Cemburu dari Setan

Cemburu tidak selalu berasal dari keimanan, adakalanya bersumber dari setan. Cemburu dari setan adalah cemburu yang berlebihan; sakit hati karena hal yang sebenarnya tidak pantas untuk sakit hati. Tidak ada kedekatan yang termasuk mendekati zina tetapi cemburu dan merasa tersinggung. Cemburu yang seperti ini harus dijauhi karena merupakan perangkap setan untuk merusak hubungan suami-istri. Atau memang setannya sudah benar-benar masuk untuk menyukseskan perceraian.
Tidak tanggung-tanggung, sekelas istri Nabi saw, terserang cemburu dari setan ini. Sebagaimana dituturkan langsung oleh ‘Aisyah ra:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ ﷺ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهَا لَيْلاً. قَالَتْ فَغِرْتُ عَلَيْهِ فَجَاءَ فَرَأَى مَا أَصْنَعُ فَقَالَ: مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ أَغِرْتِ. فَقُلْتُ وَمَا لِى لاَ يَغَارُ مِثْلِى عَلَى مِثْلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَقَدْ جَاءَكِ شَيْطَانُكِ. قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَمَعِىَ شَيْطَانٌ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ وَمَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ وَمَعَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ وَلَكِنْ رَبِّى أَعَانَنِى عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ
Dari ‘Aisyah ra istri Nabi saw, bahwasanya Rasulullah saw keluar dari rumahnya pada suatu malam. ‘Aisyah berkata: “Aku lalu cemburu kepada beliau.” Ketika pulang, beliau melihat sikapku. Beliau bertanya: “Kenapa kamu ‘Aisyah, apakah kamu cemburu?” Aku menjawab: “Bagaimana orang sepertiku tidak cemburu kepada orang yang seperti anda?” Rasulullah saw bersabda: “Apakah setan kamu sudah datang?” ‘Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah ada setan bersamaku?” Beliau menjawab: “Ya.” Aku bertanya lagi: “Setiap orang juga?” Beliau menjawab: “Ya.” Aku bertanya lagi: “Bersama anda juga?” Beliau menjawab: “Ya, tetapi Rabbku sudah membantuku mengalahkannya sehingga ia telah berserah diri.” (Shahih Muslim bab tahrisyis-syaithan wa ba’tsihi sarayahu li fitnatin-nas no. 7288).
Dalam kitab Sunannya, Imam an-Nasa`i menghimpun sanad-sanad hadits semakna dalam bab al-ghairah (cemburu). Disebutkan oleh ‘Aisyah ra kenapa ia cemburu:
افْتَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ، فَتَجَسَّسْتُ، ثُمَّ رَجَعْتُ، فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ، يَقُولُ: سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ. فَقُلْتُ: بِأَبِي وَأُمِّي إِنَّكَ لَفِي شَأْنٍ، وَإِنِّي لَفِي آخَرَ
Aku kehilangan Rasulullah saw pada satu malam. Aku mengira beliau pergi ke salah seroang istrinya yang lain. Maka aku memata-matai, lalu pulang. Ternyata beliau sedang ruku’ atau sujud dan membaca: Subhanaka wa bi hamdika la ilaha illa Anta. Aku berkata: “Dengan ayah dan ibuku jadi tebusanmu, sungguh anda dalam satu keadaan dan aku dalam keadaan yang berbeda.” (Sunan an-Nasa`i bab al-ghairah no. 3962).
Masih dalam bab yang sama, Imam an-Nasa`i menuliskan sanad lain dari ‘Aisyah ra yang menceritakan ketika Rasulullah saw sudah berbaring bersamanya dan mengira ia sudah tidur, tiba-tiba beliau bangun pelan-pelan dan keluar pelan-pelan. ‘Aisyah ra yang penasaran pun mengikuti Nabi saw dengan sembunyi-sembunyi. Ternyata Nabi saw datang ke kuburan al-Baqi’, berdiri lama dan mengangkat tangannya sampai tiga kali. Ketika beliau berbalik, ‘Aisyah ra pun segera berbalik. Hingga ketika beliau datang ke rumah, ‘Aisyah sudah berbaring kembali. Akan tetapi nafas ‘Aisyah ra yang terengah-engah terdengar oleh Nabi saw. Beliau kemudian menginterogasinya dan ‘Aisyah ra tidak bisa mengelak. Nabi saw menjelaskan bahwa Jibril as tadi datang dan memanggilnya. Karena tahu ‘Aisyah ra sudah tidur dan tidak mau mengganggunya, Nabi saw pun keluar pelan-pelan.
فَإِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي حِينَ رَأَيْتِ، وَلَمْ يَكُنْ يَدْخُلُ عَلَيْكِ، وَقَدْ وَضَعْتِ ثِيَابَكِ فَنَادَانِي، فَأَخْفَى مِنْكِ فَأَجَبْتُهُ، وَأَخْفَيْتُهُ مِنْكِ، وَظَنَنْتُ أَنَّكِ قَدْ رَقَدْتِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَكِ، وَخَشِيتُ أَنْ تَسْتَوْحِشِي، فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ، فَأَسْتَغْفِرَ لَهُمْ
“Sungguh Jibril as tadi datang kepadaku ketika kamu melihat, tetapi ia tidak masuk karena kamu sudah berganti baju sehingga ia memanggilku. Maka aku bersembunyi darimu dan memenuhinya dan aku menyembunyikannya darimu karena aku mengira kamu sudah tidur. Aku takut membangunkanmu dan membuatmu khawatir. Ia memerintahku datang ke ahli kuburan al-Baqi’ dan memohonkan ampunan untuk mereka.” (Sunan an-Nasa`i bab al-ghairah no. 3963).
