Ibadah Umum

Kedudukan Hadits Qunut Witir

Mohon dijelaskan kedudukan hadits qunut dalam witir. Kami mendengar ada sebagian ulama yang mendla’ifkan dan sebagiannya lagi menshahihkan? Santri Pesantren Persis 27
Hadits tentang qunut witir diriwayatkan oleh al-Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib ra. Sepengetahuan kami yang mempersoalkan sanad hadits tersebut hanya Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya, yang kemudian dikutip juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam at-Talkhishul-Habir. Itu pun Imam Ibn Khuzaimah tidak sampai memastikan bahwa hadits tersebut dla’if, buktinya ia sendiri menuliskannya dalam kitab Shahihnya (Shahih Ibn Khuzaimah). Imam Ibn Khuzaimah hanya mempertanyakan mengapa ada perbedaan antara sanad Syu’bah dan Abu Ishaq padahal kedua-duanya sama menerima dari rawi yang sama, yakni Buraid ibn Abi Maryam, dari Abul-Haura, dari al-Hasan ibn ‘Ali. Sanad Syu’bah tidak menyebutkan “qunut witir”, sementara sanad Abu Ishaq menyebutkan “qunut witir”. Maka Ibn Khuzaimah menduga bahwa do’a yang diajarkan Nabi saw kepada al-Hasan ibn ‘Ali sebagai do’a qunut witir kemungkinan tidak kuat, sebab penyebutan “qunut witir” itu hanya ada pada riwayat Abu Ishaq, sementara pada riwayat Syu’bah tidak disebutkan “qunut witir”.
Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri yang mengutip penilaian Ibn Khuzaimah di atas dalam at-Talkhishul-Habir tidak sampai mendla’ifkan hadits tersebut. Buktinya dalam kitab Bulughul-Maram beliau menuliskan hadits tersebut dengan dua sanad; (1) dari al-Hasan ibn ‘Ali yang menyebutkan dibaca pada qunut witir dan (2) dari Ibn ‘Abbas yang menyebutkan dibaca pada qunut shubuh, dan al-Hafizh hanya mendla’ifkan hadits qunut shubuh saja, sementara qunut witir tidak dla’if (Bulughul-Maram bab shifatis-shalat no. 328). Dalam at-Talkhishul-Habir itu juga, al-Hafizh hanya mendla’ifkan hadits al-Hasan ibn ‘Ali riwayat an-Nasa`i yang ada tambahan shalawatnya saja karena sanad yang munqathi’ (terputus) akibat rawi ‘Abdullah ibn ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali yang tidak pernah bertemu dengan kakak kakeknya; al-Hasan ibn ‘Ali (Sunan an-Nasa`i bab ad-du’a fil-witr no. 1746). Sementara riwayat yang tidak ada tambahan shalawatnya tidak dinilai dla’if (at-Talkhishul-Habir bab shifatis-shalat no. 372).
Beberapa ulama hadits kontemporer seperti Syaikh al-Albani, Syu’aib al-Arnauth, dan Muhammad Shubhi Hasan Hallaq juga tidak ada yang mendla’ifkan. Hanya Syaikh Muhammad Shubhi saja yang menilainya hasan dalam tahqiq Subulus-Salam yang diterbitkan oleh Universitas Shan’a. Sementara Syaikh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth dalam karya-karya takhrij haditsnya menilai hadits al-Hasan ibn ‘Ali statusnya shahih.
