Pendidikan

Belajar di Rumah dalam Sunnah

Rumah adalah tempat utama pendidikan, bukan sekolah, sebab sekolah hanya sekedar lembaga pembantu pendidikan. Fokus pendidikan menjadikan “manusia yang baik” sepenuhnya harus dikontrol dari rumah. Sang pendidiknya tentu saja orangtua; ayah dan ibu atau suami dan istri. Momentum Belajar di Rumah semestinya tidak membuat kegiatan pendidikan terganggu, malah harus semakin bermakna karena orangtua mampu mengontrol penuh pendidikan untuk anak-anaknya. Terkecuali jika orangtuanya sudah menjadi babu untuk anak-anaknya.

Fokus utama pendidikan, terutama pendidikan di rumah, adalah menjadikan “manusia yang baik”. Kriterianya adalah bertauhid, berakhlaq mulia, benar dalam beribadah, memahami al-Qur`an dan sunnah, berbahasa baik (literasi), mampu menghitung hitungan-hitungan pokok yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari (numerasi), dan memahami fenomena alam dan sosial melalui pembelajaran langsung di dunia nyata. Kompetensi tambahan lainnya seperti menguasai ilmu agama (tafaqquh), ilmu alam, ilmu sosial, ilmu budaya, dan matematika memerlukan bantuan dari para ahli yang saat ini terhimpun di pesantren atau sekolah. Akan tetapi karena situasi saat ini sedang tanggap darurat pandemi Covid-19, pastinya belajar melalui lembaga pesantren atau sekolah terkendala darurat juga. Maka dari itu sudah seyogianya setiap rumah bisa memaksimalkan perannya sebagai tempat pendidikan utama.

Sunnah dalam hal ini sudah memberikan tuntutan bahwa pendidikan menjadikan “manusia yang baik” diarahkan pada beberapa ajaran, yaitu:
Pertama, menjaga kemurnian fithrah anak. Fithrah artinya ‘penciptaan asal’, maksudnya penciptaan asal manusia dalam keadaan tauhid kepada Allah swt. Jangan sampai terseret menjadi Yahudi, Nashrani, Majusi, atau agama-agama sesat lainnya.

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ، هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani atau Majusi. Seperti seekor hewan yang dilahirkan ibunya, adakah kamu melihat di antaranya yang terpotong telinganya? (Shahih al-Bukhari kitab al-jana`iz bab ma qila fi aulad al-musyrikin no. 1385; Shahih Muslim kitab al-qadr bab ma’na kulli maulud yuladu ‘alal-fithrah no. 6926-6932)

Orang Arab mempunyai tradisi memotong telinga unta. Jadi kalau ada unta yang potong telinganya, itu disebabkan dipotong oleh pemiliknya, bukan dilahirkan sudah dalam keadaan terpotong telinganya. Artinya jika ada seseorang beragama Yahudi atau Nashrani, maka hal itu disebabkan ia di-Yahudi-kan atau di-Nashrani-kan oleh orang tuanya.

Termasuk dalam hal ini aqidah dan akhlaq yang masih dalam tahap tasyabbuh; menyerupai aqidah dan akhlaq Yahudi, Kristen, dan agama-agama sesat lainnya. Menjadi non-muslim sepenuhnya memang tidak, tetapi aqidahnya sudah pluralis, sekularis, dan liberalis seperti orang kafir; atau akhlaqnya mirip dengan orang-orang kafir, itu semua adalah tanggung jawab orangtua dalam mendidik dan menjaga fithrah-nya.

Kedua, mengajarkan ibadah dari sejak dini. Khusus untuk shalat disertai instruksi yang tegas sejak usia 7 tahun dan pemberian hukuman pukulan ketika sudah berusia 10 tahun.

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Perintahkanlah anak-anakmu shalat pada usia 7 tahun. Pukullah mereka pada usia 10 tahun, dan pisahkan juga mereka di tempat tidur mereka (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab mata yu`marul-ghulam bis-shalat no. 495).

