Agar Tangan Selalu di Atas
Zakat sebagai salah satu rukun Islam tampak dalam akhlaq umatnya yang selalu menempatkan tangannya di atas tangan orang lain. Tanpa tangan yang selalu berada di atas, zakat beserta infaq dan shadaqah tidak akan pernah bisa diamalkan. Maka setiap orang yang masih selalu berharap agar tangannya di bawah, bahkan berbahagia jika tangannya berada di bawah tangan orang lain, itu pertanda Islamnya tidak benar karena rukun yang ketiganya tidak menopang keberagamaan Islamnya.
Konsep “tangan di atas” dan “tangan di bawah” diajarkan Nabi saw dalam salah satu sabdanya:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi/mengeluarkan infaq, sedang tangan di bawah adalah yang meminta (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab la shadaqah illa ‘an zhahri ghinan no. 1429).
Di samping itu, Nabi saw juga mengajarkan konsep “tangan” ini dalam sabdanya yang lain ketika beliau memberi nasihat kepada Hakim ibn Hizam. Sebagaimana dituturkan oleh Hakim ibn Hizam sendiri:
قَالَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى قَالَ حَكِيمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَدْعُو حَكِيمًا إِلَى الْعَطَاءِ فَيَأْبَى أَنْ يَقْبَلَهُ مِنْهُ ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ دَعَاهُ لِيُعْطِيَهُ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ شَيْئًا فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أُشْهِدُكُمْ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ أَنِّي أَعْرِضُ عَلَيْهِ حَقَّهُ مِنْ هَذَا الْفَيْءِ فَيَأْبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَلَمْ يَرْزَأْ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى تُوُفِّيَ
Hakim ibn Hizam ra berkata: Aku pernah meminta kepada Rasulullah saw dan beliau memberiku. Aku meminta lagi, beliau pun memberi lagi. Aku meminta lagi, beliau memberi lagi. Kemudian beliau bersabda: “Hai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kebersihan hati, ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri, dia tidak akan diberi barakah. Seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Hakim berkata, aku pun menjawab: “Wahai Rasulullah, demi Yang mengutusmu dengan haq, saya tidak akan meminta lagi kepada seorang pun sesudahmu sampai aku meninggal dunia.” Abu Bakar pernar memanggil Hakim untuk diberi bagian fai (harta rampasan musuh tanpa perang), tapi ia enggan menerima. Kemudian ‘Umar juga memanggil Hakim untuk diberi bagian fai, tapi ia enggan menerimanya. ‘Umar pun berkata: “Aku meminta kalian jadi saksi, wahai kaum muslimin, bahwa aku sudah memberikan hak fai kepada Hakim tapi ia enggan mengambilnya.” Hakim tidak pernah lagi meminta kepada seorang pun sesudah Rasulullah saw sampai meninggal dunia (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1472. Hakim tidak mau menerima fai meski ia berhak karena wara’; hati-hati dan takut hatinya menjadi senang diberi dan meminta kembali. Dalam riwayat Ishaq ibn Rahawaih disebutkan, ketika meninggal dunia pada masa Mu’awiyah, Hakim menjadi orang Quraisy yang paling banyak meninggalkan harta warisan).
Dalam hadits di atas diketahui bahwa konsep “tangan di atas” sebagaimana ditegaskan juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar (dalam Fathul-Bari bab la shadaqah illa ‘an zhahri ghinan) mencakup juga: (a) yadul-muta’affif; tangan orang yang menahan diri dari meminta. Ketika Nabi saw menasihati Hakim: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” beliau memberinya nasihat untuk tidak meminta. (b) yadul-akhidz bi ghairi su`al; tangan orang yang menerima tanpa meminta. Ini terlihat dari nasihat Nabi saw kepada Hakim: “Siapa yang mengambilnya dengan kebersihan hati (tidak ada keinginan diberi atau bahkan meminta), ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri untuk diberi, dia tidak akan diberi barakah,” yang kemudian dilanjutkan dengan pernyataan beliau: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Penegasan bahwa yang menerima bukan karena meminta atau bukan karena ingin diberi tidak termasuk “tangan di bawah” disabdakan Nabi saw kepada ‘Umar ibn al-Khaththab ketika ia menolak pemberian Nabi saw. ‘Umar menuturkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
Rasulullah saw pernah memberiku satu pemberian (hak amil zakat). Aku berkata: “Berikanlah kepada orang yang lebih miskin dariku.” Jawab Nabi saw: “Terimalah. Jika datang kepadamu dari harta seperti ini, meskipun sedikit dan kamu tidak memperlihatkan diri ingin diberi atau meminta, terimalah. Apa yang tidak diberikan, maka janganlah kamu menginginkannya.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab man a’thahul-‘Llah syai`an min ghairi mas`alah no. 1473).