Hadits al-Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib ra yang dimaksud adalah sebagai berikut:

عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ, وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ, وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ, وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ, فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ, إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ, (وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ) تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ. وَزَادَ الطَّبَرَانِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ: وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ. زَادَ النَّسَائِيُّ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ فِي آخِرِهِ: وَصَلَّى اللهُ عَلَى النَّبِيِّ

Dari al-Hasan ibn ‘Ali ra: Rasulullah saw mengajarkanku kalimat yang aku baca dalam qunut witir: “Ya Allah, berilah aku petunjuk bersama orang-orang yang engkau beri petunjuk. Berilah aku ‘afiyah/keselamatan bersama orang-orang yang Engkau beri ‘afiyah. Jagalah aku bersama orang-orang yang Engkau jaga. Berilah aku barakah dalam setiap hal yang Engkau beri. Jauhkanlah aku dari kejelekan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau Yang Menetapkan dan tidak ada yang bisa menetapkan mendahului-Mu. Sungguh tidak akan hina orang yang Engkau jadikan wali (dalam riwayat at-Thabrani dan al-Baihaqi ada tambahan: Sungguh tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi) Mahabarakah Engkau wahai Rabb kami dan Mahatinggi.” Lima imam meriwayatkannya.  Dalam riwayat at-Thabrani dan al-Baihaqi ada tambahan: Sungguh tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi (dibaca sesudah la yadzillu wan walaita—pen). An-Nasa`i menambahkan dari sanad yang lain di akhirnya: “Dan semoga Allah menganugerahkan shalawat kepada Nabi.” (Bulughul-Maram bab shifatis-shalat no. 328)
Hadits di atas diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bab hadits al-Hasan ibn ‘Ali no. 1718; Sunan Abi Dawud bab al-qunut fil-witr no. 1425; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fil-qunut fil-witr no. 464; Sunan an-Nasa`i bab ad-du’a fil-witr no. 1745; Sunan Ibn Majah bab ma ja`a fil-qunut fil-witr no. 1178; as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab al-qunut fil-witr no. 4298 dan bab man qala yaqnutu fil-witr ba’dar-ruku’ no. 4859; Shahih Ibn Khuzaimah bab dzikrid-dalil annan-Nabiy saw innama autara hadzihil-lailah no. 1095-1096; Shahih Ibn Hibban bab dzikrul-amr bi su`alil-‘abdi Rabbahu jalla wa ‘ala al-hidayah no. 945; al-Mustadrak al-Hakim bab wa min fadla`il-Hasan no. 4800-4801.
Sanad hadits di atas adalah: al-Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib menyampaikan kepada Abul-Haura` Rabi’ah ibn Syaiban as-Sa’di, menyampaikan kepada Buraid ibn Abi Maryam, menyampaikan kepada: (1) Syu’bah, (2) Abu Ishaq, dan (3) Yunus ibn Abi Ishaq. Ada juga sanad lain dari al-Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, kepada ‘Aisyah, kepada ‘Urwah, kepada Hisyam, kepada Musa ibn ‘Uqbah riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra no. 4859, al-Mustadrak no. 4800, dan al-Mu’jamul-Kabir at-Thabrani no. 2700 yang sama dengan sanad Abu Ishaq. Ada juga yang al-Hasan ibn ‘Ali kepada ‘Abdullah ibn ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali yang ada tambahan shalawat dan dla’if karena ‘Abdullah ibn ‘Ali tidak pernah bertemu dengan al-Hasan ibn ‘Ali dalam Sunan an-Nasa`i no. 1746. Sanad Syu’bah diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, Shahih Ibn Hibban, dan Shahih Ibn Khuzaimah. Sementara sanad Abu Ishaq dan putranya diriwayatkan dalam kitab sisanya yang telah dituliskan di atas.
