Imam as-Syafi’i: Makan sampai kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan tidur pulas, dan membuat seseorang malas dari ibadah.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya` ‘Ulumid-Din, tepatnya pada kitab al-‘ilm bab ke-6, membagi ulama pada dua kategori: ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah ulama su` (jelek dan jahat) yang selalu terobsesi dengan kesenangan dunia, pangkat dan jabatan. Dalam bab al-‘ilm al-ladzi huwa fardlu kifayah, Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa mereka umumnya para fuqaha (ahli-ahli fiqih); para ulama yang selalu tersibukkan oleh kelimuan seputar problematika dunia dengan mengabaikan ilmu seputar muraqabah (merasa diperhatikan Allah). Sementara ulama akhirat adalah ulama yang ilmunya tidak diperuntukkan mengejar kesenangan dunia. Ciri utamanya, mereka tidak hanya mengkaji ilmu-ilmu fiqih, tetapi juga mengkaji ilmu-ilmu seputar hati dan muraqabah. Contoh ulama akhirat tersebut adalah Imam as-Syafi’i. Menurut Imam al-Ghazali, Imam as-Syafi’i pernah berkata:
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ مَا شَبِعْتُ مُنْذُ سِتَّ عَشْرَةَ سَنَةً لِأَنَّ الشَّبْعَ يُثْقِلُ الْبَدَنَ وَيُقْسِي الْقَلْبَ وَيُزِيْلُ الْفَطَنَةَ وَيَجْلِبُ النَّوْمَ وَيُضْعِفُ صَاحِبَهُ عَنِ الْعِبَادَةِ
Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah berkata: “Sudah 16 tahun aku tidak pernah makan sampai kenyang, sebab makan sampai kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan tidur pulas, dan membuat seseorang malas dari ibadah (Ihya` ‘Ulumiddin bab al-‘ilm al-ladzi huwa fardlu kifayah).
Imam al-Ghazali kemudian menegaskan:
فَانْظُرْ إِلَى حِكْمَتِهِ فِي ذِكْرِ آفَاتِ الشَّبْعِ ثُمَّ فِي جِدِّهِ فِي الْعِبَادَةِ إِذْ طَرَحَ الشَّبْعَ لِأَجْلِهَا وَرَأْسُ التَّعَبُّدِ تَقْلِيْلُ الطَّعَامِ
Silahkan perhatikan kalimat bijaknya yang menjelaskan bahaya kenyang, kemudian bagaimana kesungguh-sungguhan beliau dalam ibadah, sehingga karena itulah beliau mengenyahkan kenyang dari hidupnya. Sebab memang pokok ibadah itu adalah mengurangi makan (Ihya` ‘Ulumiddin bab al-‘ilm al-ladzi huwa fardlu kifayah).
Pada paragraf sebelumnya, Imam al-Ghazali menjelaskan ibadah Imam as-Syafi’i sebagai berikut:
أَمَّا الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ رحمه الله تعالى فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ عَابِداً مَا رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ يَقْسِمُ اللَّيْلَ ثَلاَثَةَ أَجْزَاءٍ: ثُلُثًا لِلْعِلْمِ، وَثُلُثاً لِلْعِبَادَةِ. وَثُلُثاً لِلنَّوْمِ… وَقَالَ الْحَسَنُ الْكَرَابِيْسِي: بِتُّ مَعَ الشَّافِعِيِّ غَيْرَ لَيْلَةٍ فَكَانَ يُصَلِّي نَحْواً مِنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ فَمَا رَأَيْتُهُ يَزِيْدُ عَلَى خَمْسِيْنَ آيَةً، فَإِذَا أَكْثَرَ فَمِائَةُ آيَةٍ، وَكَانَ لاَ يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلاَّ سَأَلَ اللهَ لِنَفْسِهِ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ، وَلاَ يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ فِيْهَا وَسَأَلَ النَّجَاةَ لِنَفْسِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ
Imam as-Syafi’i rahimahul-‘Llah, yang menunjukkan bahwa beliau seorang ‘abid (ahli ibadah) adalah riwayat tentang beliau selalu membagi malam menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk ilmu, sepertiga kedua untuk ibadah, dan sepertiga ketiga untuk tidur... Al-Hasan al-Kurabisi berkata: Aku bermalam bersama Imam as-Syafi’i bukan hanya satu malam (melainkan cukup sering). Beliau shalat malam kurang lebih sepertiga malam. Aku jarang sekali melihatnya melebihkan bacaan dari 50 ayat (setiap raka’at). Kalaupun ada yang lebih panjang paling sekitar 100 ayat. Beliau tidak berkesempatan membaca ayat tentang rahmat Allah melainkan beliau berhenti dulu dan memohon terlebih dahulu rahmat kepada Allah untuk dirinya dan semua kaum muslimin. Tidak juga berkesempatan membaca ayat tentang siksa Allah melainkan beliau berhenti dulu dan memohon perlindungan terlebih dahulu seraya memohon keselamatan untuk dirinya dan semua kaum mukminin. (Ihya` ‘Ulumid-Din bab al-‘ilm al-ladzi huwa fardlu kifayah).
