Shalat Jama Qashar karena Sakit
Saya mau tanya, ibu saya berumur 56 tahun, beliau sudah tidak kuat lagi shalat sambil berdiri. Beliau juga mempunyai penyakit keloid yang jika sedang terasa sakit, akan membuat beliau merasa sangat kesakitan. Setiap hari beliau menjama qashar shalat? Apakah diperbolehkan jama qashar karena sakit? 08572190xxxx
Tidak ditemukan adanya dalil boleh mengqashar shalat karena sakit. Shalat orang yang sakit itu sambil duduk, berbaring, atau isyarat. Dijama’ boleh sekali-kali, tetapi qashar tidak boleh, sebab tidak ditemukan dalilnya.
Qashar shalat (yang 4 raka’at dilaksanakan 2 raka’at) disebutkan oleh al-Qur`an berlaku jika bepergian di muka bumi atau safar (QS. an-Nisa` [4] : 101). Meski disebutkan juga “jika takut diserang orang-orang kafir”, tetapi ini tidak menjadi syarat. Syarat utamanya tetap safar, sebab dalam hadits juga banyak disebutkan bahwa Nabi saw mengqashar shalat ketika safar, meski tidak sedang takut diserang musuh (rujuk misalnya kitab taqshiris-shalat dalam Shahih al-Bukhari).
Untuk jama’ boleh sekali-kali jika tidak sedang safar. Tetapi tanpa qashar, jama’ saja. Sementara ketika safar boleh tanpa ada batasan. Dalil boleh jama’ ketika tidak safar adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ ﷺ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ.
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Rasulullah saw pernah shalat zhuhur dan ‘ashar dijama’, juga maghrib dan ‘isya dijama’, bukan karena takut atau safar.” (Shahih Muslim bab al-jam’ bainas-shalatain fil-hadlar no. 1662)
Mayoritas ulama menyatakan bahwa jama’ yang diamalkan Nabi saw ini pasti karena ada satu hajat (kepentingan) dan tidak jadi ‘adah (rutinitas). Sebab jika rutin, pasti Nabi saw akan sering mengamalkannya, tetapi faktanya hanya sekali. Jadi boleh jika ada kepentingan dan tidak dirutinkan (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim).
Keringanan shalat bagi orang sakit yang disyari’atkan Nabi saw adalah:
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu, sambil duduk. Jika tidak mampu, sambil berbaring (al-Bukhari, Bulughul-Maram no. 347)
صَلِّ عَلَى اَلْأَرْضِ إِنْ اِسْتَطَعْتَ وَإِلَّا فَأَوْمِئْ إِيمَاءً وَاجْعَلْ سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ
Shalatlah di atas lantai jika kamu mampu. Jika tidak (lalu duduk di atas kursi atau lainnya) maka isyaratlah, jadikan sujudmu lebih rendah daripada ruku’mu (al-Baihaqi, Bulughul-Maram no. 348).
Meski hadits yang terakhir ini hanya mengajarkan isyarat untuk yang duduk, bukan berarti yang berbaring tidak ada. Tentu saja ada disesuaikan kemampuan maksimalnya berdasarkan firman Allah swt: “Allah tidak memberi tugas kepada seorang pun melainkan sesuai kemampuan maksimalnya.” (QS. al-Baqarah [2] : 286). Wal-‘Llahu a’lam