Shilaturahim Dapat Mengubah Taqdir

Shilaturahim akan meluaskan rizki dan memanjangkan umur. Dengan kata lain dapat mengubah taqdir. Tentunya taqdir yang sepenuhnya ada pada kekuasaan Allah SWT dan hanya Allah SWT saja yang dapat mengubahnya. Jika Dia berkehendak untuk memanjangkan umur seseorang dan meluaskan rizkinya maka tidak ada siapa pun yang bisa menghalangi-Nya.
Dalam hadits Anas ibn Malik ra, Nabi saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditangguhkan atsarnya (dipanjangkan umurnya), maka sambungkanlah rahimnya (Shahih al-Bukhari kitab al-buyu’ bab man ahabbal-basth fir-rizq no. 2067; kitab al-adab bab man busitha lahu fir-rizq bi shilatir-rahim no. 5895, 5896; Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah wal-adab bab shilatur-rahim wa tahrim qathi’atiha no. 6687-6688).
Dalam riwayat at-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah, sabda Nabi saw seputar keutamaan shilaturahim ini matannya:
تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ، فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الأَهْلِ، مَثْرَاةٌ فِي المَالِ، مَنْسَأَةٌ فِي الأَثَرِ
Pelajarilah oleh kalian yang termasuk nasab kalian sehingga kalian bisa menyambungkan hubungan kepada kerabat-kerabat kalian (shilaturahim), sebab shilaturahim itu menambah cinta kepada keluarga, memperbanyak harta, dan memanjangkan umur (Sunan at-Tirmidzi abwab al-birr was-shilah bab ma ja`a fi ta’limin-nasab no. 1979).
Sementara dalam riwayat Ahmad dan al-Hakim dari hadits ‘Ali ada tambahan lain:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَيُوَسَّعَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُدْفَعَ عَنْهُ مِيتَةُ السُّوءِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya, diluaskan rizkinya, dan dijauhkan dari keadaan mati yang jelek, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan shilaturahimlah (Musnad Ahmad bab musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 1213; al-Mustadrak al-Hakim kitab al-birr was-shilah no. 7280)
Shilaturahim dalam istilah hadits berbeda maknanya dengan silaturahmi dalam bahasa Indonesia. Silaturahmi dalam bahasa Indonesia bermakna menyambungkan hubungan baik dengan siapa pun, baik kerabat atau non-kerabat, perorangan, lembaga, ataupun negara. Sementara shilaturahim dalam bahasa Arab, atau tepatnya konteks al-Qur`an dan hadits, tertuju khusus kepada yang mempunyai hubungan ‘rahim’, yakni yang masih satu nasab, kerabat, atau keluarga, sebagaimana tersirat dalam hadits Abu Hurairah riwayat at-Tirmidzi di atas.
Makna shilaturahim itu sendiri dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar dengan mengutip penjelasan Ibn Abi Jamrah (w. 695 H/1296 M. Ulama hadits dari Spanyol bermadzhab Maliki, penulis kitab Jam’un-Nihayah Mukhtashar Shahih al-Bukhari dikenal juga dengan Mukhtashar Ibn Abi Jamrah) sebagai berikut:
تَكُون صِلَة الرَّحِم بِالْمَالِ، وَبِالْعَوْنِ عَلَى الْحَاجَة، وَبِدَفْعِ الضَّرَر، وَبِطَلَاقَةِ الْوَجْه، وَبِالدُّعَاءِ. وَالْمَعْنَى الْجَامِع إِيصَال مَا أَمْكَنَ مِنْ الْخَيْر وَدَفْع مَا أَمْكَن مِنْ الشَّرّ بِحَسَبِ الطَّاقَة. وَهَذَا إِنَّمَا يَسْتَمِرّ إِذَا كَانَ أَهْل الرَّحِم أَهْل اِسْتِقَامَة، فَإِنْ كَانُوا كُفَّارًا أَوْ فُجَّارًا فَمُقَاطَعَتهمْ فِي اللَّه هِيَ صِلَتهمْ بِشَرْطِ بَذْل الْجَهْد فِي وَعْظهمْ ثُمَّ إِعْلَامهمْ إِذَا أَصَرُّوا أَنَّ ذَلِكَ بِسَبَبِ تَخَلُّفهمْ عَنْ الْحَقّ، وَلَا يَسْقُط مَعَ ذَلِكَ صِلَتهمْ بِالدُّعَاءِ لَهُمْ بِظَهْرِ الْغَيْب أَنْ يَعُودُوا إِلَى الطَّرِيق الْمُثْلَى
