Ramadlan

Bulan Berderma, Bukan Bulan Belanja

Hampir dikatakan mustahil umat Islam tidak mengetahui bahwa Ramadlan bulan untuk berderma. Meski hampir dikatakan mustahil juga mayoritas umat Islam lebih banyak berdermanya daripada belanjanya. Nabi saw meneladankan kedermawanan maksimal di bulan Ramadlan bahkan sampai habis hartanya, sementara mayoritas umat ini malah belanja maksimal sampai habis uangnya dan berutang.

Entah mengapa di bulan Ramadlan mayoritas umat Islam bukan semakin meningkat nafsu berdermanya, malah semakin meningkat nafsu belanjanya. Padahal rangkaian ibadah Ramadlan harusnya mampu mendisiplinkan diri untuk meningkatkan kedermawanan, bukan meningkatkan penampilan. Di siang hari didisiplinkan shaum selama satu bulan agar berkurang syahwat makan dan syahwat dunia. Di malam hari disibukkan dengan shalat tarawih menikmati bacaan al-Qur`an dalam shalat untuk semakin melembutkan hati. Disambung dengan tadarus al-Qur`an memeriksakan hafalan atau minimalnya bacaan al-Qur`an untuk semakin melembutkan hati lagi agar semakin tinggi simpati dan empati kepada sesama. Puncaknya di sepuluh hari terakhir dididik untuk bangun malam bermunajat kepada Allah swt sampai shubuh agar semakin berkurang lagi nafsu duniawinya. Semuanya itu seharusnya cukup untuk menanamkan jiwa dermawan yang maksimal.

Nabi saw memberikan teladan mulia sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ.

Dari Ibn ‘Abbas ra ia berkata: “Rasulullah saw itu adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadlan ketika Jibril menemuinya, yakni pada setiap malam bulan Ramadlan untuk bertadarus al-Qur`an dengannya. Dan sungguh Rasulullah saw itu ketika Jibril menemuinya lebih dermawan lagi dalam hal kebaikan daripada angin yang bertiup.” (Shahih al-Bukhari bab kaifa kana bad’ul-wahyi ila Rasulillah no. 6)

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya, Fathul-Bari, menjelaskan maksud dari “dermawan” sebagai berikut:

وَالْجُود فِي الشَّرْع إِعْطَاء مَا يَنْبَغِي لِمَنْ يَنْبَغِي وَهُوَ أَعَمّ مِنْ الصَّدَقَة

Kedermawanan dalam istilah syara’: Memberikan yang pantas kepada orang yang pantas, dan ini lebih umum daripada shadaqah.

Artinya, kemudahan Nabi saw dalam memberi sudah tidak terbatasi lagi oleh kategorisasi zakat, infaq, dan shadaqah, melainkan melewati itu semua. Masuk di dalamnya hibah, hadiah, dan pemberian-pemberian lainnya. Itu sudah menjadi akhlaq Nabi saw di setiap harinya, dan terlebih lagi di bulan Ramadlan.

Para ulama syarah hadits menjelaskan, penyebab kedermawanan yang lebih meningkat dari Nabi saw pada bulan Ramadlan itu disebabkan beberapa hal:

Pertama, sebagaimana Ibn ‘Abbas sebutkan di atas, karena kegiatan mudarasah/tadarus al-Qur`an. Kegiatan berinteraksi dengan al-Qur`an tersebut akan memperbarui sifat kaya hati dalam jiwa, sehingga menjadi lebih bertambah kaya lagi dan bertambah kaya lagi. Pertambahan sifat kaya hati tersebut secara otomatis akan membuat hati lebih mudah lagi untuk berderma.

Kedua, masih sama dengan yang Ibn ‘Abbas sebutkan di atas, tapi dari aspek siapa yang turun dan apa yang diturunkan. Yang turun adalah sesosok tamu agung; malak Jibril as. Yang diturunkan juga sesuatu yang agung, yakni evaluasi bacaan al-Qur`an. Dua hal ini merupakan anugerah yang agung bagi Nabi saw. Maka sebagai bentuk syukur atas anugerah yang agung tersebut, Nabi saw pun meningkatkan kedermawanan dengan berbagi anugerah Allah swt kepada sesama.

Ketiga, Ramadlan itu musim kebaikan (musimul-khairat). Sebabnya Allah swt menganugerahkan berbagai nikmat bagi hamba-hamba-Nya pada bulan ini melebihi bulan-bulan lainnya. Maka Nabi saw pun meniru kedermawanan Allah swt tersebut dengan meningkatkan lagi kedermawanan pada bulan Ramadlan.

Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengutip penjelasan dari az-Zain ibn al-Munayyir yang menjelaskan aspek persamaan antara kedermawanan Nabi saw dengan angin dalam hal meratanya. Angin tersebut, menurut az-Zain, pastinya angin rahmat yang ditiupkan oleh Allah swt untuk menurunkan air hujan. Dari air hujan yang turun secara merata itu maka akan menyuburkan tanah; baik yang semula tandus atau yang sudah subur dari sebelumnya. Dari sana maka akan tumbuhlah berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang bisa dimanfaatkan oleh semua manusia. Demikian halnya dengan kedermawanan Nabi saw, meratai kepada semua orang; baik orang yang faqir miskin ataupun orang-orang yang kaya dan berkecukupan. Dan luasnya perataan itu kepada setiap orang, lebih luas daripada angin yang bertiup tadi (Fathul-Bari kitab as-shiyam bab ajwad ma kanan-Nabiy saw yakunu fi Ramadlan).

Dalam riwayat Ahmad, maksud kedermawanan yang hebat dari Nabi saw pada bulan Ramadlan itu, disebutkan dengan jelas sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قال كان رسولُ اللهِ ﷺ يَعْرِضُ الْكِتَابَ على جِبْرِيلَ  في كُلِّ رَمَضَانَ فإذا أَصْبَحَ رسولُ اللهِ ﷺ مِنَ اللَّيْلَةِ الَّتي يَعْرِضُ فِيْهَا مَا يَعْرِضُ أَصْبَحَ وَهُوَ أَجْوَدُ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ لاَ يُسْئَلُ عَنْ شَيْءٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ

Dari Ibn ‘Abbas ia berkata: “Rasulullah saw menyetorkan (bacaan) al-kitab (al-Qur`an) kepada Jibril pada setiap bulan Ramadlan. Di keesokan hari dari malam yang beliau menyetor al-Qur`an, beliau menjadi orang yang lebih dermawan daripada angin yang bertiup. Beliau tidak diminta dari sesuatu apapun kecuali akan memberinya.” (Musnad Ahmad musnad ‘Abdullah ibn ‘Abbas no. 2042).

Dari hadits ini diketahui bahwa kedermawanan Nabi saw dinyatakan lebih dahsyat daripada angin yang bertiup itu karena Nabi saw selalu ada dan membantu di saat orang lain membutuhkan. Ini yang kadang tidak dilakukan angin ketika orang-orang merindukan hujan di musim kemarau atau merindukan angin yang segar di saat udara kotor dan panas.

Dalam hadits Abu Sa’id ra bahkan disebutkan kedermawanan Rasul saw pada bulan-bulan biasa saja bahkan sampai menghabiskan harta beliau.

إِنَّ نَاسًا مِنْ الْأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَأَعْطَاهُمْ ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

Ada beberapa orang Anshar yang meminta kepada Rasulullah saw, lalu beliau pun memberinya. Kemudian mereka meminta lagi, lalu beliau memberinya lagi. Kemudian mereka meminta lagi, dan beliau pun memberinya lagi, sampai habis apa yang dimiliki beliau. Waktu itu beliau pun bersabda: “Harta yang ada padaku tidak mungkin aku sisakan dan sembunyikan dari kalian. Hanya siapa yang menahan diri, pasti Allah menjadikannya mampu bertahan. Siapa yang mencukupkan diri, pasti Allah memberinya kecukupan. Dan siapa yang bersabar, pasti Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih besar daripada kesabaran.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1469; Shahih Muslim kitab az-zakat bab fadllit-ta’affuf was-shabr no. 2471).

Maka dari itu Nabi saw wafat dalam keadaan menggadaikan baju perangnya kepada Yahudi untuk berutang gandum. Para ulama sepakat menjelaskan, bukan karena Nabi saw miskin, sebab faktanya Nabi saw kaya banyak berderma, tetapi justru karena kedermawanan yang maksimal itulah beliau sampai siap berutang gandum dengan menggadaikan baju perangnya (rujuk www.attaubah-institute.com: Nabi ﷺ Dermawan Sampai Berutang).

Jika Ibn ‘Abbas ra menyebutkan di bulan Ramadlan kedermawanan Nabi saw lebih maksimal lagi daripada bulan biasa, maka semakin susah tergambarkan lagi, sebab faktanya di tengah-tengah masyarakat nyaris susah menemukan teladan seperti ini. Meski demikian meneladani semaksimal yang mampu tetap harus diupayakan.

Intinya jangan sampai memperbagus penampilan dan menikmati makanan lebih diutamakan daripada berderma kepada sesama. Harus ada keberanian minimalnya menyamakan anggaran untuk belanja dengan anggaran untuk berderma. Jika masih dirasa sulit, setidaknya anggaran berderma mendekati anggaran belanja.

Fokus perhatian bulan Ramadlan itu diarahkan pada ibadah; shaum mengurangi syahwat makan, shalat tarawih lama, tadarus hafalan al-Qur`an, i’tikaf, begadang ibadah malam di sepuluh hari terakhir, dan berbagi kepada sesama. Bukan pada menu ta’jil dan makan berbuka shaum, jajanan bulan Ramadlan, wisata kuliner Ramadlan, makanan dan kue lebaran, pakaian-pakaian baru untuk lebaran, serta wisata keluarga pasca Ramadlan. Meski hal-hal yang disebutkan terakhir ini statusnya mubah, tetapi tidak harus jadi perhatian utama mengalahkan ibadah-ibadah Ramadlan itu sendiri.

Apalagi jika nafsu mempertontonkan status sosial masih bersemayam di hati dan terus sengaja ditingkatkan di bulan Ramadlan demi mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa dirinya orang yang hebat status sosialnya. Status whatsapp, Instagram, facebook, twitter, youtube, tiktok, dan sampai alam nyata dijadikannya sebagai sarana mempertontonkan status sosialnya. Itu hanya teladan yang diteladankan oleh Qarun, bukan teladan Nabi Muhammad saw.

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ فِي زِينَتِهِۦۖ قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا يَٰلَيۡتَ لَنَا مِثۡلَ مَآ أُوتِيَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٖ  ٧٩

Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.

فَخَسَفۡنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلۡأَرۡضَ فَمَا كَانَ لَهُۥ مِن فِئَةٖ يَنصُرُونَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُنتَصِرِينَ  ٨١ وَأَصۡبَحَ ٱلَّذِينَ تَمَنَّوۡاْ مَكَانَهُۥ بِٱلۡأَمۡسِ يَقُولُونَ وَيۡكَأَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُۖ لَوۡلَآ أَن مَّنَّ ٱللَّهُ عَلَيۡنَا لَخَسَفَ بِنَاۖ وَيۡكَأَنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ  ٨٢

Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)” (QS. al-Qashash [28] : 79-82).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button