Tegasnya, “tangan di atas” adalah tangannya orang yang selalu memberi atau mereka yang tidak mampu memberi tetapi enggan meminta atau bahkan enggan memperlihatkan diri ingin diberi (isyraf). Sementara “tangan di bawah” adalah tangannya orang yang selalu meminta atau mereka yang memperlihatkan diri ingin diberi (isyraf).
Nabi saw menyatakan bahwa “tangan di bawah” jelek karena itu yang menyebabkan hidup tidak barakah. Nabi saw gambarkan sendiri “seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang.” Kuncinya, sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Hajar, terletak pada kemanfaatan, bukan banyaknya harta. Bisa jadi secara kasat mata harta orang yang tangannya di bawah bertambah banyak, tetapi tetap tidak akan barakah karena tidak ada manfaatnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Maka adanya menjadi seperti tiada (Fathul-Bari bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah).
Maka dari itu, setiap muslim mutlak untuk selalu memillih “tangan di atas” karena itulah yang baik dan selalu lebih baik. Agar tangan selalu di atas, sebagaimana Nabi saw ajarkan dalam sabdanya di atas, kuncinya terletak pada keberanian diri untuk selalu menanamkan sakhawah nafsi; kedermawanan diri, dengan cara menghilangkan nafsu ingin diberi atau ingin meminta. Keberanian tersebut juga sebaiknya disertai dengan bersumpah untuk selalu menempatkan tangan di atas. Dalam hal ini harus selalu diingat bahwa Islam mengajarkan zakat, infaq dan shadaqah, bukan meminta atau ingin diberi orang lain. Selama dalam hati ada keinginan meminta atau diberi orang lain, maka selamanya tidak akan bisa atau minimalnya selalu berat mengamalkan zakat, infaq dan shadaqah.
Sakhawah nafsi, menurut Ibn Hajar, juga bisa bermakna menjaga kedermawanan diri orang yang memberi. Dalam artian jangan sampai yang memberi tidak dalam keadaan yang dermawan ketika memberi. Bisa karena terpaksa memberi padahal saat itu ia sedang tidak punya atau malu jika ia tidak memberi padahal ia tahu semestinya ia tidak memberi. Maka setiap muslim berarti dituntut untuk tidak memberatkan orang lain. Dalam salah satu haditsnya, Nabi saw mengajarkan:
لاَ تُلْحِفُوا فِى الْمَسْأَلَةِ فَوَاللَّهِ لاَ يَسْأَلُنِى أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا فَتُخْرِجَ لَهُ مَسْأَلَتُهُ مِنِّى شَيْئًا وَأَنَا لَهُ كَارِهٌ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتُهُ
“Janganlah selalu meminta. Demi Allah, tidak mungkin seseorang yang meminta kepadaku apapun meski itu kecil, lalu permintaannya itu mendesakku untuk memberi dalam keadaan terpaksa, lalu ia diberkahi dalam apa yang aku berikan tersebut.” (Shahih Muslim bab an-nahy ‘anil-mas`alah no. 2437).
Sakhawah nafsi itu sendiri menurut Ibn Hajar, kembali pada sifat zuhud; tidak adanya nafsu dunia dalam hati. Jika dunia hanya disikapi sebagaimana halnya air yang mengalir mengikuti taqdir, tidak ada nafsu untuk memperbanyak harta dan memperkaya diri, maka seseorang akan selalu mampu menanamkan sakhawah nafsi.
Wal-‘Llahul-Musta’an