti mereka mendatanginya meski harus merangkak (Shahih al-Bukhari bab al-istiham fil-adzan no. 615)
Ketika Nabi saw mennyinggung pahala shalat berjama’ah sampai 25-27 kali lipat, itu karena di masjidnya, bukan shalat berjama’ah di rumah, pasar atau kantor.
صَلَاةُ الْجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وَأَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ خَطِيئَةً حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ وَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ تَحْبِسُهُ وَتُصَلِّي عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ.
Shalat berjama’ah (di masjid—bagi laki-laki) lebih utama dibanding shalat di rumah dan di pasar senilai 25 derajat. Karena sungguh seseorang di antaramu apabila berwudlu lalu menyempurnakan (wudhunya), kemudian datang ke masjid yang ia tidak lain tujuannya kecuali shalat, tidaklah ia melangkahkan kaki melainkan Allah pasti mengangkatnya satu derajat dengan langkah itu juga menghapus dosanya, sampai ia masuk masjid. Apabila ia telah masuk masjid, maka ia berada dalam shalat (dihitung pahala shalat) selama shalat menahan dirinya. Dan para malaikat mendo’akannya selama ia berada di tempat duduk yang ia akan shalat padanya: “Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, berilah ia rahmat.” Selama ia tidak berhadats di tempat itu.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shalat bab as-shalat fi masjidis-suq no. 477).
Hal lainnya tentu dengan kegiatan-kegiatan keilmuan dan pendidikan masyarakat lainnya, seperti dianjurkan Nabi saw dalam salah satu haditsnya:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ اِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهِ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Dan tidaklah suatu kaum berkumpul dalam rumah-rumah Allah (masjid) untuk membaca al-Qur’an dan mentadarusnya, kecuali ketenangan pasti akan turun kepada mereka, rahmat Allah melingkupi mereka, malaikat-malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan makhluk yang ada di dekat-Nya (para malaikat) (Shahih Muslim kitab adz-dzikr wad-du’a wat-taubah bab fadllil-ijtima’ ‘ala tilawatil-qur`an no. 7028).
Sederhananya, bukti kita beriman adalah selalu siap mengunjungi masjid untuk shalat berjama’ah termasuk adzan, menghadiri kegiatan-kegiatan keilmuan di masjid, termasuk kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti pengelolaan zakat, qurban, madrasah/pesantren, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya. Lebih majunya, terlibat aktif mengusahakan agar kegiatan-kegiatan kemasyarakatan itu senantiasa ada, yakni dengan cara mengusahakan dana dan sumber daya manusianya.
Jika hati masih abai dari semuanya itu, pertanda keimanan dalam sanubari layak diragukan. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.