Shilaturahim itu diamalkan dengan berbagi harta, menolong ketika diperlukan bantuan, menghilangkan kesusahan, bertemu dengan wajah ceria, dan mendo’akan kerabat. Makna umumnya adalah menyambungkan kebaikan yang mungkin disambungkan dan menghilangkan kejelekan yang mungkin dihilangkan seukuran kemampuan. Ini berlaku jika kerabat itu ahli istiqamah (muslim). Jika mereka orang kafir atau durhaka maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah cara shilaturahimnya. Syaratnya tetap mencurahkan kemampuan maksimal dalam menasihati mereka, memberi tahu mereka jika mereka kukuh bahwa hal itu disebabkan mereka menyalahi kebenaran, dan tidak gugur kewajiban shilaturahim lewat do’a dari kejauhan agar mereka kembali ke jalan yang lurus (Fathul-Bari bab man washala washalahul-‘Llah).
Kalimat yunsa`a yang disebutkan dalam hadits di awal arti asalnya yu`akhkharu; diakhirkan, ditangguhkan. Sama dengan istilah nasi`ah dalam tema riba yang berarti penangguhan atau pemberlakuan tempo. Sementara atsar arti asalnya bekas jejak kakinya. Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan maksudnya: “Fi atsarihi yakni dalam hal ajalnya. Ajal disebut atsar karena memang mengikuti umur… Asal maknanya jejak langkah di tanah, karena orang yang meninggal sudah tidak bergerak lagi maka tidak ada lagi bekas jejak kakinya di tanah” (Fathul-Bari bab man busitha lahu fir-rizq bi shilatir-rahim).
Terkait “dipanjangkan umur” ini ada yang menilainya janggal karena bertentangan dengan firman Allah swt yang menegaskan ajal seseorang sudah ada taqdirnya dan tidak mungkin ditarik maju atau mundur (QS. al-A’raf [7] : 34).
Para ulama dalam hal ini memberikan jawaban penjelasan terkait pemahaman hadits di atas dalam hubungannya dengan ayat terakhir ini, sebab mustahil Nabi saw menyalahi al-Qur`an. Jawabannya ada dua alternatif, yaitu:
Pertama, maksud “dipanjangkan umur” dalam hadits adalah kiasan dari barakah dalam umur berupa taufiq pada ketaatan, waktunya selalu terisi dengan hal-hal yang manfaat untuk akhirat, dan dijauhkan dari habisnya waktu dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Makna ini sesuai dengan do’a Nabi Ibrahim as:
وَٱجۡعَل لِّي لِسَانَ صِدۡقٖ فِي ٱلۡأٓخِرِينَ ٨٤
Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian (QS. as-Syu’ara [26] : 84).
Jadi meskipun umurnya di dunia terbatas berdasarkan taqdir yang sudah ditentukan, tetapi jejaknya akan selalu dikenang oleh generasi sesudahnya. Seakan-akan ia terus hidup dan panjang umur, karena amal baiknya dikenang dan bahkan diteladani.
Ibn Faurak dalam hal ini menegaskan bahwa maksud “dipanjangkan umur” itu adalah hilangnya marabahaya dalam akal dan pemahamannya. Ulama lainnya menambahkan, bertambahnya barakah dalam semua aspek kehidupannya, khususnya rizki dan amalnya (Fathul-Bari). Jadi umurnya akan tetap sebagaimana taqdir yang sudah ditentukan, tetapi barakah umurnya sangat banyak, berbeda dengan orang yang tidak shilaturahim yang hidupnya tidak berkah.