Catatan kritis dari Ibn Khuzaimah sebagaimana telah disinggung di atas bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:

وَهَذَا الْخَبَرُ رَوَاهُ شُعْبَةُ بْنُ الْحَجَّاجِ، عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ فِي قِصَّةِ الدُّعَاءِ، وَلَمْ يَذْكُرِ الْقُنُوتَ وَلَا الْوِتْرَ… بِمِثْلِ حَدِيثِ وَكِيعٍ فِي الدُّعَاءِ، وَلَمْ يَذْكُرِ الْقُنُوتَ، وَلَا الْوِتْرَ. وَشُعْبَةُ أَحْفَظُ مِنْ عَدَدٍ مِثْلَ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ، وَأَبُو إِسْحَاقَ لَا يَعْلَمُ أَسَمِعَ هَذَا الْخَبَرَ مِنْ بُرَيْدٍ، أَوْ دَلَّسَهُ عَنْهُ، اللَّهُمَّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ كَمَا يَدَّعِي بَعْضُ عُلَمَائِنَا أَنَّ كُلَّ مَا رَوَاهُ يُونُسُ عَنْ مَنْ رَوَى عَنْهُ أَبُوهُ أَبُو إِسْحَاقَ هُوَ مِمَّا سَمِعَهُ يُونُسُ مَعَ أَبِيهِ مِمَّنْ رَوَى عَنْهُ، وَلَوْ ثَبَتَ الْخَبَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَمَرَ بِالْقُنُوتِ فِي الْوِتْرِ، أَوْ قَنَتَ فِي الْوِتْرِ لَمْ يَجُزْ عِنْدِي مُخَالَفَةُ خَبَرِ النَّبِيِّ، وَلَسْتُ أَعْلَمُهُ ثَابِتًا

Khabar ini (riwayat Abu Ishaq yang menyebutkan jelas ‘qunut witir’—pen) diriwayatkan juga oleh Syu’bah ibn al-Hajjaj, dari Buraid ibn Abi Maryam, dalam kisah do’a, tetapi ia tidak menyebutkan qunut dan tidak pula witir… seperti hadits Waki’ dalam do’a, tetapi tidak menyebutkan qunut dan tidak pula witir. Syu’bah lebih hafizh dari sejumlah rawi yang seperti Yunus ibn Abi Ishaq. Abu Ishaq sendiri tidak diketahui apakah ia mendengar langsung khabar ini dari Buraid, atau ia melakukan tadlis (menerimanya dari yang lain tetapi menyandarkannya kepada Buraid). Ya Allah, kecuali keadaannya sebagaimana diperkirakan oleh sebagian ulama kami bahwasanya setiap yang diriwayatkan Yunus dari seorang rawi yang ayahnya Abu Ishaq juga menerima sama darinya, itu berarti yang didengar langsung oleh Yunus dan ayahnya dari rawi yang dimaksud. Seandainya khabar ini kuat dari Nabi saw yakni bahwa beliau memerintahkan qunut dalam witir atau beliau pernah qunut dalam witir, maka tidak boleh aku menyalahi khabar ini. Akan tetapi aku tidak tahu apakah khabar ini kuat (Shahih Ibn Khuzaimah bab dzikrid-dalil annan-Nabiy saw innama autara hadzihil-lailah no. 1095-1096).
Berdasarkan data dari Taqribut-Tahdzib diketahui bahwa Buraid ibn Abi Maryam masuk thabaqah 4 yang sejajar dengan tabi’in pertengahan. Wafat pada tahun 144 H. Al-Hafizh Ibn Hajar mengategorikan Buraid sebagai rawi ranking tiga di dengan ta’dil: tsiqah (terpercaya).
Syu’bah ibn al-Hajjaj termasuk thabaqah 7 dari atba’ tabi’in senior, wafat tahun 160 H di Bashrah. Al-Hafizh mengategorikan Syu’bah sebagai rawi ranking dua di bawah shahabat dengan ta’dil: tsiqah hafizh mutqin (terpercaya, kuat hafalan, dan sempurna). Sufyan ats-Tsauri menilainya sebagai amirul-mu`minin fil-hadits (pemimpin kaum muslimin dalam hadits).
Abu Ishaq as-Subai’i masuk thabaqah 3 dari tabi’in pertengahan dan wafat di Kufah tahun 129 H. Ia adalah rawi yang diriwayatkan haditsnya oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka. Al-Hafizh mengategorikan Syu’bah sebagai rawi ranking dua di bawah shahabat dengan ta’dil: tsiqah muktsir ‘abid (terpercaya, banyak meriwayatkan hadits, dan ahli ibadah), meski di masa tuanya ingatannya rusak. Adz-Dzahabi menilainya ahadul-a’lam (salah seorang ulama besar) dan dinilai sederajat dengan Ibn Syihab az-Zuhri.
