Shaum

Qadla atau Fidyah untuk Ibu Hamil dan Menyusui

Setelah membaca banyak rujukan ilmu dari para ulama, saya mendapatkan fakta bahwa ketentuan qadla dan fidyah untuk ibu hamil dan menyusui itu ternyata pendapat jumhur ulama dan nyaris ijma’. Mohon Ustadz ikut menjelaskan bagaimana fiqih dalam hal ini? 0823-1528-xxxx

Fiqih qadla dan fidyah berawal dari firman Allah swt QS. al-Baqarah [2] : 184 yang menyebutkan ketentuan keduanya dalam ayat tersebut. Qadla diperuntukkan bagi “orang sakit atau orang yang dalam perjalanan”, jika ia berbuka maka harus qadla; mengganti shaum pada hari yang lain di luar Ramadlan, sementara fidyah bagi “orang yang yuthiqunahu; berat menjalankannya, jika ia berbuka maka harus fidyah yaitu memberi makan seorang miskin. Titik perbedaanya terletak pada apakah seseorang mungkin shaum pada hari yang lain atau tidak. Jika mungkin maka wajib qadla, jika tidak mungkin maka wajib fidyah. Ibu hamil dan menyusui termasuk pada kategori pertama, yakni mungkin shaum pada hari lain, sehingga wajib baginya qadla. Demikian fiqih qadla dan fidyah yang dijelaskan oleh mayoritas ulama.

Firman Allah swt QS. al-Baqarah [2] : 184 yang dimaksud adalah:

أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ 

(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah [2] : 184).

Terdapat diskusi di kalangan para ulama tafsir terkait naskh (pengguguran) ayat tentang fidyah, sebab pada praktiknya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Mu’adz ibn Jabal, Salamah ibn al-Akwa’, Ibn ‘Umar, Ibn Mas’ud, dan ‘Aisyah, yang dimaksud orang yuthiqunahu itu adalah orang sehat tetapi ia merasa berat shaum, maka ia boleh tidak shaum asalkan membayar fidyah. Setelah turun ayat berikutnya: “Siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain,” maka ketentuan fidyah bagi orang sehat ini dihapus, sementara qadla bagi orang yang sakit dan safar tetap ada. Orang sehat meski bagaimanapun harus memaksakan diri shaum.

Akan tetapi Ibn ‘Abbas—para ulama menyebutnya hanya beliau seorang—menyatakan bahwa ayat fidyah tidak di-naskh secara total. Ayat di atas tetap berlaku, tetapi bagi kakek-kakek atau nenek-nenek yang sudah tidak bisa shaum dan tidak mungkin juga qadla, maka ia harus membayar fidyah. Al-Hafizh Ibn Katsir sendiri memilih pendapat Ibn ‘Abbas yang ini. Lafazh yuthiqunahu yang berarti asal “mereka mampu” jadi dimaknai dengan yatajasysyamunahu; mereka berat menjalankannya (Tafsir Ibn Katsir).

Sampai di sini jelas perbedaan antara qadla dan fidyah, apakah mampu shaum pada hari yang lain atau tidak. Jika mampu, maka wajib qadla. Jika sudah tidak mampu, maka wajib fidyah. Ibu hamil dan menyusui tentu termasuk yang mungkin shaum pada hari lain, maka dari itu mayoritas ulama sepakat menyatakan wajib qadla.

Ikhtilaf kemudian muncul ketika faktanya ibu hamil dan menyusui itu ada yang berbuka karena memang dirinya lemah dan tidak mampu shaum (bahasa fiqihnya: takut pada dirinya sendiri), ada juga yang dirinya sehat tetapi khawatir janin atau bayi yang disusuinya kekurangan nutrisi gizi (bahasa fiqihnya: takut pada anaknya). Jika itu karena takut pada dirinya sendiri maka berarti ibu hamil dan menyusui tersebut sakit, jumhur ulama menyatakan wajib qadla. Tetapi jika ibu hamil dan menyusui itu takut atas anaknya, di sini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama antara yang mewajibkan qadla saja dan yang mewajibkan qadla plus fidyah.

Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan:

وَمِمَّا يَلْتَحِقُ بِهَذَا الْمَعْنَى: الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ، إِذَا خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا أَوْ وَلَدَيْهِمَا، فَفِيهِمَا خِلَافٌ كَثِيرٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يُفْطِرَانِ وَيَفْدِيَانِ وَيَقْضِيَانِ. وَقِيلَ: يَفْدِيَانِ فَقَطْ، وَلَا قَضَاءَ. وَقِيلَ: يَجِبُ الْقَضَاءُ بِلَا فِدْيَةٍ. وَقِيلَ: يُفْطِرَانِ، وَلَا فِدْيَةَ وَلَا قَضَاءَ. وَقَدْ بَسَطْنَا هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ مُسْتَقْصَاةً فِي كِتَابِ الصِّيَامِ الذِي أَفْرَدْنَاهُ

Yang semakna dengan ini (orang tua renta) adalah ibu hamil dan menyusui apabila mereka takut atas diri mereka sendiri atau atas anak mereka. Dalam hal ini ada perselisihan yang banyak di antara para ulama. (1) Di antara mereka ada yang berpendapat harus berbuka, fidyah, dan qadla. (2) Ada juga yang berpendapat fidyah saja tanpa qadla. (3) Ada juga yang berpendapat wajib qadla tanpa fidyah. (4) Ada juga yang berpendapat harus berbuka tetapi tidak ada fidyah atau qadla (Tafsir Ibn Katsir).

Pendapat bahwa ibu hamil dan menyusui harus qadla saja sebagaimana disebut al-Hafizh Ibn Katsir di atas pada point ketiga, di antaranya dikemukakan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya kitab Tafsir al-Qur`an ketika menjelaskan firman Allah swt surat al-Baqarah ayat 184:

وَقَالَ عَطَاءٌ يُفْطِرُ مِنْ الْمَرَضِ كُلِّهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى. وَقَالَ الْحَسَنُ وَإِبْرَاهِيمُ فِي الْمُرْضِعِ أَوْ الْحَامِلِ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا أَوْ وَلَدِهِمَا تُفْطِرَانِ ثُمَّ تَقْضِيَانِ. وَأَمَّا الشَّيْخُ الْكَبِيرُ إِذَا لَمْ يُطِقْ الصِّيَامَ فَقَدْ أَطْعَمَ أَنَسٌ بَعْدَ مَا كَبِرَ عَامًا أَوْ عَامَيْنِ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا خُبْزًا وَلَحْمًا وَأَفْطَرَ قِرَاءَةُ الْعَامَّةِ {يُطِيقُونَهُ} وَهْوَ أَكْثَرُ

‘Atha` (tabi’in, w. 114 H) berkata: Boleh berbuka dari semua jenis penyakit, sebagaimana difirmankan Allah ta’ala. Al-Hasan (al-Bashri, tabi’in, w. 110 H) dan Ibrahim (an-Nakha’i, tabi’in, w. 196 H) berkata tentang ibu menyusui atau hamil apabila mereka takut atas diri mereka sendiri atau atas anak mereka: Mereka berbuka kemudian mengqadla. Adapun orang tua renta apabila tidak mampu shaum, maka Anas ketika ia sudah tua renta sekitar satu tahun atau dua tahun memberi makan setiap harinya kepada seorang miskin sekerat roti dan daging dan ia berbuka. Bacaan mayoritas itu yuthiqunahu dan itu yang paling banyak (Shahih al-Bukhari bab qaulihi ayyaman ma’dudat…).

Imam al-Bukhari bermaksud menjelaskan fiqih dari ayat 184 surat al-Baqarah. Menurut beliau, merujuk pendapat ‘Atha`, berbuka dari sakit itu boleh dari sakit apa saja karena al-Qur`an sendiri tidak menentukannya secara spesifik. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menambahkan, jumhur ulama sendiri membatasinya pada sakit yang membolehkan tayammum meski sedang ada air, yakni sakit yang tidak memungkinkan shaum.