Masuk dalam memerintahkan shalat ini juga memerintahkan anak untuk belajar al-Qur`an dan agama Islam, sebab dalam shalat wajib membaca al-Qur`an, berdo’a, berdzikir, meyakini Allah swt, Nabi saw, dan hari akhir yang disebut-sebut dalam bacaan shalat, dan mengetahui ajaran-ajaran Islam lainnya yang terkandung dalam bacaan surat-surat al-Qur`an. Memerintahkan shalat juga berarti memerintahkan berjilbab untuk anak perempuan, sebab shalat tidak sah tanpa berjilbab. Artinya, memasuki usia 7 tahun anak harus diperintah untuk belajar membaca al-Qur`an, belajar Islam, dan berjilbab. Memasuki usia 10 tahun, jika anak masih abai dari tiga hal tersebut maka anak harus diberi hukuman pukulan. Memasuki usia baligh, jika anak masih malas/meninggalkan shalat, belajar Islam, dan tidak berjilbab maka harus dihukum yang lebih berat lagi. Akan tetapi pembatasan Nabi saw dalam rentang usia 7-10 tahun menunjukkan bahwa jika pada rentang usia tersebut sudah benar dididikkan shalat, mengaji al-Qur`an, belajar Islam, dan berjilbab, maka kemungkinan berhasilnya 99%. Mereka yang gagal mendidikkan pendidikan pokok Islam ini sampai usia dewasa anak, disebabkan gagal pula dalam mendidikkannya di rentang usia 7-10 tahun.

Mendidik ibadah juga berlaku dalam shaum. Sebagaimana diceritakan oleh ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz terkait shaum ‘Asyura (10 Muharram) yang statusnya sunat:

فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ

Setelahnya kami shaum ‘Asyura dan melatih anak-anak kami shaum. Kami buatkan untuk mereka mainan dari bulu/kapas. Jika salah seorang di antara mereka menangis ingin makan, kami memberinya mainan tersebut hingga datang waktu berbuka (Shahih al-Bukhari bab shaumis-shibyan no. 1960).

Dalam riwayat Muslim disebutkan juga bahwa anak-anak yang dilatih shaum itu terkadang dibawa ke masjid untuk memalingkan perhatian mereka dari ingin makan (Shahih Muslim bab man akala fi ‘Asyura no. 2725).

Ini menunjukkan bahwa anak-anak juga dididik shaum, termasuk shaum sunat yang momentumnya tahunan seperti shaum ‘Asyura. Jangan merasa membuang-buang waktu juga membawa mereka bermain atau ngabuburit guna memalingkan perhatian mereka dari ingin makan.

Ketiga, pendidikan kesadaran seks dan gender. Ini terlihat dari perintah memisahkan tempat tidur dalam hadits perintah shalat di atas. Imam al-Munawi menjelaskan dalam kitab Fathul-Qadir syarah al-Jami’us-Shaghir: “Pisahkanlah anak-anak di tempat tidur mereka apabila sudah sampai usia 10 tahun untuk menjauhi penyimpangan-penyimpangan syahwat jika mereka saudara-saudara perempuan.” Imam at-Thibi menjelaskan: “Nabi saw menyatukan antara perintah shalat dan memisahkan di tempat tidur di masa kanak-kanak itu sebagai pendidikan bagi mereka, menjaga perintah Allah secara keseluruhan, pengajaran bagi mereka, khususnya dalam hal pergaulan sesama makhluk, dan agar mereka tidak jatuh pada hal-hal yang mengundang prasangka, sehingga mereka menjauhi yang haram. Demikianlah.” (Imam al-‘Azhim Abadi, ‘Aunul-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab mata yu`marul-ghulam bis-shalat).