Kedua, maksud “dipanjangkan umur” itu adalah dalam makna yang sebenarnya, sebab ajal yang Allah swt tetapkan itu bisa Allah swt ubah atau Allah swt tetapkan sebagaimana semula sesuai kehendak-Nya. Jadi kalau seseorang mengamalkan shilaturahim, maka ajalnya itu akan Allah swt ubah menjadi lebih mundur dibanding ajal yang sudah ditentukan semula. Ini sebagaimana difirmankan Allah swt sendiri dalam al-Qur`an:
وَلَقَدْ أَرۡسَلۡنَا رُسُلٗا مِّن قَبۡلِكَ وَجَعَلۡنَا لَهُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَذُرِّيَّةٗۚ وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأۡتِيَ بِئَايَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ لِكُلِّ أَجَلٖ كِتَابٞ ٣٨ يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ ٣٩
Bagi tiap-tiap ajal ada kitab (taqdir yang sudah menentukannya). Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (induk kitab) (QS. ar-Ra’d [13] : 38-39).
Atau juga maknanya bisa sebaliknya, dipanjangkan umur yang sebenarnya itu adalah ia disampaikan pada ajal yang sudah ditentukan semula, sebab jika tidak memperbanyak shilaturahim ajalnya akan disegerakan dari yang sudah ditentukan semula. Dengan kata lain, jika tidak shilaturahim maka umurnya akan dipendekkan dari ketentuan semula, tetapi jika shilaturahim maka umurnya akan dipanjangkan sesuai ajal semula. Pengertian panjang umur seperti ini didasarkan pada firman Allah swt terkait seruan dakwah Nabi Nuh as kepada umatnya:
أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ ٣ يَغۡفِرۡ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمۡ وَيُؤَخِّرۡكُمۡ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمًّىۚ إِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ إِذَا جَآءَ لَا يُؤَخَّرُۚ لَوۡ كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٤
“Sembahlah olehmu Allah, bertaqwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai ajal yang ditentukan. Sesungguhnya ajal Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.” (QS. Nuh [71] : 3-4. Seruan yang sama disampaikan juga oleh Nabi Muhammad saw dalam QS. Hud [11] : 3 dan oleh semua Rasul as dalam QS. Ibrahim [14] : 10).
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan:
يَمُدُّ فِي أَعْمَارِكُمْ وَيَدْرَأُ عَنْكُمُ الْعَذَابَ الَّذِي إِنْ لَمْ تَنْزَجِرُوا عَمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ أَوْقَعَهُ بِكُمْ. وَقَدْ يَسْتَدِلُّ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَنْ يَقُولُ: إِنَّ الطَّاعَةَ وَالْبِرَّ وَصِلَةَ الرَّحِمِ يُزَادُ بِهَا فِي الْعُمْرِ حَقِيقَةً؛ كَمَا وَرَدَ بِهِ الْحَدِيثُ: صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيدُ فِي الْعُمْرِ
Dia akan memanjangkan umur kalian dan mengenyahkan dari kalian siksa yang seandainya kalian tidak mengindahkan larangan pasti akan mengenai kalian. Sungguh ayat ini dijadikan dalil oleh ulama yang berpendapat bahwa ketaatan, perbuatan baik, dan shilaturahim itu akan menambah umur dalam arti yang sebenarnya, sebagaimana ada dalam hadits: “Shilaturahim itu akan menambah umur.” (Tafsir Ibn Katsir).
Berdasarkan seruan Nabi saw dalam QS. Hud [11] : 3 juga bisa dipahami bahwa panjang umur itu bukan sebatas panjang umur dengan hampa dari apapun, melainkan panjang umur dengan dipenuhi kesenangan yang baik dan diampuni semua dosa dan kesalahan. Sebab apalah artinya panjang umur tetapi malah memanjangkan dosa dan dipenuhi dengan malapetaka. Orang yang rajin shilaturahim akan benar-benar dipanjangkan umurnya dan hidup dalam kesenangan.
Hemat penulis dua penjelasan di atas bisa diterima kedua-duanya sebab didasarkan pada dalil-dalil yang kuat, meski para ulama lebih banyak yang cenderung pada penjelasan pertama (Fathul-Bari). Jadi jelasnya shilaturahim itu akan mendatangkan berkah; dimudahkan rizkinya, dipanjangkan umurnya, diperbanyak kebaikannya, dijauhkan kejelekannya, disenangkan hidupnya, dan dijauhkan dari marabahaya dan malapetaka. Wal-‘Llahu a’lam.