Kemudian untuk ibu hamil dan menyusui yang tidak shaum, Imam al-Bukhari memilih pendapat al-Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i (keduanya ulama tabi’in) yang menyatakan harus qadla saja. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ibu hamil dan menyusui itu halangan shaumnya tidak selamanya. Ibu hamil dan menyusui masih bisa qadla. Imam al-Bukhari juga dalam penjelasannya di atas tampak tidak membedakan antara ibu hamil dan menyusui yang takut atas dirinya sendiri dengan yang takut atas anaknya. Imam al-Bukhari tampaknya cukup menilai dari aspek tidak shaumnya saja, maka gantinya adalah qadla, tidak ada kewajiban fidyah.

Fidyah dalam fiqih Imam al-Bukhari berlaku bagi mereka yang sama sekali sudah tidak mampu shaum, yakni orangtua renta. Dalilnya adalah atsar dari Anas di atas. Atsar Anas yang dikutip Imam al-Bukhari tersebut juga menunjukkan bahwa ukuran fidyah itu makanan yang biasa dimakan lengkap dengan lauk pauknya. Jika diuangkan berarti sekitar Rp. 25.000,-/per porsi. Tentunya atsar di atas tidak membatasi harus berwujud makanan yang sudah dimasak dengan lauk pauknya, melainkan hanya salah satu contoh saja. Dengan merujuk pada makna umum tha’am miskin maka memberikan makanan pokok seperti zakat fithri pun berarti diperbolehkan.

Akan tetapi Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, pernyataan al-Hasan al-Bashri yang menyatakan harus qadla saja sebagaimana dikutip Imam al-Bukhari di atas, itu yang jalurnya dari Qatadah. Sementara yang jalurnya dari Yunus ibn Humaid, al-Hasan menyatakan bahwa qadla itu bagi ibu hamil dan menyusui yang takut atas dirinya. Jika ibu hamil dan menyusui itu takut atas anaknya, maka bukan qadla, tetapi ith’am (fidyah). Menutup penjelasan tentang fiqih ini Ibn Hajar menyatakan:

وَاخْتُلِفَ فِي الْحَامِل وَالْمُرْضِع وَمَنْ أَفْطَرَ لِكِبَرِ ثُمَّ قَوِيَ عَلَى الْقَضَاء بَعْد فَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَحْمَد: يَقْضُونَ وَيُطْعِمُونَ، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَالْكُوفِيُّونَ: لَا إِطْعَام

Ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam hal ibu hamil dan menyusui juga orang yang tidak shaum karena sudah tua tetapi kemudian ia mampu qadla setelah Ramadlan. Imam as-Syafi’i dan Ahmad menyatakan harus qadla dan memberi makan (fidyah). Sementara al-Auza’i dan ulama-ulama Kufah menyatakan tidak ada memberi makan (hanya qadla saja).

Diketahui dari penjelasan di atas, bahwa jumhur ulama menyepakati adanya qadla bagi ibu hamil dan menyusui yang tidak shaum. Hanya terkait apakah harus ditambah fidyah jika ibu hamil dan menyusui itu tidak shaum karena takut atas anaknya, tidak ada kesepakatan. Imam as-Syafi’i dan Ahmad menyatakan wajib qadla plus fidyah, sementara al-Auza’i dan ulama Kufah menyatakan wajib qadla saja. Artinya pendapat Imam al-Bukhari sebagaimana dikutip di atas mengikuti madzhab Imam al-Auza’i dan ulama-ulama Kufah.

Dalam kitab al-Majmu’ (salah satu kitab fiqih pokok madzhab Syafi’i), Imam as-Syirazi dan an-Nawawi menjelaskan bahwa ibu hamil dan menyusui dibedakan antara yang takut atas dirinya sendiri dan yang takut atas anaknya, karena memang beda dalilnya. Jika ibu takut atas dirinya (yakni ibunya sakit) maka statusnya sama dengan orang sakit, ia hanya wajib qadla saja. Akan tetapi jika ibu takut atas janin/bayinya, maka status ibu itu bukan sebagai orang sakit, melainkan sebagai yuthiqunahu menurut fiqih Ibn ‘Abbas, dan Ibn ‘Abbas ra menyatakan harus fidyah. Qadlanya untuk mengganti shaum yang tidak diamalkan pada bulan Ramadlan, sementara fidyahnya karena ibu tersebut masuk kategori yuthiqunahu (al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzhab kitab as-shiyam 6 : 267).

