Eksistensi iman salah satunya terwujud dari janji untuk berjihad di jalan Allah swt meski baru sebatas janji dan belum terpenuhi. Tetapi tentunya janji yang betul-betul janji, bersumber dari dalam sanubari hati, yang ketika waktunya tiba hati sudah bulat untuk menepati. Bukan janji penghias bibir semata sembari hati berkata entah bagaimana menepatinya. Janji yang seperti terakhir ini adalah model janjinya orang-orang munafiq.
Kedudukan janji yang baru sebatas janji sebagai salah satu bentuk iman difirmankan Allah swt dalam kitab-Nya:
مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٞ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيۡهِۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبۡدِيلٗا ٢٣ لِّيَجۡزِيَ ٱللَّهُ ٱلصَّٰدِقِينَ بِصِدۡقِهِمۡ وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ إِن شَآءَ أَوۡ يَتُوبَ عَلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٤
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya), supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafiq jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Ahzab [33] : 23-24).
Ayat 24 di atas menegaskan bahwa janji itu sendiri bisa menjadi alat ukur yang jelas apakah seseorang sudah mukmin ataukah munafiq. Jadi tidak setiap orang yang berjanji otomatis dijamin kebenaran imannya. Kembali lagi ke hatinya, apakah ia shadaqu; jujur dan benar dalam janjinya meski belum sempat menepatinya, ataukah dari dalam hatinya sendiri sudah tidak ada keinginan untuk menepati. Karakter yang disebut terakhir ini adalah karakter orang-orang munafiq. Allah swt banyak menyingkapkan kebohongan mereka dalam berbagai ayatnya, di antaranya sebelum ayat di atas dalam surat al-Ahzab [33] : 15. Demikian juga dalam QS. an-Nisa` [4] : 77, al-‘Ankabut [29] : 2-11, Muhammad [47] : 20, dan as-Shaff [61] : 2-4.
Di antara shahabat yang berhasil menunjukkan eksistensi imannya melalui janji adalah Anas ibnun-Nadlr—semoga Allah meridlainya—paman dari Anas ibn Malik ibnun-Nadlr, karena merupakan saudara ayahnya, Malik ibnun-Nadlr. Berbeda dengan saudaranya yakni ayahnya Anas, Malik ibnun-Nadlir, ia dan saudara perempuannya, ar-Rubayyi’ bintin-Nadlir yang kelak hanya ia yang mengenali jenazahnya, keduanya masuk Islam dan bahkan dipuji Allah swt keislaman mereka.
Anas ibn Malik ra menceritakan tentang janji yang dibuat oleh pamannya tersebut sebagai berikut:
غَابَ عَمِّي أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ عَنْ قِتَالِ بَدْرٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ غِبْتُ عَنْ أَوَّلِ قِتَالٍ قَاتَلْتَ الْمُشْرِكِينَ لَئِنْ اللَّهُ أَشْهَدَنِي قِتَالَ الْمُشْرِكِينَ لَيَرَيَنَّ اللَّهُ مَا أَصْنَعُ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ وَانْكَشَفَ الْمُسْلِمُونَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعْتَذِرُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلَاءِ يَعْنِي أَصْحَابَهُ وَأَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلَاءِ يَعْنِي الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ يَا سَعْدُ بْنَ مُعَاذٍ الْجَنَّةَ وَرَبِّ النَّضْرِ إِنِّي أَجِدُ رِيحَهَا مِنْ دُونِ أُحُدٍ قَالَ سَعْدٌ فَمَا اسْتَطَعْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا صَنَعَ قَالَ أَنَسٌ فَوَجَدْنَا بِهِ بِضْعًا وَثَمَانِينَ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ أَوْ طَعْنَةً بِرُمْحٍ أَوْ رَمْيَةً بِسَهْمٍ وَوَجَدْنَاهُ قَدْ قُتِلَ وَقَدْ مَثَّلَ بِهِ الْمُشْرِكُونَ فَمَا عَرَفَهُ أَحَدٌ إِلَّا أُخْتُهُ بِبَنَانِهِ قَالَ أَنَسٌ كُنَّا نُرَى أَوْ نَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِيهِ وَفِي أَشْبَاهِهِ {مِنْ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ
Pamanku, Anas ibnun-Nadlr, sedang tidak ada ketika perang Badar terjadi. Ia pun berkata: “Wahai Rasulullah aku tidak ikut serta pada peperangan pertama melawan kaum musyrikin. Tetapi sungguh jika Allah menghadirkanku dalam perang dengan kaum musyrikin lainnya, Allah akan mengetahui apa yang akan aku perbuat.” Maka pada perang Uhud ketika kaum muslimin berlarian (akibat serangan balik musuh), ia berkata: “Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu untuk memahami udzur mereka, para shahabat (yang berlarian). Aku juga berlepas diri kepada-Mu dari apa yang diperbuat mereka, kaum musyrikin.” Ia kemudian merangsek maju ke depan. Sa’ad ibn Mu’adz saat itu berpapasan muka dengannya. Ia berkata kepada Sa’ad: “Wahai Sa’ad ibn Mu’adz, itu surga, demi Rabb an-Nadlr, sungguh aku telah mencium wangi surga di balik bukit Uhud itu.” Sa’ad sendiri berkata kepada Rasulullah saw: “Saya sendiri, wahai Rasulullah, tidak mampu untuk melakukan hal yang sama dengan Anas ibn an-Nadlr.” (Anas ibn Malik melanjutkan:) Kami menemukannya dengan 80 lebih sayatan pedang, tusukan tombak, dan tembakan panah. Kami menemukannya sudah meninggal bahkan dimutilasi oleh kaum musyrikin. Tidak ada seorang pun yang mengenalnya, kecuali saudara perempuannya dari ujung-ujung jarinya. Kami menilai ayat berikut turun terkait dia dan orang-orang yang semacamnya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah…sampai akhir ayat.” (Shahih al-Bukhari kitab al-jihad was-siyar bab qaulil-‘Llah ta’a minal mu`minin… no. 2805).
Pernyataan Anas ibn Malik dalam hadits ini memang tidak memastikan bahwa ayat itu turun langsung pada saat itu ketika Anas ibnun-Nadlr gugur di medan jihad, sebab memang ayat itu turun pada perang Ahzab/Khandaq (5 H) sementara kejadian wafatnya Anas ibnun-Nadlr pada perang Uhud (3 H) sebelumnya. Hanya Anas menyatakan, salah satu contoh dari ayat di atas adalah apa yang menimpa pamannya tersebut, dan tentunya juga orang-orang yang semisalnya.
Jadi Anas ibnun-Nadlr menunggu waktu sampai satu tahun untuk menepati janjinya. Dari sejak selesai perang Badar (2 H) ia sudah berjanji bahwa ia akan berperang dengan seberani mungkin sampai kemudian berhasil ia menepati janjinya. Inilah orang mukmin sejati.
Sa’ad ibn Mu’adz yang tidak ikut serta dengan Anas ibnun-Nadlr menerjang musuh pada saat itu, tidak berarti berdosa, sebab Allah swt sendiri memberi keringanan bagi mujahid yang melawan musuh lebih dari dua kali lipatnya, atau jika seorang mujahid melawan tiga orang musuh sekaligus, ia boleh menyelamatkan dirinya. Tetapi jika masih satu dan dua orang, seorang mujahid haram melarikan diri, melainkan harus melawannya tanpa takut kalah atau mati (QS. al-Anfal [8] : 66).
Demikian halnya para shahabat yang berhamburan lari karena hoax yang disebarkan kaum muslimin pada waktu itu bahwa Nabi Muhammad saw sudah meninggal, Allah swt juga sudah mengampuni mereka, sehingga tidak layak jika kemudian sebagaimana halnya Syi’ah menjadikannya sebagai contoh buruknya aqidah dan akhlaq para shahabat. Yang benar, saat itu sudah masuk kategori rukhshah untuk melarikan diri sehingga shahabat yang melarikan diri pun tidak berdosa. Terlebih Allah swt sendiri sudah menjamin dengan ampunannya atas apa yang para shahabat lakukan saat itu (QS. Ali ‘Imran [3] : 152). Yang kemudian dikuatkan lagi di masa perang Tabuk (9 H) beberapa tahun berikutnya dimana kaum Muhajirin dan Anshar berhasil membuktikan ketidakgentaran mereka untuk melawan musuh yang jauh sekelas pasukan Romawi sekalipun, meski di saat krisis pangan sekalipun (QS. at-Taubah [9] : 117).
Al-Hafizh Ibn Hajar juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Anas ibnun-Nadlr itu adalah badzlun-nafs fil-jihad; mengorbankan nyawa dalam jihad. Ini tidak termasuk pada bunuh diri yang diharamkan, sebab memang berbeda dalam niat dan tempat. Pada bunuh diri, niatnya pasti putus asa dari taqdir dan tempatnya pun tidak di medan jihad. Sementara “mengorbankan nyawa di jalan Allah swt” niatnya betul-betul karena ingin segera menikmati wanginya surga dan tempatnya juga di medan jihad. Demikian halnya, tegas al-Hafizh, apa yang dilakukan Anas ibnun-Nadlr ini tidak termasuk larangan menjerumuskan diri dalam kebinasaan sebagaimana difirmankan Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 195), sebab sebagaimana disinggung dalam asbabun-nuzul-nya, ayat tersebut justru menyinggung kebinasaan yang dimaksud itu adalah meninggalkan jihad itu sendiri.
Meski tentunya ini juga tidak bisa dijadikan dalil bahwa bom bunuh diri yang diklaim bom jihad dan marak akhir-akhir ini, sebagai bagian dari pengorbanan nyawa yang dibenarkan sebagaimana Anas ibnun-Nadlr di atas. Praktik mengorbankan nyawa di atas hanya dibolehkan dalam jihad melawan orang-orang kafir. Bukan dalam situasi non-jihad (tidak sedang berperang) dimana orang-orang kafir yang ada berstatus sebagai kafir mu’ahad; orang kafir yang terikat kesepakatan untuk hidup bersama. Membunuh orang-orang kafir mu’ahad bukannya mengantarkan pada mencium wangi surga, melainkan justru semakin menjauhkan diri dari mencium wangi surga.
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Siapa yang membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian untuk hidup bersama secara damai), ia tidak akan mencium wangi surga. Padahal sungguh wanginya tercium dari jarak perjalanan 40 tahun (Shahih al-Bukhari kitab al-jizyah bab itsmi man qatala mu’ahadan bi ghairi jurmin no. 3166).
Wal-‘Llahu a’lam.