Yunus ibn Abi Ishaq masuk thabaqah 5 dari tabi’in junior dan wafat pada tahun 152 H. Ia termasuk rawi yang diriwayatkan haditsnya oleh Imam Muslim. Al-Hafizh Ibn Hajar menilainya: shaduq yahimu qalilan (jujur tetapi terkadang keliru). Sementara menurut Imam adz-Dzahabi shaduq dan dinilai tsiqah oleh Ibn Ma’in. Meski Imam Ahmad menilai haditsnya mudltharib (kacau) dan Imam Abu Hatim menilainya la yuhtajju bihi (tidak bisa dijadikan hujjah).
Penilaian Ibn Khuzaimah bahwa Syu’bah lebih hafizh daripada beberapa rawi yang seperti Yunus ibn Abi Ishaq sebenarnya tidak terlalu bermasalah karena memang Yunus ibn Abi Ishaq derajatnya ada jauh di bawah Syu’bah. Dianggap tidak terlalu bermasalah juga karena sanad Yunus dikuatkan oleh riwayat ayahnya yang selevel dengan Syu’bah yakni Abu Ishaq. Maka dari itu membandingkannya jangan Syu’bah dengan Yunus, melainkan Syu’bah dengan Abu Ishaq. Baik Syu’bah ataupun Abu Ishaq sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar di atas kedudukannya selevel dan sama-sama kuat.
Dengan data ini, maka semestinya riwayat Syu’bah yang tidak menyebutkan “qunut witir” dan riwayat Abu Ishaq yang menyebutkan “qunut witir” dinilai sederajat dan saling mengisi atau ziyadah minats-tsiqah (ada tambahan data dari rawi tsiqah yang lain). Jadi riwayat Syu’bah yang tidak menyebutkan “qunut witir” itu karena meriwayatkannya dengan ringkas, sementara Abu Ishaq lebih detail dengan menyebutkan “qunut witir”.
Terlebih riwayat Abu Ishaq dikuatkan oleh riwayat al-Hasan kepada ‘Aisyah, kepada ‘Urwah, kepada Hisyam, kepada Musa ibn ‘Uqbah. Rawi-rawi ini juga rawi tsiqah yang riwayatnya dijadikan rujukan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.
Di samping itu, sebagaimana Syaikh al-Albani jelaskan, faktanya salah satu sanad Syu’bah ada juga yang menyebutkan jelas “witir” yaitu yang diriwayatkan at-Thabrani sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ التَّمَّارُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَرْزُوقٍ، أَنَا شُعْبَةُ، عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ، قَالَ: سَمِعْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: عَلَّمَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُولَ فِي الْوِتْرِ: «اللهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ؛ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ

 At-Thabrani berkata: Muhammad ibn Muhammad at-Tammar telah mengajarkan hadits kepada kami, ‘Amr ibn Marzuq telah mengajarkan hadits kepada kami, Syu’bah telah mengajarkan hadits kepada kami, dari Buraid ibn Abi Maryam, dari Abul-Haura, ia berkata: Aku mendengar al-Hasan ibn ‘Ali ra berkata: Rasulullah saw mengajariku untuk membaca dalam witir: … (al-Mu’jamul-Kabir bab Abul-Haura ‘anil-Hasan no. 2707).
Baik Muhammad ibn Muhammad at-Tammar ataupun ‘Amr ibn Marzuq, keduanya bukan rawi yang dla’if, sehingga sanad di atas bisa dijadikan hujjah. Muhammad ibn Muhammad at-Tammar memang dinilai oleh Ibn Hibban terkadang keliru, meski demikian ia mengategorikannya tsiqat dalam kitabnya ats-Tsiqat. Ad-Daraquthni menilainya la ba`sa bihi; tidak ada masalah (Lisanul-Mizan no. 7350; Irsyadul-Qashi no. 994). Sementara ‘Amr ibn Marzuq seorang rawi yang berada pada thabaqah 9 dari atba’ tabi’in junior dan wafat pada tahun 224 di Bashrah. Haditsnya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Abu Dawud. Ibn Hajar menilainya tsiqah fadlil (terpercaya, utama) meski kadang ada kelirunya (Taqribut-Tahdzib).
