Babak Nikah Beda Agama Belum Berakhir

Untuk kesekian kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Undang-undang Perkawinan yang melarang nikah beda agama. Mahkamah memutuskan bahwa UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Negara berkewajiban melegalkan setiap perkawinan warga negara, tetapi keabsahan perkawinan tersebut dikembalikan pada ketentuan agama yang dipeluk oleh masing-masing warga negara. Akan tetapi dua hakim MK kemudian melemparkan bola kepada Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Perkawinan karena sudah dianggap tidak sesuai dengan tuntutan zaman seiring banyaknya gugatan untuk melegalkan nikah beda agama.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 menetapkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap sah berlaku dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Putusan ini menguatkan dua putusan terakhir serupa pada tahun 2010 dan 2014 melaui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014. Dalam dua Putusan sebelumnya tersebut MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum. Demikian sebagaimana dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pembacaan Putusan, Selasa, 31 Januari 2023 M.
Ada tiga ayat yang selalu digugat oleh kelompok anti-agama dalam UU Perkawinan Tahun 1974 yaitu:
Pasal 2 Ayat (1) : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 2 Ayat (2) : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 8 huruf f : “Perkawinan dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Para penggugat selalu membenturkannya dengan peraturan tentang perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) internasional yaitu Universal Declaration Human Rights (UDHR atau Deklarasi Universal HAM) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR atau Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik) sehingga menyimpulkan bahwa UU Perkawinan bertentangan dengan HAM dan kemudian mendesak untuk dinyatakan tidak berlaku. Dalih berikutnya, baik UDHR dan ICCPR tersebut sudah diratifikasi dalam UUD 1945 dan secara khusus menjadi UU HAM di Indonesia. Maka setiap pembatasan agama yang mengekang kebebasan, menurut mereka, harus ditolak demi hukum.
Rujukan mereka terhadap UDHR dan ICCPR itu sendiri selalu saja tidak dengan seutuhnya. Padahal di Pasal 18 Ayat 3 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) sendiri sudah ditegaskan: “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.”
Dalam hal inilah MK menegaskan bahwa MK mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang diakui oleh Indonesia yang kemudian tertuang dalam konstitusi sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia. Meskipun demikian, HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa. Jaminan perlindungan HAM secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial dan budaya rakyat di negara masing-masing (mkri.id).
Pertimbangan hukum berikutnya, sebagaimana dibacakan Hakim Konstitusi Wahiduddin, ihwal keberadaan negara dalam mengatur perkawinan, MK pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2018. Berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua, pertama beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.
Adapun perkawinan, MK menegaskan, merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan haji. Peran negara bukanlah membatasi keyakinan seseorang melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974.
Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Adanya pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum (mkri.id).
Akan tetapi dua hakim MK, Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh, menyampaikan padangan yang berbeda. Menurut mereka berulang kalinya gugatan atas UU Perkawinan menunjukkan bahwa Negara dinilai tidak melindungi warganya yang ingin menikah meski beda agama. Untuk itu kedua hakim MK tersebut menyerahkan kembali UU Perkawinan tersebut kepada Pemerintah dan DPR untuk ditinjau ulang sesuai tuntutan zaman sekarang yang tentunya berbeda dari kondisi zaman pada tahun 1974 (mkri.id).
Pandangan dua hakim MK yang berbeda tersebut tentunya ibarat melempar bola panas kepada Pemerintah dan DPR untuk berani meninjau ulang UU Perkawinan yang tidak melegalkan perkawinan beda agama. Maka bola panas yang ada di Pemerintah dan DPR tersebut pastinya akan menjadi bola liar. Akan ditendang ke manakah bola tersebut tergantung ideologi mayoritas yang ada di Pemerintah dan DPR, sebab pengambilan keputusan di dunia demokrasi selalu diserahkan pada suara terbanyak.
Media-media massa sampai tulisan ini ditulis saja ramai-ramai menyoroti putusan MK di atas dengan mengundang partisipasi pendapat dari berbagai kalangan. Kesimpulannya pasti UU Perkawinan dinilai bermasalah dan harus ditinjau ulang karena ada banyak orang mempersalahkannya. Meski kemudian tidak diteliti lebih lanjut oleh media-media tersebut, mana dari yang ramai berpendapat itu yang berbasis pada nilai-nilai agama dan mana yang tidak.
Perkawinan adalah benteng terakhir pendidikan agama yang dilindungi oleh semua pemeluk agama khususnya Islam. Isu kawin beda agama ini dari sejak lama terbelah pada dua ideologi besar yakni liberalisme atau sekularisme yang meminimalkan atau bahkan menihilkan peran agama dalam dunia kemasyarakatan; dan paham keagamaan yang menghendaki agama hadir dan mengambil peran yang besar dalam dunia kemasyarakatan. Diakuinya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan menjadi dasar dari keempat sila berikutnya tentunya mengukuhkan peran agama untuk selalu hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sebab demikianlah adanya budaya bangsa Indonesia. Jika kemudian Pemerintah dan DPR hendak melegalkan kawin beda agama dengan pertimbangan Negara tidak perlu campur tangan pada keyakinan masyarakat maka itu sama saja berarti dengan membuang agama dari kehidupan masyarakat. Pemerintah dan DPR berarti secara terang-terangan hendak merusak falsafah negara yang dibuat oleh para pendiri bangsa ini dengan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Umat Islam sebagai penjaga utama ideologi agama dalam negara sudah seyogianya senantiasa waspada dan peka terhadap segala upaya yang tiada henti untuk menghilangkan atau mengurangi peran agama dari kehidupan bermasyarakat. Islam itu agama rahmatan lil-‘alamin. Ia harus hadir di seluruh alam agar menjadi rahmat bagi semuanya. Bukan malah disingkirkan ke ranah-ranah privat dan rumah-rumah ibadah semata. Kehidupan masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama, terlebih keluarga, hanya akan menjadi laknat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi keluarga yang melaksanakan kawin beda agama saja. Kemadlaratan yang ditimbulkan keluarga yang mengabaikan agama akan berdampak kepada seluruh lapisan masyarakat dan kemudian menjalar ke seluruh alam. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.