Dalam riwayat Muslim, ‘Aisyah ra kemudian bertanya:
قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: قُولِى السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ
Aku bertanya: “Apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah: As-salamu ‘ala…; Keselamatan untuk penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati generasi terdahulu dari kami dan yang terakhir. Sungguh kami in sya`al-‘Llah akan segera menyusul kalian.” (Shahih Muslim bab ma yuqalu ‘inda dukhulil-qabr no. 2301).
Dari seluruh riwayat di atas diketahui bahwa wajar saja jika Nabi saw menyebutkan setan telah memengaruhi ‘Aisyah ra sehingga ia cemburu, sebab cemburu ‘Aisyah ra berlebihan; tidak menyadari bahwa Nabi saw ma’shum (terlindung dari berbuat dosa), sampai memata-matai beliau, meski kemudian ‘Aisyah ra menyadari bahwa kedudukan ia dan Nabi saw jauh berbeda. Ternyata Nabi saw sekadar mendo’akan penghuni kuburan al-Baqi’ kemudian pulang dan shalat malam di masjid. Atau dua kejadian itu sangat mungkin juga dua kejadian yang berbeda. Hanya yang jelas kecemburuan ‘Aisyah ra tidak beralasan, sebab Nabi saw yang berpoligami tidak termasuk perbuatan dosa. Nabi saw juga terbukti sebagai suami yang adil. Mustahil Nabi saw mengkhianati jadwal gilirnya dengan berpindah dahulu kepada istri lainnya secara sembunyi-sembunyi.
Masih tentang kecemburuan ‘Aisyah ra yang berlebihan juga dan dalam kejadian yang berbeda, diceritakan oleh Anas ra sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَضَرَبَتْ الَّتِي النَّبِيُّ ﷺ فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتْ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ ﷺ فِلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ
Dari Anas ra, ia berkata: Ketika Nabi saw berada di rumah salah seorang istrinya, ada seorang ibu kaum mukminin (istrinya yang lain) yang mengirimkan wadah berisi makanan. Istri yang Nabi saw sedang di rumahnya itu tiba-tiba memukul tangan pembantu (yang membawa wadah) hingga wadah itu jatuh dan belah. Nabi saw lalu mengumpulkan belahan wadah itu kemudian mengumpulkan lagi makanannya sambil bersabda: “Ibu kalian (yang ini) cemburu.” Kemudian beliau meminta pembantu menunggu hingga dibawakan wadah yang baru dari istri yang beliau sedang di rumahnya. Beliau memberikan wadah yang bagus kepada yang wadahnya telah belah serta menahan wadah yang belah di rumah istri yang membelahkannya (Shahih al-Bukhari bab al-ghairah no. 5225).
Dalam berbagai riwayat lainnya diketahui bahwa istri Nabi saw yang membelahkan wadah itu adalah ‘Aisyah ra. Sementara istri lain yang memberikan makanan pada wadah itu adalah Zainab binti Jahsy, meski ada juga yang menyebutkan lainnya. Hanya yang paling jelas berdasarkan kesesuaian sanadnya adalah Zainab binti Jahsy (Fathul-Bari bab al-ghairah).
Kecemburuan ‘Aisyah ra dalam hadits di atas ditujukan kepada istri Nabi saw lainnya. Ini juga berlebihan jika sampai membenci dan mendengki, hingga tidak sadar menepuk tangan pembantu yang membawakan makanan dari istri yang lain, sebab Nabi saw tidak sedang melakukan perbuatan yang mendekati zina dan tentunya beliau terlindung dari perbuatan nista seperti itu. Poligami adalah hal yang dibenarkan syari’at dan Nabi saw terbukti selalu adil dalam menjalaninya. Kejadian cemburu yang berulang seperti ini yang membuat Nabi saw mengingatkan ‘Aisyah ra ketika ia cemburu: “Apakah setan kamu sudah datang?” Akan tetapi Nabi saw sendiri tidak pernah memarahi ‘Aisyah ra apalagi sampai menghukumnya, sebagai sebuah isyarat bahwa kecemburuan istri seperti itu harus dianggap wajar saja oleh suami kepada istrinya, mesti bukan berarti sebagai pembenaran.
Faktanya ‘Aisyah ra sendiri mampu mengendalikan dirinya dari cemburu yang berlebihan tersebut. Ia tidak pernah menghasut Nabi saw untuk menceraikan istri lainnya. Hal ini senada dengan jaminan Allah swt dalam surat an-Nur: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nur [24] : 26). Nabi saw adalah lelaki yang baik sehingga istrinya pun pasti istri yang baik dan pasti selamat juga dari segenap tuduhan miring para pendengki. Wal-‘Llahu a’lam.