Penilaian bahwa Syu’bah meringkas matan yang diriwayatkannya harus dipertimbangkan mengingat Syu’bah biasa melakukan hal demikian. Hal ini terlihat dari riwayatnya dalam Shahih al-Bukhari yang dikomentari langsung oleh Imam al-Bukhari: ikhtasharahu Syu’bah (Syu’bah meringkasnya) dalam dua tempat yakni bab tentang hamba sahaya yang dimiliki oleh bersama lalu salah seorang pemiliknya hendak melepaskan kepemilikannya (bab idza a’taqa nashiban fi ‘abd no. 2527) dan bab tentang ucapan celaka Nabi saw kepada seseorang yang bersikeras menanyakan kiamat tetapi ia abai dari mempersiapkan diri untuknya (bab ma ja`a fi qaulir-rajul wailak no. 6167). Yang diringkas Syu’bah dalam bab “ucapan celaka” adalah tidak mengutip pernyataan shahabat: “Kami juga mencintai Allah dan Rasul-Nya…”. Sementara dalam bab “hamba sahaya” adalah tidak menyebutkan matan “maka hamba sahaya itu dipekerjakan (oleh pemilik lainnya) tetapi tidak boleh memberatkan (dari yang sewajarnya)”. Terkait hal ini al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:

قَوْله : ( تَابَعَهُ حَجَّاج بْن حَجَّاج وَأَبَان وَمُوسَى بْن خَلَف عَنْ قَتَادَةَ وَاخْتَصَرَهُ شُعْبَة ) أَرَادَ الْبُخَارِيّ بِهَذَا الرَّدّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّ الِاسْتِسْعَاء فِي هَذَا الْحَدِيث غَيْرُ مَحْفُوظٍ . وَأَنَّ سَعِيد بْن أَبِي عَرُوبَة تَفَرَّدَ بِهِ ، فَاسْتَظْهَرَ لَهُ بِرِوَايَةِ جَرِير بْن حَازِم بِمُوَافَقَتِهِ ، ثُمَّ ذَكَرَ ثَلَاثَة تَابَعُوهُمَا عَلَى ذِكْرِهَا…وَكَأَنَّ الْبُخَارِيّ خَشِيَ مِنْ الطَّعْن فِي رِوَايَة سَعِيد بْن أَبِي عَرُوبَة فَأَشَارَ إِلَى ثُبُوتهَا بِإِشَارَاتٍ خَفِيَّةٍ كَعَادَتِهِ ، فَإِنَّهُ أَخْرَجَهُ مِنْ رِوَايَة يَزِيد بْن زُرَيْع عَنْهُ وَهُوَ مِنْ أَثْبَتِ النَّاسِ فِيهِ وَسَمِعَ مِنْهُ قَبْل الِاخْتِلَاط ، ثُمَّ اِسْتَظْهَرَ لَهُ بِرِوَايَةِ جَرِير بْن حَازِم بِمُتَابَعَتِهِ لِيَنْفِيَ عَنْهُ التَّفَرُّد ، ثُمَّ أَشَارَ إِلَى أَنَّ غَيْرَهُمَا تَابَعَهُمَا ثُمَّ قَالَ : اِخْتَصَرَهُ شُعْبَة ، وَكَأَنَّهُ جَوَاب عَنْ سُؤَال مُقَدَّر ، وَهُوَ أَنَّ شُعْبَة أَحْفَظُ النَّاس لِحَدِيثِ قَتَادَة فَكَيْف لَمْ يَذْكُرْ الِاسْتِسْعَاء ، فَأَجَابَ بِأَنَّ هَذَا لَا يُؤَثِّر فِيهِ ضَعْفًا لِأَنَّهُ أَوْرَدَهُ مُخْتَصَرًا وَغَيْره سَاقَهُ بِتَمَامِهِ ، وَالْعَدَد الْكَثِير أَوْلَى بِالْحِفْظِ مِنْ الْوَاحِد وَاللَّهُ أَعْلَم