Keempat, mendidik agar ikut berperan serta dalam kerja sama melaksanakan tugas-tugas bersama. Sebagaimana diceritakan oleh Anas ibn Malik ra yang menghabiskan masa kecilnya di rumah Nabi saw sampai beliau wafat:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا فَأَرْسَلَنِى يَوْمًا لِحَاجَةٍ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لاَ أَذْهَبُ. وَفِى نَفْسِى أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِى بِهِ نَبِىُّ اللهِ ﷺ . قَالَ فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرَّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِى السُّوقِ فَإِذَا رَسُولُ اللهِ ﷺ قَابِضٌ بِقَفَاىَ مِنْ وَرَائِى فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ يَا أُنَيْسُ اذْهَبْ حَيْثُ أَمَرْتُكَ. قُلْتُ نَعَمْ أَنَا أَذْهَبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ أَنَسٌ وَاللَّهِ لَقَدْ خَدَمْتُهُ سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ مَا عَلِمْتُ قَالَ لِشَىْءٍ صَنَعْتُ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا. وَلاَ لِشَىْءٍ تَرَكْتُ هَلاَّ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا

Rasulullah saw adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Pernah pada suatu hari beliau menyuruhku untuk suatu keperluan. Lalu aku berkata: “Demi Allah, aku tidak akan pergi.” Padahal hatiku berkata aku akan pergi sebagaimana diperintahkan Nabi saw. Lalu aku keluar rumah ikut bermain bersama anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah saw memegang bahuku dari belakang. Ketika aku melihatnya, ternyata beliau tersenyum, dan berkata: “Hai Anas kecil, pergilah ke mana aku perintahkan tadi.” Aku jawab: “Baik, saya akan pergi wahai Rasulullah.” Anas berkata: “Demi Allah, aku menjadi pembantu Rasulullah saw selama 7-9 tahun. Aku tidak pernah tahu beliau pernah berkata tentang sesuatu yang aku perbuat ‘mengapa kamu mengerjakan ini dan itu?’ Juga tentang sesuatu yang tidak aku kerjakan ‘mengapa kamu tidak mengerjakan ini dan itu?’ (Sunan Abi Dawud kitab al-adab bab fil-hilm wa akhlaqin-Nabi saw no. 4775)

Dalam hadits lain diketahui bahwa Nabi saw cukup memberikan penjelasan, bukan memperlihatkan kemarahan, meski yang diberikan penjelasan kemungkinan besar belum mampu memahaminya.

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ  أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ كِخْ كِخْ لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ

Abu Hurairah berkata: Hasan ibn ‘Ali ra pernah mengambil satu buah kurma dari kurma zakat, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Nabi saw langsung berkata kepadanya: “Kikh, kikh,” agar Hasan memuntahkannya. Kemudian Nabi saw bersabda: “Tidakkah kamu tahu bahwa kita tidak makan zakat.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab ma yudzkaru fis-shadaqah lin-Nabi saw wa alihi no. 1491; Shahih Muslim kitab az-zakat bab tahrimiz-zakat ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa hum Banu Hasyim no. 2522).

Alasannya bukan karena dalam hadits di atas sesosok Nabi saw, sementara saya hanya sesosok manusia biasa. Melainkan karena dalam hadits di atas Nabi saw sudah menjadi pendidik, sementara saya mungkin belum memerankan sebagai pendidik. Meneladani sepenuhnya akhlaq Rasulullah saw memang tampak mustahil. Tetapi berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani akhlaq Rasulullah saw adalah sebuah kemestian. Maka dari itu kuncinya kembali pada sejauh mana kesiapan untuk meneladani akhlaq Rasulullah saw.

Apa yang diuraikan di atas mungkin saja dinilai sepele. Akan tetapi faktanya semua pendidik pasti merasakan bagaimana sulitnya mendidikkan aqidah, akhlaq, dan ibadah kepada anak-anak di rumah. Kesulitan itu pada umumnya karena orangtua selama ini hanya menempatkan dirinya sebagai babu-babu yang melayani kebutuhan fisik anak-anaknya semata. Itu artinya anak-anak sudah menjadi majikan dan orangtua menjadi babu mereka, persis sama dengan sinyalemen Nabi saw tentang tanda kiamat di akhir zaman yang sudah tampak nyata. Tinggal kembali kepada setiap orangtua, apakah akan seterusnya terbawa arus buruk gejala kiamat, ataukah hendak menyelamatkan diri dan keluarga dari dampak buruk gejala kiamat tersebut.
Wal-‘Llahul-Muwaffiq

Related Articles

Back to top button