Ibn Qudamah dalam al-Mughni (salah satu kitab fiqih pokok madzhab Hanbali) juga menjelaskan sama. Harus dibedakan antara ibu hamil-menyusui yang sakit dan yang tidak sakit tetapi khawatir janinnya sakit atau bayinya jelas sakit, karena perbedaan dalil sebagaimana dijelaskan Imam an-Nawawi di atas (al-Mughni kitab as-shiyam mas`alah 2080).

Di samping dua pendapat di atas—yang sama-sama mewajibkan qadla tetapi berbeda pendapat dalam hal disertai fidyah atau tidak—ada juga pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas yakni bahwa ibu hamil dan menyusui hanya wajib fidyah, tidak ada kewajiban qadla. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan Ibn Qudamah, Imam Ahmad yang menjadi rujukan utama madzhab Hanbali sengaja tidak mengambil pendapat Ibn ‘Umar dan Ibn ‘Abbas tersebut, mengingat ibu hamil dan menyusui masih kuat qadla. Orang yang tidak shaum Ramadlan lalu ada kemampuan untuk qadla, maka ia tetap wajib qadla (al-Mughni kitab as-shiyam mas`alah 2080).

Atsar Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar yang dimaksud adalah:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: وَثَبِتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ الْكَبِيرَةِ إِذَا كَانَا لَا يُطِيقَانِ الصَّوْمَ, وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Dan telah tetap bagi kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah tua renta apabila mereka tidak mampu shaum, demikian juga ibu hamil dan menyusui apabila takut, untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin, yang dihitung dari setiap harinya.” (as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab al-hamil wal-murdli’ idza khafata ‘ala waladaihima no. 8077).

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: إِذَا خَافَتِ الْحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا، وَالْمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ، قَالَ: يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا، وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا.

Dari Ibn ‘Abbas ra, tentang seorang ibu hamil yang takut atas dirinya dan ibu menyusui yang takut atas anaknya di bulan Ramadlan, ia berkata: “Keduanya boleh berbuka dan memberi makan seorang miskin dari setiap harinya dan tidak perlu mengqadla shaum.” (Tafsir at-Thabari surat al-Baqarah [2] : 184 no. 2758).

 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّ امْرَأَتَهَ سَأَلَتْهُ وَهِيَ حُبْلَى فَقَالَ:  أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي

Dari Ibn ‘Umar ra, sesungguhnya istrinya bertanya kepadanya ketika ia hamil, lalu ia menjawab: “Berbukalah dan berikanlah makanan kepada orang miskin dari setiap harinya dan tidak perlu qadla.” (Sunan ad-Daraquthni bab thulu’is-syams ba’dal-ifthar no. 2388).

Dari uraian panjang lebar di atas bisa disimpulkan bahwa jumhur ulama sepakat ibu hamil dan menyusui yang tidak shaum Ramadlan harus qadla, sebab shaum yang ditinggalkan gantinya pasti qadla jika faktanya yang bersangkutan masih mampu shaum di luar Ramadlan. Imam as-Syafi’i dan Ahmad menambahkan juga harus fidyah jika ibu hamil dan menyusui itu tidak shaum karena takut atas anaknya sementara ibunya sendiri sehat, sebab yang seperti ini masuk kategori yuthiqunahu yang gantinya fidyah, di samping qadla akibat tidak shaumnya. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar ra, keduanya memahami bahwa ibu hamil dan menyusui hanya wajib fidyah dan tidak perlu qadla.

Bagi yang memilih tarjih (pendapat yang terkuat) dari aspek mayoritas ulama dan kekuatan dalil tentu keharusan qadla bagi ibu hamil dan menyusui itu jadi pilihan. Bagi yang memilih ihtiyath (kehati-hatian) tentu akan lebih selamat juga jika ditambahkan dengan fidyah, jika ibu yang bersangkutan sehat tetapi ia khawatir janin/bayinya sakit. Tetapi tidak dapat disalahkan juga yang memilih pendapat Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar yang hanya mengharuskan fidyah tanpa qadla, mengingat keduanya shahabat yang bisa dijadikan rujukan hukum. Yang terakhir ini pasti jadi pegangan yang memilih taisir (lebih mudah). Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button