Pernyataan al-Bukhari: “Mengikutinya (sebagai mutabi’) Hajjaj ibn Hajjaj, Aban, dan Musa ibn Khalaf dari Qatadah, sementara Syu’bah meringkasnya.” Al-Bukhari bermaksud menolak orang yang beranggapan bahwa istis’a (mempekerjakan hamba sahaya) dalam hadits ini tidak mahfuzh (yakni syadz/lemah karena bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih kuat) karena Sa’id ibn Abi ‘Arubah sendirian meriwayatkannya (dari Qatadah). Maka al-Bukhari menampakkan riwayat Jarir ibn Hazim yang menyamainya, kemudian menyebutkan tiga rawi yang jadi mutabi’-nya (yakni Hajjaj ibn Hajjaj, Aban, dan Musa ibn Khalaf)… Seolah-olah al-Bukhari takut ada yang menilai cacat riwayat Sa’id ibn Abi ‘Arubah sehingga ia memberi isyarat dengan isyarat-isyarat ringan sebagaimana biasanya. Padahal ia meriwayatkannya dari Yazid ibn Zurai’ darinya (Sa’id ibn Abi ‘Arubah) dan ia (Yazid) termasuk rawi yang paling kuat dalam hal periwayatan dari Sa’id dan belajar hadits darinya sebelum ikhtilath (rusak ingatan akibat tua). Kemudian al-Bukhari menguatkannya dengan riwayat Jarir ibn Hazim untuk menepis anggapan tafarrud (Sa’id sendirian mriwayatkan istis’a dari Qatadah), kemudian berisyarat bahwa selain keduanya (Sa’id dan Jarir) ada yang meriwayatkan yang sama dengan keduanya (yakni Hajjaj ibn Hajjaj, Aban, dan Musa ibn Khalaf).
Kemudian al-Bukhari menyatakan: “Syu’bah meringkasnya,” seolah-olah ini adalah jawaban dari pertanyaan yang berulang-ulang yakni bahwa Syu’bah adalah rawi yang paling hafizh dalam hal riwayat dari Qatadah, tetapi mengapa ia juga tidak menyebutkan lafazh istis’a, maka al-Bukhari menjawab bahwa hal tersebut tidak memberikan dampak dla’if terhadap riwayat tersebut (riwayat Sa’id dkk) karena Syu’bah meriwayatkan matannya dengan ringkas, sementara rawi lainnya meriwayatkan dengan detail sempurna. Jumlah rawi yang banyak lebih utama dalam hal hafalan daripada seorang rawi saja. Wal-‘Llahu a’lam (Fathul-Bari bab bab idza a’taqa nashiban fi ‘abd).
Dari uraian di atas bisa disimpulkan beberapa hal:
Pertama, sanad Syu’bah dan Abu Ishaq kedudukannya sama sederajat dalam hal keshahihannya, sehingga matan dari kedua sanad itu saling melengkapi. Do’a yang diajarkan Nabi saw kepada al-Hasan dan tidak disebutkan di mananya pada sanad Syu’bah dijelaskan pada sanad Abu Ishaq dibaca pada qunut witir.
Kedua, sanad Syu’bah dari ‘Amr ibn Marzuq pada riwayat at-Thabrani ada yang menyebutkan dibaca pada waktu witir.
Ketiga, sanad Abu Ishaq dikuatkan oleh sanad ‘Aisyah bahwa itu dibaca pada qunut witir.
Keempat, Syu’bah sudah biasa meringkas matan sebagaimana ditegaskan Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya bab idza a’taqa nashiban fi ‘abd no. 2527 dan bab ma ja`a fi qaulir-rajul wailak no. 6167.