Apa yang dijelaskan oleh Imam as-Syafi’i di atas, pada hakikatnya menegaskan ajaran Nabi saw. Beliau pernah bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ اِبْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Bangsa Adam (manusia) tidak memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Bila tidak bisa, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya (Sunan at-Tirmidzi kitab az-zuhd bab karahiyah katsratil-akl no. 2380; Sunan Ibn Majah kitab al-ath’imah bab al-iqtishad fil-akl wa karahatis-syab’ no. 3349; Musnad Ahmad bab hadits al-Miqdam ibn Ma’dikarib no. 17225).
Maka dari itu, Imam at-Tirmidzi memberi tarjamah (komentar/kesimpulan) terkait hadits di atas dengan karahiyah katsratil-akl; tercelanya banyak makan. Sementara Imam Ibn Majah memberi tarjamah dengan al-iqtishad fil-akl wa karahatis-syab’; pertengahan dalam makan dan tercelanya kenyang.
Demikian juga ajaran Nabi saw dalam hadits-hadits lainnya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: تَجَشَّأَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شِبَعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ القِيَامَةِ
Dari Ibn ‘Umar, ia berkata: Ada seseorang yang bersendawa di sisi Nabi saw. Beliau lalu bersabda: “Tahanlah sendawamu dari kami. Sungguh, orang yang sering kenyang di dunia adalah orang yang paling lama kelaparan pada hari kiamat.” (Sunan at-Tirmidzi abwab shifat al-qiyamah war-raqa`iq wal-wara’ no. 2478. al-Albani: Hadits hasan)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلَاثَ لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Keluarga Muhammad saw tidak pernah kenyang dari gandum halus selama tiga malam berturut-turut sejak tiba di Madinah hingga beliau wafat.” (Shahih al-Bukhari kitab al-ath’imah bab ma kanan-Nabiy saw wa ashhabuhu ya`kulun no. 5416; kitab ar-riqaq bab kaifa kana ‘aisyun-Nabiy saw wa ashhabuhu no. 6454; Shahih Muslim kitab ar-riqaq bab haddatsana Qutaibah no. 7633, 7634, 7648, 7649)
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ
Sebaik-baiknya umatku adalah generasiku (shahabat), lalu generasi sesudahnya (tabi’in), lalu generasi sesudahnya (tabi’ tabi’in)—‘Imran berkata: Aku tidak ingat apakah ia menyebutkan sesudah generasinya dua atau tiga—Kemudian akan ada sesudah kalian satu kaum yang bersaksi padahal mereka tidak diminta bersaksi, berkhianat dan tidak bisa dipercaya, bernadzar rapi tidak memenuhinya, dan tampak di tengah-tengah mereka orang-orang yang kegemukan [obesitas] (Shahih al-Bukhari kitab al-manaqib bab fadla`il ashhab an-nabiy no. 3650; Shahih Muslim kitab fadla`il as-shahabah bab fadllis-shahabah tsummal-ladzina yalunahum no. 6638).
Hadits di atas ini dengan jelas mengaitkan antara kelebihan berat badan dengan khianat dan ketidakjujuran. Menunjukkan dampak negatif kelebihan berat badan pada akhlaq.
إِنَّ مِنْ شِرَارِ أُمَّتِي الَّذِيْنَ غُذُوْا بِالنَّعِيْمِ الَّذِيْنَ يَطْلُبُوْنَ أَلْوَانَ الطَّعَامِ وَأَلْوَانَ الثِّيَابِ يَتَشَدَّقُوْنَ بِالْكَلاَمِ
Sungguh, di antara sejelek-jeleknya umatku adalah orang-orang yang selalu dihidangkan makanan nikmat. Yakni orang-orang yang selalu mencari berbagai jenis makanan dan berbagai jenis pakaian. Mereka pun sembarangan dalam berbicara. (Ahmad dalam az-Zuhd. Al-Albani: Shahih. As-Silsilah as-Shahihah no. 1891)
Hadits ini mengaitkan dengan erat antara perilaku makan yang selalu ingin nikmat dengan karakter berbicara sembarangan. Menunjukkan jeleknya perilaku makan yang selalu ingin nikmat, sebab akan menyebabkan jeleknya omongan. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik