Hukum Memajang Foto Keluarga di Rumah
Ustadz apa hukum memajang foto keluarga di rumah? Apakah termasuk ancaman malaikat rahmat tidak akan masuk?
Hukum memajang foto keluarga di rumah adalah mubah, karena tidak termasuk kategori yang dilarang dalam hadits-hadits yang melarang gambar atau patung. Secara umum memang Nabi saw melarang memajang gambar dan patung di rumah. Tetapi gambar dan patung itu adalah yang sengaja dibuat oleh seseorang untuk menandingi penciptaan Allah swt. Diperbolehkan jika gambar/patung itu tidak dipajang melainkan direndahkan seperti dijadikan hamparan, kursi, atau keset. Diperbolehkan juga gambar/patung berupa mainan anak-anak.
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ تَمَاثِيْلُ أَوْ تَصَاوِيْرُ
Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada patung atau gambar (Shahih Muslim bab la tadkhulul-mala`ikat baitan no. 5667).
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي (وَعَلَّقْتُهُ عَلَى بَابِهَا) فِيهَا تَمَاثِيلُ (فِيهِ الْخَيْل ذَوَات الْأَجْنِحَة) فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ هَتَكَهُ وَقَالَ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ (يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ) قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ (فَلَمْ يَعِبْ ذَلِكَ عَلَىَّ
Dari ‘Aisyah ra ia berkata: Rasulullah saw pulang dari safar dan saya menutupi sebuah ruangan kecil (pada pintunya) dengan korden yang ada gambarnya (kuda bersayap). Ketika Rasulullah saw melihatnya beliau mencabutnya sambil berkata: “Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah (akan dikatakan kepada mereka: hidupkan apa yang kalian buat!).” ‘Aisyah berkata: “Maka kami menjadikannya satu atau dua bantal hamparan (dan beliau tidak menyalahkannya).” (Shahih al-Bukhari bab ma wuthi`a minat-tashawir no. 5954, 5955, 5957 dan Shahih Muslim bab la tadkhulul-mala`ikat baitan no. 5642, 5645)
Hadits terakhir ini menunjukkan bahwa yang diharamkan itu yang dipajang. Jika diduduki, ditiduri, atau diinjak tidak haram. Hadits ini juga menunjukkan bahwa yang haram itu yang dibuat langsung oleh pelukis/pemahatnya dengan satu kebanggaan bisa membuat sebuah karya yang menyerupai ciptaan Allah swt, sehingga kelak akan ditantang oleh Allah swt untuk menghidupkannya. Maka dari itu, foto tidak termasuk ke dalam larangan ini, sebab foto merupakan tangkapan bayangan makhluk Allah swt 100%, bukan membuat sendiri dengan kebanggaan bisa menandingi ciptaan Allah swt. Sehingga tidak termasuk ancaman untuk menghidupkannya, karena memang fotografer tidak sedang membuat atau menciptakan sesuatu. Sehingga kalaupun dipajang, hukumnya tidak haram.
Dalam hal ini memang ada ikhtilaf di kalangan para ulama. Yang membolehkan foto di antaranya A. Hassan, Syaikh al-‘Utsaimin, Yusuf al-Qaradlawi, Wahbah az-Zuhaili dan lainnya. Sementara yang mengharamkan karena sama saja sebagai gambar di antaranya Syaikh Ibn Baz, al-Albani, dan para ulama lainnya. Menyikapi perbedaan ini kita tentu dianjurkan untuk saling menghargai ijtihad masing-masing. Dan dengan sendirinya kebolehan difoto dan memajang foto pun tidak berlebihan, melainkan sekedar keperluan yang mendesak, karena khawatir masuk pada yang terlarang.
Tentu saja kebolehan memajang foto itu adalah foto keluarga atau sesuatu yang tidak akan dikultuskan. Jika ada kemungkinan dikultuskan, maka ini adalah peluang munculnya syirik. Foto yang dimaksud juga bukan tokoh-tokoh atau publik figure dari orang-orang kafir dan fasiq yang tidak layak dibanggakan. Apalagi yang jelas-jelas memperlihatkan aurat.
Sementara hadits yang mengecualikan gambar atau patung sebagai mainan haditsnya ada dalam Shahih al-Bukhari bab al-inbistah ilan-nas no. 6130 dan Sunan Abi Dawud bab fil-la’ib bil-banat no. 4934. Saat itu ‘Aisyah sedang main mainan kuda bersayap bersama anak-anak kecil perempuan. Nabi saw tidak menyalahkannya, malah hanya tersenyum ketika Nabi saw menanyakan mana ada kuda bersayap, lalu dijawab oleh ‘Aisyah, ada karena kuda Nabi Sulaiman as juga bersayap. Wal-‘Llahu a’lam.