 
Fiqih Qunut Witir
Berkaitan dengan fiqih hadits di atas, Imam at-Tirmidzi menjelaskan dalam kitab Sunannya:

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الحَوْرَاءِ السَّعْدِيِّ وَاسْمُهُ رَبِيعَةُ بْنُ شَيْبَانَ، وَلَا نَعْرِفُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي القُنُوتِ فِي الوِتْرِ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْ هَذَا. وَاخْتَلَفَ أَهْلُ العِلْمِ فِي القُنُوتِ فِي الوِتْرِ. فَرَأَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ القُنُوتَ فِي الوِتْرِ فِي السَّنَةِ كُلِّهَا، وَاخْتَارَ القُنُوتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ، وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ، وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ المُبَارَكِ، وَإِسْحَاقُ، وَأَهْلُ الكُوفَةِ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ كَانَ لَا يَقْنُتُ إِلَّا فِي النِّصْفِ الآخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، وَكَانَ يَقْنُتُ بَعْدَ الرُّكُوعِ. وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ إِلَى هَذَا، وَبِهِ يَقُولُ الشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ

Ini adalah hadits hasan. Kami tidak mengetahuinya kecuali dari sanad ini dari hadits Abul-Haura as-Sa’di, namanya Rabi’ah ibn Syaiban. Kami tidak mengetahui dari Nabi saw dalam hal qunut witir satu hadits pun yang lebih baik daripada hadits ini.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal pelaksanaan qunut witir. ‘Abdullah ibn Mas’ud menilai qunut witir diamalkan sepanjang tahun, dan ia memilih qunut sebelum ruku’. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama di antaranya Sufyan ats-Tsauri, Ibnul-Mubarak, Ishaq, dan ulama Kufah.
Sementara diriwayatkan dari ‘Ali ibn Abi Thalib bahwasanya ia tidak qunut melainkan pada pertengahan akhir bulan Ramadlan dan qunutnya setelah ruku’. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama di antaranya as-Syafi’i dan Ahmad (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fil-qunut fil-witr no. 464).
Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul-Ahwadzi menjelaskan bahwa landasan dalil dari pendapat para ulama di atas mayoritasnya adalah atsar shahabat, bukan hadits yang marfu’ dari Nabi saw. Hadits marfu’ dari Nabi saw hanya dalam hal apakah qunut itu qabla ruku’ atau ba’da ruku’. Yang ini kedua-duanya diriwayatkan dari Nabi saw dan ada dalam Shahih al-Bukhari sehingga kedua-duanya boleh diamalkan. Meski al-Mubarakfuri kemudian sepakat dengan al-Baihaqi bahwa hadits-hadits tentang qunut ba’da ruku’ jumlahnya lebih banyak sehingga lebih kuat.
Demikian halnya dalam hal apakah diamalkan sepanjang tahun ataukah di pertengahan akhir Ramadlan, atsar-atsar shahabat lebih banyak yang menyebutkan diamalkan di pertengahan akhir Ramadlan, sehingga as-Syafi’i dan Ahmad lebih memilih pendapat ini. Meski demikian, Imam Ahmad sendiri menyatakan boleh qunut sepanjang tahun, hanya menurutnya yang lebih ditekankan pada pertengahan akhir Ramadlan. Dan jika ada imam yang qunut witir bukan di pertengahan akhir Ramadlan, Imam Ahmad sendiri menyatakan akan ikut qunut bersamanya.
Di antara ulama kontemporer yang berpendapat qunut witir tidak hanya pada bulan Ramadlan adalah Syaikh al-Albani dalam kitabnya, Shifat Shalatin-Nabiy saw. Menurutnya, satu-satunya hadits marfu’ yang kuat adalah hadits al-Hasan ibn ‘Ali di atas dan tidak membatasinya pada pertengahan akhir Ramadlan saja, jadi bisa diamalkan sepanjang tahun. Tetapi mengingat Nabi saw tidak diketahui mengamalkannya atau mengajarkannya kepada yang lain, melainkan hanya kepada al-Hasan saja, maka itu berarti qunut witir tidak diamalkan secara rutin setiap malam, hanya sesekali saja pada waktu-waktu yang tidak dirutinkan setiap malam.
Terkait mengangkat tangan pada saat ruku’, al-Mubarakfuri mengutip atsar-atsar shahabat yang ditulis oleh Muhammad ibn Nashr dalam kitabnya, Qiyamul-Lail, dimana ada shahabat yang mempraktikkannya dan ada shahabat yang tidak mempraktikkannya. Menurutnya ini kembali pada status qunut itu sendiri sebagai do’a yang bisa diamalkan dengan mengangkat tangan ataupun tidak.
Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button