Anas Selalu Berqurban Dua Kambing

Shahabat Anas ibn Malik t yang hidup bersama Nabi selama beliau di Madinah hafal betul kebiasaan Nabi dalam rutinitas ibadahnya. Salah satunya dalam hal sunnah ibadah qurban. Sepengetahuan Anas, Nabi selalu berqurban minimal dua kambing besar setiap tahunnya. Maka Anas pun mengikuti kebiasaan Nabi tersebut dengan berqurban dua kambing besar hampir di setiap tahunnya.


Hadits Anas ibn Malik ra yang merutinkan berqurban dengan dua kambing besar karena mengikuti (ittiba’) sunnah Nabi saw diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya sebagai berikut:

قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ  كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ وَأَنَا أُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ

Anas ibn Malik ra berkata: “Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar, dan saya pun berqurban dengan dua kambing besar.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5553).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan maksud hadits di atas:

فِي هَذِهِ زِيَادَة قَوْل أَنَس أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ لِلِاتِّبَاعِ، وَفِيهَا أَيْضًا إِشْعَار بِالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ

Dalam riwayat ini ada tambahan pernyataan Anas bahwasanya ia berqurban dengan dua kambing besar sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti Nabi saw). Dalam riwayat ini juga terdapat isyarat bahwa beliau merutinkan hal tersebut (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).
Artinya bahwa apa yang dilakukan Anas ibn Malik itu adalah ittiba’/mengikuti sunnah Nabi saw dalam hal merutinkan berqurban dengan dua kambing di setiap tahunnya. Bahkan bukan hanya dua kambing biasa, melainkan dua kambing besar dan gemuk, sebagaimana disebutkan Anas dalam sanad lain:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ انْكَفَأَ إِلَى كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

Dari Anas: “Sesungguhnya Rasulullah saw memilih dua kambing besar yang bertanduk dan hitam putih bulunya, lalu beliau sembelih dengan tangannya sendiri.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5554)
Hadits tentang kebiasaan Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar ini diriwayatkan juga oleh shahabat Abu Hurairah dan Jabir sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ النَّبِيّ ﷺ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّي اِشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ فَذَبَحَ أَحَدهمَا عَنْ مُحَمَّد وَآل مُحَمَّد وَالْآخَر عَنْ أُمَّته مَنْ شَهِدَ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيدِ وَلَهُ بِالْبَلَاغِ

Dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi saw apabila akan berqurban beliau membeli dua ekor kambing yang besar, gemuk, hitam putih bulunya, dan yang dikebiri. Beliau menyembelih yang satu untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, dan yang satunya lagi untuk umatnya yang bersyahadat bahwa Allah esa dan bahwasanya beliau utusan yang menyampaikan risalah.” (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw mengutip riwayat ‘Abdur-Razzaq).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ذَبَحَ النَّبِىُّ ﷺ يَوْمَ الذَّبْحِ كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مُوجَأَيْنِ

Dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata: “Nabi saw menyembelih pada hari penyembelihan dua kambing besar yang bertanduk, hitam putih bulunya, dan dikebiri.” (Sunan Abi Dawud bab ma yustahabbu minad-dlahaya no. 2797).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, meski ada ulama yang memandang jelek kambing dikebiri karena mengganggu organ hewan, tetapi pendapat tersebut kurang tepat karena faktanya ada diriwayatkan dengan shahih. Di samping itu, fakta lainnya membuktikan bahwa pengebirian kambing itu bermanfaat agar dagingnya enak, juga menghilangkan lemak dan bau busuk kambing (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).
Maksud mudawamah (merutinkan) yang dinyatakan al-Hafizh Ibn Hajar di atas tentu bukan berarti haram/makruh melebihkan dari dua kambing atau mengurangi dari itu, sebab ternyata Nabi saw pernah berqurban dengan seekor sapi untuk beliau dan keluarganya, juga pernah dengan seekor kambing. Hadits-haditsnya sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

Dari ‘Aisyah ra: “Rasulullah saw pernah berqurban dengan sapi untuk istri-istrinya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adlahi bab al-udlhiyyah lil-musafir wan-nisa` no. 5548. Jika dibaca lengkap redaksi haditsnya, diketahui bahwa ini diamalkan Nabi saw ketika haji wada’)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ. فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ. ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

Dari ‘Aisyah ra: Rasulullah saw memerintah untuk dibawakan kambing besar bertanduk, yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Lalu dibawakan kepada beliau untuk diqurbankan. Beliau bersabda kepadanya: “Hai ‘Aisyah, bawakan golok itu.” Kemudian berkata juga: “Asahlah dengan batu.” ‘Aisyah pun mengerjakannya, kemudian beliau mengambil golok tersebut, lalu mengambil kambing dan membaringkannya, kemudian menyembelihnya dengan berdo’a: “Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (qurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” Kemudian beliau berqurban dengannya (Shahih Muslim kitab al-adlahi bab istihbabid-dlahiyyah no. 5203).
Standar dari ibadah qurban itu sendiri adalah satu ekor kambing untuk satu keluarga, sebagaimana dijelaskan dalam hadits di bawah ini:

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ ؟ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

Dari ‘Atha ibn Yasar ia berkata, aku bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari: “Bagaimana qurban kalian pada zaman Rasulullah saw?” Ia menjawab: “Seseorang pada zaman Nabi saw berqurban satu ekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. (Sunan Ibn Majah kitab al-adlahi bab man dlahha bi syatin ‘an ahadin no. 3147).
Tetapi rupanya Nabi saw, dan kemudian diikuti oleh Anas ibn Malik ra, ingin melebihkan dari standar tersebut. Menurut Ibn ‘Abbas, itu terkait dengan tuntunan untuk mengagungkan hewan qurban yang disebut Allah swt sebagai syi’ar-Nya sebagai implementasi taqwa (QS. Al-Hajj [22] : 32 dan 36). Cara mengagungkannya tersebut dengan berqurban maksimal; memilih hewan yang gemuk dan bahkan tidak hanya satu ekor, melainkan lebih.
Ini tentu bukan bentuk riya (pamer). Nabi saw dan shahabatnya pasti sudah bersih dari niatan jelek tersebut. Riya itu sendiri urusannya hati. Jadi meskipun qurbannya hanya seekor kambing kurus, kalau hatinya riya, maka tetap saja amalnya tidak akan diterima. Demikian juga sebaliknya, jika hati bersih dari riya, maka sah-sah saja seseorang berqurban dengan dua ekor kambing di setiap tahunnya, atau bahkan dengan seekor atau dua ekor sapi, dan seterusnya.
Tidak perlu ada dalih bahwa yang sampai kepada Allah swt itu bukan dagingnya, tetapi taqwanya. Sebab jawabannya justru untuk memastikan taqwa sampai kepada Allah swt harus dibuktikan dengan qurban yang maksimal. Bagi orang-orang kaya seperti Anas ibn Malik ra, tidak ada salahnya untuk ittiba’ pada kebiasaan Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar. Atau jika berserikat dalam satu sapi, dianjurkan mengambil dua saham atau lebih. Atau mungkin juga dengan satu saham, tetapi dengan harga yang lebih dari saham-saham lainnya agar hewan qurbannya lebih besar. Ini semua sebagai bentuk kepedulian untuk memelihara taqwa dalam ibadah qurban, sebagaimana difirmankan Allah swt:

وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ  ٣٢

Dan siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (secara khusus hewan qurban—berdasarkan ayat 36), maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al-Hajj [22] : 32).